Langit sore itu begitu tak bersahabat, awan cumulonimbus terlihat domanan di atas sana. Tetes-tetes air jatuh beriringan bersama petir. Gadis itu tampak begitu anggun dengan balutan dress berwarna peach selutut, langkahnya melenggak-lenggok di atas catwalk. Suara tepuk tangan menyambut gadis itu, ia mengedarkan pandangannya kepada orang-orang yang menatapnya penuh binar.
Usai acara dia di sambut lelaki tampan yang mengenakan tuxedo abu-abu. Lelaki itu merangkul pinggang gadis yang ia perkenalkan sebagai kekasihnya itu.
“Gio, kalian itu cocok sekali.” Ujar seseorang yang tampaknya seusia dengan lelaki bernama Gio itu.
“Benarkah? Aku senang mendengarnya.” Jawab Gio sembari melirik Sea yang berada di sampingnya, Sea menatap Gio seolah memberitahukan bahwa ia tidak nyaman.
“Baiklah sepertinya aku harus mengantarkan Sea pulang.” Pamitnya kepada pria berpenampilan yang serupa dengannya itu.
Sepanjang perjalanan tidak ada siapa pun yang memulai pembicaraan, deru mobil mendominasi keheningan itu. Hari ini Sea sangat lelah, terlalu lelah untuk sekedar memulai obrolan.
“Besok ada makan malam keluarga, aku ingin kamu datang.” Ujar Gio memecah keheningan.
“Aku ingin istirahat, bisakah satu hari saja aku tenang?” Gio menatap Sea dengan tatapan yang terlihat menakutkan. Inilah yang membuat Sea sulit melabuhkan hatinya kepada Gio, selain ia tempramen Gio juga tidak suka dibantah.
“Kamu merasa terganggu denganku, hah?” Ujarnya sambil menarik lengan Sea kasar.
“Aku muak berpura-pura seperti ini, sampai kapan kita akan melakukan sandiwara ini?” Teriak Sea yang dibalas cengkraman lebih kuat oleh Gio, membuat Sea meringis merasakan sakit pada lengannya.
“Dengar aku baik-baik, harusnya kamu bersyukur bersamaku. Karena sekarang keluargamu itu tidak jadi bangkrut berkat bantuan orang tuaku. Apa susahnya menuruti keinginanku?”
“Bukankah kamu memiliki kekasih? Kenapa kamu harus rela menghabiskan waktumu dengan seseorang yang tidak kamu cinta?” Jujur saja Sea sempat merasa takut, karena cengkraman di lengannya semakin kuat. Tapi ia ingin mengakhiri ini secepat mungkin.
“Kamu pikir ini atas keinginanku? Aku juga ada diposisimu sekarang, jadi jangan merusak segala sesuatunya karena kebodohanmu.” Gio melanjutkan perjalanannya yang sempat terjeda lantaran percekcokan tadi.
Sesak. Itulah yang dirasakan Sea saat ini, ia ingin memilih tapi tidak pernah ada pilihan untuknya. Mungkin bukan hanya Sea yang merasakan itu. Tapi lelaki disampingnya ini pun tak bisa berbuat apapun atas plihannya.
******
Fasya berhenti di depan rumah mewah bercat putih, pandangannya menyapu sekitar. Halamannya luas sekali, ada banyak tanaman hias memenuhi teras rumah itu. Memperlihatkan betapa senangnya pemilik rumah itu dengan aneka flora.
“Fasya cucuku.” Seorang wanita paruhbaya berlari ke luar sambil memeluk cucu semata wayangnya itu.
“Assalamu’alaikum, Nek.” Ujar Fasya ketika Yuri, neneknya melepas pelukannya. Terlihat cairan bening keluar dari kelopak matanya. Ia menatap cucunya dengan derai air mata yang tak kuasa dibendung, kemudian tangannya mengelus wajah pemuda tampan itu, ketampanan anaknya begitu menurun pada cucunya ini.
“Wa’alaikumussalam, kamu sudah besar Nak.” Fasya menghapus jejak air mata itu dipipi sang nenek.
"Nenek kok nangis? Fasya jauh-jauh ke sini bukan untuk melihat nenek menangis."
“Fasya senang melihat nenek sehat diusia nenek yang tidak lagi muda.”
“Maaf Fasya pergi terlalu lama, Fasya hanya takut…” Yuri kembali memeluk cucu tercintanya itu. Ia tahu betul apa yang menimpa Fasya begitu berat, hingga perlu waktu lama untuk membawanya kembali ke sini.
"Nek, Fasya lapar sudah tidak sabar merasakan masakan nenek lagi." Ujar Fasya membuat Yuri semakin mengeratkan pelukannya.
"Sayang, kamu membuat cucumu sesak nafas." Suara bariton itu membuat keduanya menoleh. Fasya terkekeh melihat kakeknya yang sedang cemberut ketika istrinya tidak segera melepaskan pelukannya.
"Biarkan saja, aku sangat merindukan cucuku yang tampan ini." Ujar Yuri membuat Fasya terkekeh mendengar pujian Yuri yang terasa berlebihan itu.
Ketika hendak masuk, sang kakek terlihat sedang berdiri di ambang pintu. Tatapannya menyiratkan kerinduan kepada Fasya, tiba-tiba saja rindu itu kembali menyeruak. Tak bisa ia sembunyikan bahwa ia merindukan anaknya yang meninggal belasan tahun lalu, wajah itu benar-benar menyerupai putranya.
Setelah adegan mengharukan tadi, Fasya di antarkan ke kamarnya. Rumah ini tidak banyak berubah, masih sama seperti terkahir kali ia ke sini. Langkahnya terhenti menatap foto mendiang orang tuanya, tak terasa air matanya pun menetes.
“Ya Allah aku ikhlas atas kepergian mereka. Aku pun tak ingin menyalahkan takdir-Mu. Tapi aku masih saja merindukan mereka, ingatan dimana mereka bersamaku kemudian dalam sekejap aku kehilangan semuanya. Berikan hatiku kelapangan dalam menerima semua kehendak-Mu.” Jeritnya dalam hati, ia memeluk erat bingkai foto itu dengan sesak yang terasa menyayat-nyayat.
26 September 2020
Maaf karena keterlambatannya, Alhamdulillah sejauh ini gimana alurnya? Partnya masih gantung yaa😁
Terima kasih kepada reader yang masih setia membaca cerita ini
Jangan lupa tinggalkan jejak! 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope (On Going)
SpiritualHidupnya tak ubah air yang mengalir mengikuti arusnya. Terjebak dalam sebuah permainan yang dibuat semesta. Mimpi dan cinta pun telah ia relakan. Namun setitik harapan tumbuh tatkala semesta mempertemukannya lagi dengan seseorang itu, setidaknya ia...