Lantunan ayat-ayat cinta menggema di sudut-sudut pesantren. Suaranya mengalun indah menyayat hati siapapun yang mendengarnya, air mata tak sedikit yang menetes ketika ia sampai pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang luas-Nya kasih sayang Allah. Setelah menghabiskan waktu dengan al-Qur’an, pemuda itu berjalan-jalan di sekitar Pondok. Besok ia akan kembali ke tanah kelahirannya, jujur saja jika boleh memilih ia ingin tetap berada disini. Mengkaji ilmu agama, mempersiapkan diri untuk mengahadapi peliknya dunia.
Wajahnya basah oleh air wudhu, tatapannya begitu lembut membuat siapapun yang melihat akan terpana. Lisannya tak henti dari berdzikir kepada Allah.
“Assalamu’alaikum Mas Fasya.” Pemuda itu menoleh tatkala namanya di panggil oleh Ahmad. Pemuda itu tersenyum ramah kepada salah satu kawannya selama tinggal di pesantren ini.
“Wa’alaikumussalam, Mad.”
“Saya dengar hari ini mas Fasya pulang ke kota? Kenapa ndak kasih tahu saya toh mas.” Ahmad berujar sambil mengerucutkan bibirnya, sontak saja Fasya terkekeh melihat ekspresi lucu dari sahabatnya itu.
“Kamu ini seperti anak kecil, saya baru mau bilang ini.”
“Ya tapi..”
“Sudah jangan cemberut, lebih baik kamu temani saya berkeliling. Saya ingin merekam jejak saya selama di sini, kalau-kalau saya rindu.” Fasya menarik lengan Ahmad agar pemuda itu tidak kembali merajuk .
Ketika sampai di ladang, ia berpapasan dengan seorang gadis dengan pakaian tertutup yang langsung menundukan pandangannya ketika tak sengaja bertatapan dengan mata hazel pemuda itu. Ada desiran aneh ketika ia melihat Fasya yang kini berjalan ke arahnya, ah tidak. Mungkin saja tujuan Fasya adalah hamparan sawah yang ada di belakangnya.
“Assalamu’alaikum Mbak Syifa.” Sapa Ahmad membuat Syifa menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. Ekor matanya menatap Fasya yang acuh meninggalkan ia dan Ahmad.
“Dari mana mbak? Kok tumben sendirian.”
“Saya habis melihat para petani yang akan mempersiapkan perlengkapan untuk panen besok.” Ujarnya dengan pendangan yang menunduk, sejujurnya ia tak nyaman berbicara berdua dengan laki-laki. Tapi apa boleh buat, rasa penasarannya sudah sampai di ubun-ubun membuatnya harus nekat menanyakan kepada pemuda di hadapannya ini mengenai kabar kepergian pujaan hatinya. Kabar itu terdengar olehnya beberapa hari lalu, hatinya begitu resah mendapat kabar itu.
Fasya Al-Falaqi, satu nama yang dengan lancangnya mengisi relung hatinya yang kosong. Ia mengagumi kesholehan pemuda itu, wajahnya yang selalu basah oleh air wudhu serta akhlak pemuda itu yang mampu membuat atensinya berputar tentang pria itu.
Astaghfirallah. Gumamnya dalam hati.“Mbak sudah tahu belum, mas Fasya besok akan kembali ke kota.” Ujar Ahmad seperti tahu saja isi kepala gadis itu.
“Saya sudah dengar kabarnya, Ahmad. Tapi kenapa mendadak sekali?” Dari nada bicaranya saja Ahmad sudah bisa merasakan bahwa perempuan itu mengkhawatirkan pemuda yang sudah seperti kakak laki-lakinya itu.
“Saya juga mendadak dapat kabarnya mbak, entahlah apa yang membuat mas Fasya harus pergi dan melanjutkan sekolah disana.”
“Sabar mbak, cinta tahu kemana ia pulang. Saya permisi mbak, Assalamu’alaikum.” Ahmad pamit hendak mengejar Fasya yang sudah tak terlihat batang hidungnya. Syifa mencoba menenangkan hatinya, perasaannya ini tak benar. Ia harus yakin jika pemuda itu jodoh yang Allah takdirkan untuknya, sejauh apapun ia pergi, pada akhirnya ia akan kembali lagi. Tapi sebaiknya ia tak lagi memupuk harap, takut jika pada kenyataannya harap itu tak akan pernah menjadi nyata.
Fasya menatap hamparan sawah yang sudah menguning, terdengar Ahmad berlari ke arahnya dengan nafas terengah-engah.
“Kamu kenapa lari?”
“Ya mas Fasya kenapa pergi gitu aja, tadi saya habis ngobrol sebentar sama mbak Syifa.” Fasya kembali menatap hamparan padi yang sudah menguning itu, matahari sudah mulai menyingsing yang kemudian menyisakan lembayung jingga yang nampak elok. Bukan ia tidak tahu bagaimana perasaan gadis itu untuknya, hanya saja ia tak ingin memberi harapan lebih untuknya ketika ternyata hatinya telah terisi oleh satu nama.
“Mbak Syifa baik sekali ya mas, sudah cantik sholehah pula.” Ahmad ikut menikmati keindahan senja dengan latar persawahan yang begitu memanjakan mata itu.
“Istighfar Mad, saya tahu dia baik karena itu saya tidak ingin menyakitinya.” Segera ia memutus atensinya dari rona senja dan berjalan kembali menuju pondok dengan diikuti Ahmad di belakangnya.
******
Mobil hitam itu melaju melewati hamparan hijau yang berasal dari perkebunan teh. Fasya membuka kaca mobilnya membiarkan aroma desa itu menyeruak mengisi rongga penciumannya. Raganya terasa berat meninggalkan tempat ini, namun langkah ini harus membawanya kembali ke tanah kelahirannya.
Ada desiran aneh yang perlahan memenuhi dadanya, jujur saja ia takut. Takut jika ia harus kembali berjumpa dengan potongan masa lalu yang sudah perlahan ia lupakan. Gadis itu, apakah ia akan bertemu dengannya lagi atau mungkin semesta tak akan mengizinkan mereka kembali menuai kisah usang itu. Karena pada kenyataannya ia tak sama seperti dirinya di masa lalu, bagaimana jika gadis itu juga sudah berubah dan melupakannya. Ah hati dan pikirannya kini kembali tidak sejalan, jujur saja ada rindu yang menyeruak begitu saja ke permukaan tapi pikiran justru meminta untuk kali ini ia menghindar saja. Ya, memang itu yang terbaik tapi kenapa hatinya menolak dengan keras. Fasya dibuat resah dengan hati dan pikirannya.
“Mas Fasya mau sarapan dulu?” Ujar Ahmad sambil menoleh ke arah Fasya yang tampak sibuk dengan pikirannya. Ahmad memutuskan untuk ikut mengantar kepergian sahabatnya itu sampai tujuan, kini mereka telah sampai di kota kelahiran Fasya. Kedatangan mereka langsung disambut bangunan-bangunan pencakar langit.
“Boleh Mad, kebetulan tadi saya belum makan.” Mobil mereka berhenti di depan penjual bubur ayam yang tampak sudah ramai pembeli.
“Lumayan ramai ya mas.” Mereka mencari tempat duduk yang masih kosong.
“Saya sering mampir ke sini dulu Mad, Ma syaa Allah ternyata belum banyak yang berubah.” Fasya memperhatikan sekitarnya, mengingat dulu ia sering sekali mampir sarapan ke sini.
Sebuah mobil berhenti di depan penjual bubur itu, tak lama supirnya ikut turun untuk memesan bubur.
“Pak, saya pesan bubur jangan pakai kecap, kacang, sama sambal.” Ujar pria bertubuh tambun itu. Sejenak Fasya seakan ditarik kembali ke ingatan di masa lalunya.
“Fasya aku mau bubur, jangan pakai kecap, kacang sama sambal yaa aku nggak suka pedas.” Ujar gadis kecil berpipi bulat itu sambil mengayun-ayunkan tangannya yang mengenggam tangan Fasya.
“Lah terus pakai apa aja dong?”
“Ya udah nanti aku suruh bapaknya kasih bungkusnya doang buat kamu.”
“Ih Fasya, masa aku dikasih bungkusnya sih. Maksud aku tuh bubur sama seledri aja gitu.” Ujar gadis kecil itu sambil mencubit lengan Fasya, hingga membuat Fasya terkekeh karena berhasil membuatnya kesal.
Sepotong kenangan itu berhasil membuat Fasya tersenyum, membayangkan pipi bulat gadis kecil itu yang akan terlihat semakin bulat jika sedang kesal membuat Fasya gemas. Jujur saja ia rindu, tapi ia sadar tak semua rindu harus di ungkap, kadang justru lebih baik jika disimpan sendiri saja.
“Mas, buburnya udah datang itu kok malah melamun.” Ujar Ahmad yang berhasil menyadarkan Fasya dari lamunannya. Ah ternyata ia masih ingat dengan makanan kesukaan gadis itu.
14 September 2020
Terima sudah membaca cerita ini
Jangan lupa tinggalkan jejak!Maafkan author belum bisa rajin up 😅
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope (On Going)
SpiritualHidupnya tak ubah air yang mengalir mengikuti arusnya. Terjebak dalam sebuah permainan yang dibuat semesta. Mimpi dan cinta pun telah ia relakan. Namun setitik harapan tumbuh tatkala semesta mempertemukannya lagi dengan seseorang itu, setidaknya ia...