Bagian 4

4 1 0
                                    

Suasana ramai mulai mengisi rumah mewah itu, meja makan terisi penuh oleh tamu. Keluarga Sea mengadakan makan malam bersama keluarga Gio.

Hanya ada dua orang yang bungkam di atas meja bundar itu. Sea memilih untuk fokus pada makanannya sementara Gio terlihat sibuk mengetikan sesuatu di handphonenya. 

“Dito, mengenai perjodohan anak kita bagaimana jika pertunangan mereka di percepat?” Ujar Maorin kepada Dito yang duduk di depannya. Sea maupun Gio sama-sama menoleh kearah Maorin. Bukankah ini gila? mereka masih sekolah, bahkan usia Sea belum genap 19 tahun.

Bagaimana mungkin mamahnya itu memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan masa depannya tanpa bertanya pendapatnya, lagipula dirinya tak ingin terjebak terlalu jauh dengan pria bernama Gio itu.

“Mah!”
“Maorin!” Ujar Bimo dan Sea bersamaan.

“Kenapa memangnya? Bukankah lebih cepat lebih baik. Lagipula ini hanya pertunangan, hanya untuk mengikat mereka saja. Kamu tidak keberatan kan Dito?”

“Jadi untuk alasan itu kau mengundangku kesini? Aku akan memikirkannya nanti.” Maorin terlihat senang dengan jawaban Dito. Dito dan Maorin bersahabat sejak lama, tak ada yang tahu seberapa jauh hubungan mereka di masa lalu. Tapi Dito lah yang membantu Maorin ketika perusahaannya terancam bangkrut. Sejak itu Maorin menawarkan untuk menjodohkan anak mereka yang sudah saling mengenal tetapi tidak terlalu dekat itu.

Usai acara makan malam yang terasa menyiksa bagi Sea, Sea kini menatap mamahnya yang sedang sibuk mengetikan sesuatu di leptop. Kaca mata bening bertengger indah di sana, wanita itu masih terlihat cantik di usianya yang sudah mencapai kepala empat.

“Mah, ada waktu? Ada yang ingin Sea bicarakan.” Maorin menatap Sea sejenak kemudian matanya kembali berfokus pada leptop.

“Mau bicara apa? Mamah tidak punya banyak waktu.” Selalu, bukankah mamah memang tidak pernah punya waktu untukku. Batin Sea.

“Maksud mamah apa? Mamah minta pertunangan aku dan Gio dipercepat? Aku nggak mau mah.” Sea menatap mamahnya dengan tatapan sendu. Perih itu terasa nyata menyayat hatinya. Bolehkah kali ini ia egois? Karena sejujurnya batinnya mulai enggan bertahan lagi. Maorin berdiri dari duduknya, menatap tak suka dengan perkataan putrinya.

“Kamu mau melawan mamah?”

“Sea capek mah, Sea nggak bisa bersama Gio. Dia pria kasar, Sea nggak akan sanggup.” Kali ini air mata tak sanggup dibendungnya.

“Maksud kamu?”

“Mamah nggak tahukan selama ini Gio selalu seenaknya, kadang dia juga memperlakukan Sea dengan kasar.”

“Kamu nggak usah ngarang, kamu bilang kayak gini untuk membatalkan perjodohan kalian, kan?” sebelum menyangkal Maorin kembali membungkam Sea dengan tatapannya.

“Sudah Sea, mamah sedang ada pekerjaan. Pergi ke kamarku dan jangan membahas soal ini lagi.” Bentak Maorin.

“Sea lelah, lelah menghadapi sikap mamah. Selama ini Sea diam karena tidak mau membuat mamah kecewa. Tapi ternyata Sea nggak sanggup mah. Sea punya banyak mimpi, apa Sea nggak beloh menentukan jalan yang ingin Sea pilih….” PLAAAK, perih sekali. Perih di pipinya tak sebanding dengan sayatan luka yang menggores hatinya akibat keegoisan sang mamah. Hancur sudah, kini Sea terduduk di lantai sembari memegang pipinya, bibirnya ikut mengeluarkan darah segar memperlihatkan betapa keras tamparan yang ia terima. Ini pertama kali Maorin menamparnya, rasanya sakit sekali. Suggguh.

Malam itu luka kembali Sea dapatkan, entah luka mana yang harus ia obati lebih dulu. Seseorang mengetuk pintu kamarnya, memaksa Sea yang tadinya hendak memejamkan mata harus kembali bangkit.

“Papa boleh masuk?” Sea membiarkan Bimo masuk ke kamarnya. Bimo menyapu pandangannya mengitari kamar putrinya. Sudah lama sekali ia tidak kesini. Itu artinya sudah lama ia mengabaikan putrinya hanya untuk urusan pekerjaan yang membuatnya menjadi monster.

“Kamu kenapa belum tidur? Papa membawa es batu untuk mengompres luka kamu.”Bimo sudah mendudukan dirinya di bibir kasur, menatap Sea yang masih berdiri dengan tatapan kosong.

“Papa minta maaf, nggak bisa berbuat apapun. Papa selalu diam dengan perlakuan mamahmu yang kasar. Tapi papa harap, papa bisa menjadi tempat untuk kamu mengaduh dan menangis.” Sea menangis saat itu juga, air mata itu entah sudah berapa banyak yang terjatuh hari ini.

Bimo memeluk putrinya erat, sungguh derita itu ia rasa juga. Ia tahu perih yang ia torehkan untuk putrinya begitu dalam, entah ia sanggup atau tidak mengobatinya.

Pagi harinya mata Sea terlihat sembab. Sea mengenakan dress selutut berwarna light grey dan di padukan dengan flat shoes berwarna hitam, hari ini ia memutuskan untuk menemui Gio di apartementnya. Sea berjalan dengan anggun sembari menyapa beberapa orang yang melewatinya.

Ketika sampai di depan apartement Gio, jemari lentiknya menekan beberapa angka untuk membuka pintu apartement itu. Sampai ketika pintu itu terbuka, Sea mendengar dua orang yang sedang terlibat berbincangan.

“Kamu bilang kamu akan mengakhiri hubunganmu dengannya? Lalu hari ini aku mendengar kabar bahwa kalian akan bertunangan. Apa kamu sedang mempermainkanku?”

“Kamu salah paham, aku tidak pernah mencintai perempuan itu. Jangan menangis ya, aku hanya akan bersama denganmu. Aku akan meninggalkan perempuan itu, lagipula dia hanya pengganggu.” Sea melihat Gio memeluk perempuan itu, Sea tidak cemburu hanya saja kata-kata Gio sungguh melukai harga dirinya. Apa dia pikir Sea itu sampah? Bisa ia buang kapanpun.

“Gio, jadi dia perempuan itu.” Kedua orang yang sedang berpelukan itu menolah ke arah Sea.

“Sedang apa kamu disini? Aku tidak menyuruhmu datang.”Gio menatap Sea tajam, tatapannya begitu menusuk.

“Masalahmu denganku belum selesai, tapi kamu sudah memulai kisah baru dengan perempuan lain. Setidaknya kamu akhiri hubungan kita dengan benar. Harga diriku terasa direndahkan.”

“Kamu memang tidak punya harga diri. Memangnya siapa yang datang mengemis kepadaku untuk menjalin hubungan denganmu? Mereka orang tuamu. Orang tuamu menawarkan putrinya kepadaku hanya untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Kamu tidak bernilai Sea, bahkan orang tua kamu sendiri tidak memperdulikanmu kenapa sekarang aku harus memperdulikan perasaanmu? Hah.” Gio menatap Sea dengan intens.

“Kamu hanya pengganggu Sea. Nggak ada yang peduli sama kamu, karena kamu hanya dijadikan alat.” Sea menampar Gio, anggaplah itu balasan atas semua perlakuan Gio kepada Sea. Kata-kata Gio membuat harga dirinya hancur, serendah itukah ia? Ia terluka tapi batinnya membenarkan perkataan Gio barusan.

Dan disinilah Sea berada, terdampar diatas nestapa yang dibangun orang-orang yang ia sebut keluarga. Ia sudah memikirkan betul, langkahnya kini sudah benar. Untuk apa ia hidup, bila tidak ada satupun yang memperdulikannya? Mungkin selama ini kehadirannya hanya menjadi nestapa bagi ornag-orang di sekitarnya. Sea merentangkan tangannya, membiarkan angin berembus lembut menerbangkan rambutnya. Di sini ia putuskan untuk mengakhiri segalanya, mungkin ini saatnya ia menyerah.

"Tuhan maaf aku pergi dengan cara seperti ini, tapi rasanya tidak ada tempat lagi bagiku. Tidak ada satupun yang mau mendengar jerit sakit ini. Mungkin memang tidak ada cinta bagiku di dunia ini. Kejam sekali bukan?" Jeritnya dalam hati.

Sampai pada satu teriakan berhasil menghentikan langkah Sea yang sudah berada di bibir dinding pembatas jalan.

Astaghfirallah, istighfar! Kamu mau bunuh diri?” Sea menoleh, dan mendapati seorang pemuda tampan sedang menatap ke arahnya dengan wajah panik.

“Jangan mendekat atau aku akan melompat!” Ancam Sea ketika pemuda itu mengambil langkah mendekat ke arahnya.

10 Oktober 2020

Part ini nggak tau kenapa berat banget konfliknya buat aku yaa.. Hehe😆, aku jadi ikutan lelah ini. Maaf yaa aku telat posting part ini. BTW in syaa Allah besok update lagi kok😉
Pantengin terus lapak ini😁

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca cerita ini
Jangan lupa tinggalkan jejak!

Hope (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang