Bab 2 : Dinding Kamar

38 2 1
                                    

"Hahaha..., gua masih gabisa lupa sama muka Caca yang merah kaya dasi anak SD" dengan puas Lia menertawakan kejadian waktu itu.

"Beungeutna jiga bujur beruk Hahaha" Celetuk Aisyah beroposisi dengan Lia untuk meledek ku. Jujur aku ga paham dengan perkataan Aisyah karna yang mengerti hanyalah Lia, mereka berdua orang Sunda, sedangkan aku adalah blasteran Jawa-Kalimantan.

"Apaan tuh artinya?" Tanyaku meminta penjelasan kepada mereka, dan yang ada aku ditertawakan semakin keras oleh mereka berdua. Karna mereka berkomplotan tidak ingin memberitahuku, aku jewer kuping mereka berdua dan mereka meringis meminta ampun.

"Ampun Ca!!! iyaaa nih gue kasih tau" kata Lia, sambil melirik Aisyah yang menyikut tangan Lia seakan memberikan kode untuk tidak membocorkannya.

"Artinya muka kamu meski merah tapi tidak kelihatan jelek" Serobot Aisyah menjelaskan padaku.

"Perasaan tadi gua denger ada beruk-beruknya" Sanggahku protes.

"Ih salah denger atuh, aku bilang buruk bukan beruk, jadi muka kamu ga keliatan buruk atau jelek" Jawab Aisyah dengan wajah polos tetapi tidak dengan Lia yang menahan ketawa namun tidak berkomentar sedikitpun.

Tidak terasa perjalanan kali ini membuktikan teori relativitas waktu dari Albert Einstein, waktu kali ini sangat terasa sangat cepat bercerita dengan mereka bahkan tidak bisa sedikitpun diperlambat. Mobil yang dipacu Lia ternyata kulihat sudah memasuki kawasan Antasari yang sebentar lagi sampai di rumah orang tuaku. Rasanya sedih ingin bersama mereka, namun mereka tidak bisa mampir karena masih ada urusan pekerjaan. Di Akhir pekan nanti kita berjanjian untuk nongkrong bersama sekaligus mengenang masa-masa kita.

"Kalian beneran gamau mampir nih?" Tanyaku dengan raut muka sedih yang masih ingin berlama-lama dengan mereka

"Next time kita main ko, lo juga harus istirahatkan abis perjalanan jauh" Kata Lia

"Yaudah thanks banget yaaa udah jemput gua, ngerepotin kalian" Ucapku berterimakasih dengan kebaikan mereka"

"Sami-sami atuh, kami pamit yah Ca. Assalamualaikum" Pamit Aisyah padaku

"Waalaikumsalam" Jawabku membalas salam Aisyah yang berpamitan karena masih ada urusan pekerjaan. Mereka berdua pun meninggalkanku didepan gerbang rumah yang tetap sama namun hanya berubah warna catnya saja, tiga tahun yang lalu sebelum kepergianku warnanya hitam dan sekarang berubah menjadi putih. "Akhirnya, kembali juga kerumah" Gumamku menatap pintu gerbang.

Aku melihat pada detik yang terus berdetak di jamku, pukul menunjukkan pada 15.30 Wib. Langit cerah kini telah menua, mendung menutupi matahari membentuk gumpalan awan kelabu bersama dedaunan yang menari-nari berdansa tertiup angin membentuk romansa seakan pamer kemesraan denganku. Aku melihat sosok menggemaskan sekitar umur 5 tahun sedang bermain bola bersama lelaki paruh baya tampak riang penuh kebahagiaan. Anak itu berhenti bermain bola dan menatap diriku yang terdiam didepan pintu gerbang.

"Ziel,lagi liatin apa?" aku mendengar pertanyaan lelaki paruh baya itu pada anaknya kemudian mengikuti pandangan anaknya melihatku juga dan melihatku juga. Mereka adalah papa Joni dan adik tiriku yang bernama Aziel.

"Caca?! Kamu kenapa ga langsung masuk?" Papa langsung bergegas membuka kan gerbang yang tingginya hanya sampai perutku. Aku langsung mengucapkan salam dan salim dengannya. Aku mengikuti langkahnya yang memanggil Bunda. Nampaknya Bunda sedang masak didapur.

"Bunda! Bunda! Caca udah sampe nih" Teriak Papa memanggil Bunda dari teras rumah, sedangkan aku memperhatikan adik tiriku yang menggemaskan, mengambil bola dan menghampiriku lalu menggelindingkannya ke arahku seolah-olah ingin bermain denganku. Tetes air mata hangat mengalir dari pelupuk mataku yang cetek. Meskipun aku kakak tirinya, aku sangat merindukan dan menyayangi sosok adik ku satu-satunya ini. Aku pun berjongkok sejajar dengannya dan memeluk tubuhnya yang beraroma bedak bayi dan minyak kayu putih. Harum yang menenangkan bagiku.

"Caca!!" suara yang sangat ku rindukan dari seseorang yang mungkin semua orang cintai, yaitu Bunda. Tangannya menyentuh pundakku, dan aku membalikkan badan ke arahnya. Aku melihat dirinya telah mulai menua namun tetap cantik seperti seorang bidadari. Kami berdua pun langsung berpelukan penuh kerinduan. Derai air mata kami saling jatuh deras. Lirih suaraku menanyakan kabarnya.

"Bunda, apa kabar? Sehat sehat aja kan?" Bisikku ketika kami saling berpelukan. Bunda pun melepaskan pelukannya namun tetap rapat serta menatapku dengan binar mata yang menggenang, bibirnya gemetar menahan haru.

"Iyaa sayang, Bunda sehat seperti yang kamu lihat" Tangannya mengusap rambutku. Ditengah haru, tingkah laku Aziel sangat menggemaskan. Kami dikagetkan dengan tangan mungilnya yang menepuk kami berdua dan menengadahkan tangan ke atas seperti ingin dipeluk juga. Tingkahnya pun membuat Aku, Bunda, dan Papa Joni tertawa ditengah kehikmatan ini. Aku pun memeluknya dan menggendongnya.

Sudah lama rasanya aku lari dari masa laluku, meninggalakan kehangatan dari keluarga yang siapapun pasti mendambakannya. Bahagia rasanya ketika kita merasakan kasih sayang dari orang tua. Keluarga adalah rumah. Tempat terhangat untuk kembali, mengadu, ataupun bercerita tentang duniamu yang sedang tidak baik-baik saja.

"Ayoo masuk Ca, Kamu pasti cape kan? Ibu udah masak masakan kesukaan kamu" Ajak ibu masuk ke dalam rumah. Ternyata kamarku masih tetap sama, tak ada yang berubah. Semua tampak rapih dan bersih. Semua bingkai foto-foto masa kecilku bersama Ayah, disaat aku ulang tahun dengan menggunakan gaun warna putih masih menempel di dinding dan foto kami bertiga yaitu Aku, Bunda dan Ayah pun masih terbingkai kecil dibawah lampu tidurku. Kamarku ibarat lorong waktu, dimana setiap foto yang terpajang berpeluk mesra dengan dinding merupakan kenangan yang penuh cerita. Semua tampak indah dan bahagia seperti layaknya sebelum ayah meninggalkan kami karna satu hal yang sampai saat ini aku juga tidak tahu alasannya.

Mataku terpaku, pupilku melebar, debar jantung ini berdetak sangat cepat. Aku melihat sebuah foto yang menguliti perasaanku. Ku lepas dari dinding kamarku, tubuhku terduduk lemas diatas kasur sambil menatap foto itu. Kehangatan kamarku, berubah menjadi ruangan hampa yang menyesakkan. Aku menatapnya dengan tatapan meratap, gambar diriku yang sangat bahagia difoto ini bersama seseorang. Dia adalah Arga Savian Altezza, Sahabat kecil dan juga pernah menjadi kekasih yang kucintai dengan sedalam-dalamnya hatiku namun tidak lagi sekarang.

"Ca, ketika suatu hari kamu kembali pulang jangan lupa hubungin aku ya, nanti aku jemput" Itu adalah kata-kata darinya.

Sekarang aku sudah kembali pulang, di dunia dengan situasi dan waktu yang berbeda. Dimana dirimu? Aku tersesat hilang pada gelapnya kenyataan. Aku menunggumu menjemputku sedangkan kau mendoakan kepergianku. Semalam aku memimpikan tentangmu, tentang pengkhianatan. Rasanya aku tertawa dimimpi itu, karna aku fikir itu tidak akan terjadi. Kali ini keyakinanku salah. Itu bukan mimpi namun kenyataan.


Bahasa sunda : mukanya mirip pantat beruk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lelaki PenyairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang