Sea sudah sampai di hotel yang ditunjukan pemuda itu. Pemuda itu memesankan kamar hotel untuknya menginap. Ia pikir mungkin memang ia perlu waktu untuk menenangkan pikiran dan hatinya. Sesaat melihat pemuda itu ia seperti mengenali seseorang, mata hazel pemuda itu mengingatkannya pada seseorang namun Sea belum bisa memastikannya karena pemuda itu masih menutupi jati dirinya.
"Terima kasih atas bantuanmu hari ini, jika kita bertemu lagi nanti akan aku ganti uangnya." Ujar Sea kepada pemuda yang terus saja menunduk itu.
"Kamu lagi nyari sesuatu? Kenapa dari tadi nunduk?"
"Saya pamit dulu, Assalamu'alaikum." Pamit Fasya tanpa menghiraukan tatapan heran Sea. Baru selangkah Fasya berbalik lagi tentunya dengan pandangan yang masih tertunduk.
"Ouh iya jangan berfikir untuk mengakhiri hidupmu lagi, harusnya kamu bersyukur dan menggunakan masa muda kamu untuk memperbanyak beramal, mempersiapkan berjumpa dengan sakaratul maut." Ah sekarang Sea ingin mengusir pemuda itu secepatnya, ia hanya berbicara panjang x lebar untuk menceramahi Sea, sementara pembahasan yang lain ia tanggapi dengan singkat dan padat. Menyebalkan, Sea seperti sedang diceramahi oleh guru Agama.
"Kamu tuh dari tadi ceramah mulu, aku ngerti kok." Sea mengerucutkan bibirnya.
"Dia aneh sekali sih." Gumam Sea ketika melihat Fasya sudah melaju dengan motornya.
Malam itu Sea tak menerima satu pun telepon, begitu tidak berhargakah dirinya? Oh tuhan kenapa ini terasa begitu sakit. Sea menatap langit-langit kamarnya lalu perlahan ia memasuki alam mimpinya.
Sea berada di ruang yang sangat gelap, tak ada satu pun cahaya. Pengap, sesak, Sea terperangkap. Air matanya jatuh begitu saja, tangannya gemetar. Ia tak suka kegelapan karena saat itu ia tak tahu kemana arah yang harus ia tuju. Sampai sebuah kehangatan menjalar di tangannya, ya genggaman itu menghantarkan kehangatan untuknya.
"Jangan takut, aku sudah menggenggam tanganmu." Ujar Fasya sambil menggenggam tangan Sea, memberinya keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja. Sungguh ini lebih dari cukup untuk Sea, genggaman tangannya saja sudah mampu membuat Sea merasa baik-baik saja.
"Bolehkah aku memintamu untuk tidak melepaskan tanganmu? Aku takut kegelapan." Ujar Sea dengan nada gemetar.
"Aku akan menggenggam tanganmu, jadi jangan khawatir lagi." Setelah itu Fasya tiba-tiba tertarik dan melepaskan tautan jemari mereka. Sea berteriak memanggil nama Fasya, tapi tidak ada sautan sama sekali. Fasya pergi entah kamana.
"Fasyaaa.." Teriak Sea hingga terbangun dari tidurnya. Keringat sudah membanjiri keningnya.
"Fasya, kamu kemana sih? Aku takut." Sea menangis sesenggukan sambil memeluk lututnya. Rindu itu kembali menyeruak ke permukaan. Fasya Al-Falaqi, bocah laki-laki yang selalu menjahilinya, yang selalu mengacak-acak rambutnya, yang selalu menjaga Sea, yang selalu menggenggam tangannya ketika Sea ketakutan atau yang selalu memeluknya ketika Sea menangis. Ya, Sea merindukannya.
Pagi itu udara dingin terasa menusuk, pasalnya sejak semalam hujan tak jua berhenti. Mungkin hujan mengerti ada air mata yang coba ia sembunyikan, kesedihan yang coba di rampas. Bukankah hujan memang seringkali menjadi moment yang membuat suasana lebih melankolis?
Fasya, pemuda itu sudah siap dengan seragam sekolah barunya. Akhirnya dengan sedikit paksaan, Fasya berhasil dibujuk sang nenek sekolah di sini sambil menemani neneknya. Fasya tak punya siapapun lagi yang dekat dengannya selain kakek dan neneknya. Fasya berjalan ke dapur untuk menemui ART disana.
"Bibi, Fasya boleh minta tolong?" Asisten Rumah Tangga yang dipanggil bibi itu menoleh dan tersenyum ramah. Usianya mungkin hampir sama dengan neneknya.
"Boleh den, minta tolong apa?"
"Fasya minta tolong buat belikan baju."
"Ouh boleh den, tapi bibi nggak tahu selera pakaian den Fasya seperti apa."
"Bukan buat Fasya bi, buat teman Fasya. Tolong belikan baju perempuan, kalau bisa pilihkan yang long dress aja." Bi Atun langsung menatap Fasya seolah sambil menggerlingkan matanya.
"Den Fasya baru beberapa hari di sini sudah punya teman perempuan toh." Ujar Bi Atun sambil cekikikan. Fasya jadi menghela nafas karena paham maksud Bi Atun ke arah mana.
"Kita nggak dekat bi, kemarin Fasya liat dia hampir bunuh diri. Terus Fasya tolongin, sepertinya dia sedang ada masalah."
"Sekarang dia nginep di hotel, Fasya hanya tidak tega bi." Bi Atun membulatkan bibirnya mendengar penuturan Fasya dan mengguk-anggukan kepalanya.
"Kalau begitu bibi siapkan makanan dulu, nanti bibi belikan bajunya."
"Bisa sekalian di antar ke sana bi? Nanti Fasya kasih alamatnya, o iya sekalian bawa makanan juga ya bi." Bi Atun sedikit heran, jika memang Fasya baru bertemu perempuan itu mengapa dia begitu khawatir?
Bi Atun sampai di loby hotel yang tunjuk Fasya, setelah menanyakan kamar perempuan itu Bi Atun segera melankahkan kakinya menuju tempat yang dituju.
Suara bel terdengar nyaring, Sea yang masih bergelut dengan selimut sedikit terganggu dengan nyaring di pagi-pagi buta begini.
Ketika Sea membuka pintu sudah ada seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintunya sambil tersenyum.
"Ada perlu apa ya?" Bi Atun sedikit melirik ke pergelangan tangan Sea yang menampilkan sayatan kecil benda tajam. Apa dia masih berusaha bunuh diri? Gumam Bi Atun dalam hati.
"Bibi belikan baju dan sarapan untuk non Sea." Ujar Bi Atun sambil memperlihatkan paper bag yang di bawanya.
"Non Sea pasti bingung, nanti bibi jelaskan. Sekarang kita masuk dulu ya nanti bibi siapkan sarapannya." Sea sedikit takut namun pada akhirnya ia mempersilahkan wanita yang memanggil dirinya sendiri bibi itu masuk.
Sea sudah siap dengan pakaian yang di bawa bi Atun itu, long dress berwarna hijau toska. Entah bagaiman ukurannya pun sangat pas dengan tubuhnya.
"Jadi bibi kesini karena di suruh sama cucunya bos bibi, yang kemarin katanya menyelamatkan Non Sea."
"Kenapa dia repot-repot sampai minta bi Atun datang kesini." Ujar Sea sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bibi juga kurang tahu." Ada sedikit rasa penasaran mengenai pemuda yang sudah menolongnya itu.
"Bi, Sea boleh tahu nama cowok yang sudah menyelamatkan Sea?" Sea menyendokan nasi ke mulutnya namun gerakannya menjadi terhenti ketika mendengar jawaban Bi Atun.
"Jadi Non Sea belum tahu namanya toh, namanya den Fasya, non." Bagai tersambar petir di siang bolong, mungkin pepatah Sedang Sea rasakan. Satu nama yang begitu Sea rindukan. Apakah ia Fasya yang selama ini Sea nanti?
"Nama panjangnya siapa bi?" Sea menatap Bi Atun dengan tatapan penuh harap. Semoga itu kamu. Gumam Sea dalam hati.
"Kalau nggak salah Fasya Al-Falaqi gitu, bibi nggak terlalu tahu." Air mata Sea jatuh begitu saja, tangisnya pecah tak mampu ia bendung. Ada rasa bahagia yang mendadak menggembung didadanya, tetapi ia juga sedih kenapa Fasya tidak memberitahunya. Banyak sekali pertanyaan di benaknya sekarang, kemana saja ia pergi? Mengapa ia tak pamit? Apa yang sebenarnya ia alami? Apa Sea melakukan kesalahan kepadanya? Sampai pada pertanyaan apa mungkin Fasya sudah membencinya? Kenapa Sea tidak menyadarinya? ah hatinya terasa berdenyut sakit.
1 November 2020
Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca part ini
Jangan lupa tinggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope (On Going)
SpiritualHidupnya tak ubah air yang mengalir mengikuti arusnya. Terjebak dalam sebuah permainan yang dibuat semesta. Mimpi dan cinta pun telah ia relakan. Namun setitik harapan tumbuh tatkala semesta mempertemukannya lagi dengan seseorang itu, setidaknya ia...