Prim

357 28 1
                                    

Di atas foto Prim

Hari itu Erwin merasa kepalanya begitu pening; ia merasa dirinya betul-betul terpuruk.

Masih teringat ketika terakhir kali ia menerima pesan dari Beni.

"Ding..." sebuah nama muncul dilayar ponselnya...

Meskipun belum membacanya, tapi Erwin sepertinya sudah merasa karena terakhir kali Beni meninggalkannya pergi begitu saja. 

Beni kirim sms; isinya singkat ...

"Sori...gua gak merasa cocok sama elo, kita putus!" begitu pesan sms dari Beni, singkat tetapi menusuk.

Gak ada lagi 'aku' dan 'kamu' seperti waktu mereka pacaran...

Sms dari Beni bikin Erwin tambah down dan semakin lama perasaannya semakin sesak. 

Meskipun ia sudah menduga kalau Beni akan meninggalkannya tetapi tetap saja hal ini membuat Erwin tambah terpukul.

Sudah empat bulan Erwin menganggur, hal ini saja sudah membuatnya kalut  ditambah lagi Beni meninggalkannya diwaktu ia susah....

Tak terasa ia menghitung hari demi hari ia sendirian berkubang dalam perasaan yang menyesakkan.

"Apakah aku segitu menyebalkan??"

"Bukankah Beni tadinya suka sama aku?" keluh Erwin menggelengkan kepalanya.

Erwin berdiri melihat dirinya di depan kaca. 

Menurut apa yang dilihatnya; dirinya gak jelek-jelek banget, gak terlihat dungu-dungu banget. 

"Kenapa ya?...kenapa???" tanya Erwin kepada dirinya sendiri meratapi dirinya sambil kemudian terhuyung-huyung merebahkan dirinya di atas pembaringan. 

"Nasib...o nasib" keluh Erwin dan pandangan matanya menerawang langit-langit kamar tidurnya.

Sulit sekali mencari pekerjaan dan sekarang orang yang ia sukai mencampakkannya begitu saja. 

Hal ini membuat dirinya semakin stress, tabungannya sudah menipis untuk membayar uang kost setiap bulan. 

Beruntung mamanya masih terus mengirimkannya uang setiap bulan tetapi Erwin juga tidak terlalu berharap (meski butuh) karena ia tau mamanya telah punya keluarga lain.

Dalam segala keberadaannya; meskipun terasa sakit, entah mengapa pada mulanya Erwin juga agak lega juga diputusin Beni.

Sekarang kalau dipikir-pikir, hubungannya dengan Beni semakin lama semakin hambar bahkan sepertinya hanya seks yang dipikirkan Beni setiap kali mereka bertemu.

Oleh karena itu sejak ia kehilangan pekerjaan, Erwin jadi tambah sensitif...setiap kali diajak bercinta entah mengapa dirinya malah agak stress.

Ia merasa dirinya diperlakukan seperti pelacur yang hanya dibayar dengan makan malam bersama.

"Apakah aku benar-benar cinta padanya?"

"Apakah Beni mencintaiku atau berhubungan dengaku untuk hanya sekedar seks?" begitu Erwin terus memikirkan hubungannya bersama Beni selama ini.

Selama setahun mereka rutin bercinta setiap hari; keluar bersama bahkan Erwin pernah mengajak Beni untuk hidup bersama tetapi lelaki itu menolak dengan getas.

"Aku anak tunggal, gak mungkin buatku meninggalkan ortu" kata Beni pendek dan sejak itu Erwin melupakan idenya untuk tinggal bersama dengan lelaki yang menjadi kekasihnya itu.

Bahkan beberapa bulan belakangan ini Erwin mulai belajar untuk tidak banyak bertanya atau menuntut ini dan itu.

Apalagi ketika ia kehilangan pekerjaannya dan Beni mulai sering tidak sabaran kepadanya.

Lelaki IstimewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang