Bagian 5

12 1 0
                                    

Detak jam terdengar beraturan bersama suara gemerisik angin yang menyentuh dedaunan, di sepertiga malam itu seorang anak manusia terlihat sudah khusyuk dalam sujudnya. Seringkali waktu itu dibiarkan berlalu saja oleh sebagian orang, padahal di sepertiga malam Allah turun ke langit dunia.

Rasulullah SAW bersabda :
“Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta-minta kepada-Ku niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhori no. 1145 dan Muslim no. 1808)

Setelah menyelesaikan shalat malamnya, sambil menunggu waktu shubuh Fasya meraba al-Qur’an kecil di atas nakas. Kembali menghiasi lisannya dengan lantunan ayat suci al-Qur’an yang terdengar merdu mengisi keheningan di sepertiga malam itu.

Pagi ini Fasya sudah bersiap dengan hoodie berwarna navy yang dibelikan neneknya semalam, sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih pucat. Rencana Fasya hari ini adalah untuk menemui salah satu kerabatnya.

Ma syaa Allah, cucu nenek tampan sekali.” Puji Yuri yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan.

“Apaan sih nek.” Fasya tersenyum ramah menyapa neneknya.

Sarapan itu hanya diisi oleh candaan Wirawan yang ditujukan untuk istrinya. Fasya hanya bertugas sebagai pendengar dengan sesekali tertawa melihat tingkah kakek dan neneknya yang meskipun usia pernikahannya sudah lama tapi terlihat sangat harmonis.

“Fasya berangkat dulu ya nek. Assalamu’alaikum.” Pamitnya kepada Yuri yang kemudian disusul Wirawan.

Fasya berangkat seorang diri dengan motor, menikmati suasana kota metropolitan yang jauh dari kata sepi. Mendadak ia rindu dengan suasana pedesaan tempat ia mengkaji ilmu agama, benar-benar berbanding terbalik dengan tempat ini. Tanpa sengaja di jalan yang cukup lengang terlihat hanya beberapa kendaraan yang lewat, ekor matanya melihat seorang perempuan tengah berdiri di depan dinding pembatas jembatan.

Fasya menghentikan motornya di tempat yang agak jauh dari gadis itu berdiri, takut-takut jika perempuan itu sedang berencana mengakhiri hidupnya.

Seperti dugaannya, perempuan itu menaiki dinding pembatas dan merentangkan kedua tangannya. Fasya melihat sekitar, tak ada satupun kendaraan yang berhenti dan sadar dengan apa yang perempuan itu lakukan.

Haruskah aku menghentikannya seorang diri? Batin Fasya mulai menimang-nimang. Fasya segera berlari ke arah perempuan itu.

Astaghfirallah, istighfar! Kamu mau bunuh diri?” perempuan itu menoleh dan memasang wajah terkajut karena aksinya berhasil dihentikan.

“Jangan mendekat atau aku akan melompat!” Ancam perempuan itu ketika Fasya mengambil langkah mendekat ke arahnya.

“Istighfar, bukan seperti ini cara menyelesaikan masalah.” Perlahan namun pasti, Fasya semakin mendekat ke arah perempuan itu. Ia tidak mau gegabah dan membuat perempuan itu takut.

“Bicarakan baik-baik, semua permasalahan pasti ada jalan keluarnya.” Apakah ini waktunya ia untuk berceramah, ah ia sudah kepalang panik.

“Allah sedang menguji kamu, kamu tahu? Allah mengatakan kalimat indah di dalam al-Qur’an yang artinya Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

“Kamu turun dari sana ya? Saya akan bantu kamu.” Ujar Fasya dengan suara lebih lembut. Perempuan itu mulai ragu dengan tindakannya, perlahan ia melihat Fasya yang menatap ke arahnya memberikan keyakinan bahwa ia tidak akan sendirian lagi.

Ya Allah aku mohon lembutkan hatinya agar ia mau mendengarkanku. Batin Fasya.

Perempuan itu turun dari atas dinding pembatas jalan, perlahan mata indahnya menatap Fasya. Seketika Fasya mematung, bukan karena ia baru saja terkena virus ‘love at the first sight’ tidak sama sekali. Tetapi karena ia begitu mengenal mata itu, sorotan sendu terpancar dari sana. Sakit, itulah yang Fasya rasakan.

Sudah lama tak berjumpa, Allah mengizinkan mereka kembali bertatap muka namun dengan keadaan yang sungguh membuat hati Fasya teriris. Sebenarnya apa yang gadis itu alami, hingga membuatnya memutuskan ingin mengakhiri hidupnya.

“Kamu tidak akan bisa menolongku, semua yang datang dalam hidupku tak pernah ada yang benar-benar tulus.” Perempuan itu menundukan kepalanya, bahunya mulai bergetar.

“Kenapa kamu harus datang? Padahal selangkah lagi, aku bisa terbebas dari semua penderitaan ini.” Kali ini tangisnya tumpah, tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Sulit sekali menjabarkan rasa sakit yang Fasya rasakan kini, melihat perempuan itu menangis seperti membuka kepingan-kepingan masa lalu yang tak ingin ia sentuh.

“Apa kamu pikir dengan bunuh diri semua masalah kamu akan selesai? Kamu tidak memikirkan nasibmu di akhirat nanti? Apa kamu merasa bekalmu sudah cukup, sampai kamu putuskan untuk mngakhiri hidupmu seperti ini?”

“Meskipun bunuh diri, mereka yang menyakitimu akan tetap melanjutkan hidupnya. Raga kamu hanya akan terbuang dengan nama yang sudah tinggal kenangan. Jadilah sebaik-baik manusia, yang mana ketika ia mati menginggalkan banyak kebaikan untuk banyak orang.” Kejam sekali kata-katanya barusan, tapi ia tidak peduli. Ia sudah kepalang kesal dengan tingkah ceroboh perempuan itu yang tidak berubah sejak kecil.

“Kamu tuh niat bantu aku nggak sih, kok malah marah-marah. Kamu baru saja menggagalkan rencanaku, harusnya aku yang marah.” Ujar perempuan itu yang sambil menampilkan wajah cemberut.

“Apa yang perlu aku bantu?”  Fasya memilih pasrah, sepertinya rencananya untuk mengunjungi kerabatnya harus ia tunda. Lagipula ia tidak bisa meninggalkan perempuan itu sendiri dengan kondisi yang tidak stabil, bisa-bisa ia akan kembali melancarkan aksinya untuk bunuh diri.

“Aku perlu kamar hotel, aku tidak bisa pulang ke rumah karena baru saja mengubah rencanaku untuk bunuh diri menjadi hanya kabur dari rumah.” Fasya melongo mendengar penuturan gadis itu.

“Kabur dari rumah juga bukan jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.”

“sssstt, udah deh nggak usah berisik. Aku pergi dari rumah hanya untuk menenangkan hati dan pikiran. Lagi pula aku perlu waktu untuk kembali mengobati luka yang entah kenapa semakin terasa sakit ini.” Fasya menundukan pandangannya, ia sampai lupa jika ada batasan yang harus ia jaga sekarang.

“Akan saya pesankan taxi.”
Fasya menghentikan taxi yang lewat dan meminta perempuan itu masuk. Fasya berbicara sebentar kepada supirnya untuk tidak melajukan kendaraannya dengan cepat karena Fasya akan mengikutinya dari belakang.

“Nama aku Seana Latifha, kamu?” Perempuan itu memperkenalkan dirinya.

“Pak jalan aja, nanti saya susul dari belakang.” Fasya sengaja mengalihkan topik dan meminta supir untuk segera menyalakan mesin.

Maaf Sea, akan jauh lebih baik kalau kamu tidak mengetahui apapun tentangku. Gumam Fasya ketika mobil itu sudah berlalu.

Padahal aku belum tahu namanya, sepertinya aku pernah melihat orang itu. Gumam Sea ketika mobil yang ditumpanginya berjalan meninggalkan pemuda yang sudah berbaik hati menolongnya, bibirnya tertarik ke atas mengingat bagaimana tadi ia sempat dicermahi pemuda itu.

Lucu sekali. Batin Sea.

11 Oktober 2020

Hohoho akhirnya bang Fasya ketemu si masa lalu😙
Emangnya kenapa sih kok Fasya kyaknya trauma banget sama masa lalunya?!🙄
Eits sabar..sabar nanti juga ketahuan
Pantengin truss😁

Terima kasih buat teman-teman yang sudah membaca cerita ini😍
Jangan lupa tinggalkan jejak!

Hope (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang