Suara alarm terdengar nyaring membuat si empunya kamar sedikit terusik dari tidurnya. Mata cokelat nan sayu itu mulai berkedip berusaha menyesuaikan cahaya yang menusuk retina matanya.
Seana Latifha, begitu orang mengenalnya. Gadis cantik itu kini tengah menatap pantulan dirinya di cermin dengan seragam sekolah yang sudah melekat dengan tubuh rampingnya. Ia membiarkan rambut hitamnya tergerai indah. Menatap dirinya dengan tatapan sendu, menyedihkan sekali diriku. Gumamnya dalam hati.
“Sea, ayo turun sayang.” Teriak Maorin dari bawah membuat Sea segera turun untuk sarapan.
“Sea, jalannya jangan menunduk gitu dong. O iya, hari ini kamu jangan lupa ada jadwal Fashion show untuk busana tante Alice.” Tegur Maorin yang melihat Sea berjalan di tangga dengan langkah lesu sambil terus menunduk.
“Maaf Mah, Sea kelelahan semalam.” Ujar Sea mencoba menyembunyikan rasa lelahnya, lelah dengan semua kegiatan yang sudah dirancang sempurna oleh sang mamah, lelah karena ia tidak pernah bisa menolak keinginan sang mamah, lelah karena ia terus saja diam tatkala dirinya dijadikan alat.
Meja makan biasanya menjadi tempat menyenangkan untuk bercerita, tapi disini terasa begitu dingin dan hambar. Rumah semewah apapun itu, bila hanya diisi oleh keheningan tak akan terasa hidup. Suasana hanya didominasi oleh suara yang berasal dari sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Sesaat Sea merasa muak dengan keadaan ini, kapan ia bisa merasakan hangatnya keluarga, setidaknya untuk mengobrol sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.
“Hari ini ayah mengundang kita untuk makan malam.” Ujar Maorin dengan nada tegas, seperti tak ingin dibantah. “Aku ada meeting sampai larut malam.” Maorin menghentikan tangan yang sedang mengaduk nasi. Dia tertawa sumbang memperhatikan suaminya yang tak terganggu dengan tawa istrinya yang menghambur di ruangan itu.
“Meeting sampai larut katamu? Apa kamu sedang bercanda denganku?”
“Jangan mulai, aku sedang tidak ingin berdebat denganmu.”
“Aku sudah sabar dengan tingkahmu itu, apa kamu sedang bermain api di belakangku?”
“Aku sudah susah payah memperlihatkan dihadapan semua orang bahwa rumah tangga kita baik-baik saja. Tidak bisakah kamu menghargai usahaku?” Pertengkaran pun tak bisa terelakan. Sandiwara lagi, apa hidupku harus terus di penuhi sandiwara seperti ini? Gumam Sea dalam hati dengan tangan yang sibuk menyendokan nasi. Berusaha tak terganggu dengan perdebatan di depannya. Sampai suara klakson mobil terdengar nyaring. Membuat kedua orang yang sedang berdebat itu terdiam.
“Mah, Pah, Sea berangkat dulu.” Ujar Sea tanpa menunggu jawaban dari orang tuanya. Sudah ia katakan sebelumnya bahwa ia sedang lelah.
Sea berangkat bersama Gio, kekasihnya. Atau mungkin kekasih pura-pura, entahlah harus ia sebut apa hubungannya dengan Gio. Mereka di paksa untuk menjalin hubungan itu, tak ada cinta di dalamnya. Mereka memerankan peran mereka dengan sangat apik. Jika di hadapan banyak orang mereka akan memperlihatkan keharmonisan hubungannya seolah cinta itu sudah bertengger di hati keduanya. Tetapi jika hanya berdua seperti sekarang, mereka akan terlihat seperti orang asing.
“Sea, apa handphone mu rusak? Kenapa tidak menjawab panggilanku?” Gio membuka suara dengan menampilkan wajah datarnya, tapi fokusnya tak teralihkan dari menatap jalanan yang sedikit macet.
“Semalam aku ketiduran.” Ujar Sea mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Ketika sudah sampai di depan sekolah, tangannya dicekal kasar hingga membuatnya sedikit terhuyung ke belakang.
“Aku akan menambahkan peraturan baru untuk hubungan kita.” Sea berdecih. Apa ini? Kenapa ini terasa tidak adil. Sejak kapan di dalam sebuah hubungan ada peraturan, ditambah peraturan itu hanya di setujui oleh satu pihak yaitu Gio. Ini bukan seperti hubungan percintaan, tapi permainan. Oh ya, dia lupa bahwa hidupnya adalah sebuah permainan, dimana ia tak memiliki kuasa apapun atas dirinya karena ia hanya pemain.
“Aku tidak suka di abaikan, jadi jangan biarkan aku terlihat bodoh dengan menunggu panggilanmu yang tak kunjung terjawab.” Lihatlah masalah kecil yang ia besar-besarkan. Semalam Sea memang kelelahan karena semalaman harus berdiri di panggung untuk memperagakan fashion milik kolega bisnis mamahnya dan handphonenya dalam mode silent. Sudahlah, membela diripun pada akhirnya ia akan tetap di salahkan.
“Baiklah, terserah padamu. Lagipula menolak pun kau akan tetap memaksa kan?” Sea segera melepas tangan Gio yang kuat mencengkram tangannya hingga memerah.
Setelah keluar dari mobil Gio, ia berjalan dengan sangat anggun. Senyuman manis bertengger indah ketika beberapa siswa menyapanya. Berusaha memperlihatkan pada dunia bahwa ia baik-baik saja, setidaknya untuk saat ini ia masih ingin bertahan, entahlah jika esok. Sayapnya belum cukup kuat untuk terbang terlalu jauh, banyak jiwa yang sering kali mengurungnya, memaksanya untuk tetap kuat meski raga sering kali terasa remuk redam bak tertusuk banyaknya belati.“Pagi kak Sea.” Sapa Alya, adik sepupunya yang baru saja turun dari mobilnya. Orang tua mereka tak terlalu akrab, tapi tentu itu tak mempengaruhi hubungan keduanya. Keluarga mereka dibesarkan dengan penuh ambisi, perebutan kekuasaan menjadi faktor sering kali orang tua mereka tidak akur.
“Berangkat sama kak Gio lagi? Kakak mau sampai kapan sih kayak gini terus?” Mereka jalan beriringan membuat siswa-siswi yang melihat mereka terkagum-kagum dengan kedua orang itu.
“Kakak nggak ngerti maksud kamu apa?” Alya menghentikan langkahnya dan memegang tangan Sea memintanya berhenti sejenak.
“Jangan pura-pura di depanku, aku tahu kakak tersiksa dengan perjodohan ini.”
“Mau sampai kapan kakak diam aja disakiti seperti ini? Kakak berhak menolaknya.” Ujarnya sembari memperlihatkan tangan Sea yang memerah, dan ia yakini bahwa ini akibat perbuatan lelaki brengsek itu.
“Alya kakak baik-baik aja kok, sudah ya nggak usah dibahas lagi.” Sea meninggalkan Alya yang hampir saja menangis. Merasa tak tega dengan keadaan kakak sepupunya itu. Mereka dilahirkan dengan didikan yang sama. Sayangnya Alya justru tumbuh menjadi pembangkang, ia tak segan menolak jika tidak suka. Berbeda dengan Sea yang menerima begitu saja apapun yang dirancangkan untuknya.
11 September 2020
Terima kasih sudah membaca cerita ini
Jangan lupa tinggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope (On Going)
SpiritualHidupnya tak ubah air yang mengalir mengikuti arusnya. Terjebak dalam sebuah permainan yang dibuat semesta. Mimpi dan cinta pun telah ia relakan. Namun setitik harapan tumbuh tatkala semesta mempertemukannya lagi dengan seseorang itu, setidaknya ia...