4. Kejadian Memalukan

302 63 4
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Rasa dingin sudah tidak aku hiraukan karena debaran jantung terasa lebih ingin diperhatikan.

THR
Rani Septiani

***

Setelah berperang melawan kantuk setelah shalat subuh, akhirnya aku memutuskan untuk mandi. Padahal kasur dan selimut tampak lebih nyaman. Ditambah lagi gaya gravitasi di kasur terasa begitu kuat, sehingga aku cukup sulit untuk meninggalkan tempat itu.

Disinilah aku sekarang berada. Di tempat usahaku atau tempat menjemput rezeki. Ini adalah tempat fotocopy, ngeprint dan menjual berbagai alat tulis. Ya, tidak perlu aku jelaskan secara detail apa saja yang dijual di foto copy ini karena kalian juga pasti sudah tahu. Tempat ini masuk dalam kategori fotocopy yang sangat lengkap. Jika kalian ingin fotocopy atau ngeprint dengan pelayanan yang ramah dan kualitas fotocopy dan print yang sangat bagus. Maka fotocopy ini adalah solusinya.  Lokasinya juga sangat strategis. Jadi kalian tinggal cari saja fotocopy bernama 'Berkah Bersama' atau nama populernya adalah Berber. Jangan khawatir, karena teknologi semakin canggih. Kami juga melayani print via online. Tinggal cek aja ke instagram Berber yaa. Oke, aku malah jadi promosi. Sekali-kali boleh ya hehe.

Tanganku sudah gatal ingin menimpuk dia yang masih cekikikan di depan mesin fotocopy. Tenang, dia orang. Jadi kalian tidak perlu takut.

Akhirnya sebuah penghapus melayang tepat mengenai bahu kanannya. Membuat dia mengaduh karena terkejut. Bukan karena sakit.

"Pagi-pagi udah sensi aja lo. Pake timpuk-timpuk segala. Mubazir ni penghapus! Mending buat gue." Ya, dia adalah Pi.

Dia menertawaiku karena insiden tadi malam. Aku jadi teringat peristiwa itu. Menakutkan, menegangkan, dan juga memalukan. Lengkap sudah!

Entah sudah sejauh mana aku berlari. Tapi aku merasa tidak pernah sampai ke rumah. Ditambah lagi langkah kaki di belakang masih terdengar. Aku masih berlari sambil menengok ke belakang.

Byurrr

"Aaaa."

Aku menganga. Bagaimana bisa? Aku tercebur ke dalam parit di malam hari? Tunggu ini paritnya tidak keras. Astaghfirullah. Ini parit menuju gerbang perumahan karena hanya parit disini yang baru dibuat. Itu artinya rumahku sudah jauh terlewati.

"Kakak nggak papa?" tanya seseorang dari atas parit saat aku hendak naik.

Deg

Aku mendongak secara perlahan karena itu suara seorang perempuan. "Aaaa. Maaf. Jangan ganggu. Gue mau pulang ke rumah. Maaf." Aku berkata sembari menutup mata dengan menangkupkan tangan di depan dada. Bau lumpur sudah tidak aku hiraukan karena debaran jantung terasa lebih ingin diperhatikan.

"Kakak kenapa minta maaf? Ini aku Nisa. Kakak lupa ya?" tanyanya lagi.

Aku berusaha mengingat. Suara ini seperti tidak asing. Dan, Nisa? Aku mendongak. Melihat kakinya menapak berarti dia manusia. Belum lagi aku menjawab, security yang biasa berjaga di gerbang depan datang membawa senter.

"Astaghfirullah. Neng Ai kunaon di parit? Eh. Ini Neng Nisa ya?" tanya Pak Ade dengan logat Sunda.

"Kecebur, Pak." Perempuan bernama Nisa yang menjawab. Aku masih syok.

Pak Ade menyodorkan tongkat keamanan yang biasa dibawa itu padaku, bermaksud membantuku keluar dari parit. Untung saja paritnya tidak terlalu dalam.

Setelah naik, aku mengucapkan terima kasih. Aku menatap wajah perempuan itu.

"Kakak kenapa lari tadi? Padahal aku mau pulang bareng ke rumah. Karena Kakak lari, aku jadi ikutan lari. Terus rumah Kakak sampai dilewatin. Aku jadi khawatir. Ya udah deh aku ikutin lari sampai sini. Ada yang sakit nggak Kak?" tanyanya sembari memperhatikanku.

"Nggak papa. Baik-baik aja," jawabku sembari tersenyum. Entah karena dingin atau masih syok. Aku jadi sulit merangkai kata-kata. Aku belum berhasil mengingat siapa dia.

Dua lampu motor menyorot ke arah sini. Aku hafal suara kedua motor ini adalah motor ninja. Dan benar saja, diatas motor ninja berwarna hijau itu Bang Si. Dan di motor ninja berwarna hitam itu ... Bang Amir? Tunggu. Untuk apa Bang Amir ikut ke sini? Aku melirik Nisa. Astaghfirullah. Aku ingat. Nisa ini adalah adik bungsunya Bang Amir yang sedang bersekolah di pesantren.

Suara tawa yang begitu menggelegar sekaligus tawa mengejek keluar dari mulut Bang Is. Memang dasar! Bukannya khawatir malah diketawain. Awas kamu, Bang!

Jika Bang Si tertawa, berbeda dengan Bang Amir. Dia langsung menghampiri, "Ai kenapa bisa kecebur? Ada yang sakit?" tanyanya begitu perhatian.

Aku hendak bersuara, tapi keduluan oleh Bang Is. "Lo salah pertanyaan bro. Si Ai kagak perlu ditanyain gitu, tahan banting dia. Lo inget kan dulu waktu kecil kerjaannya jambak-jambakan terus dorong-dorongan sampai nyemplung ke got?"

Bang Si! Awas ya di rumah nanti. Bukannya ngebelain malah ngebeberin aib adik sendiri. Sebenarnya tanpa dijelaskan oleh Bang Si, Bang Amir pasti tahu karena waktu itu yang menolongku keluar dari got itu adalah Bang Si karrna hanya dia yang melintasi tempat itu. Sebenarnya itu parit, tapi karena paritnya kotor. Bang Si menyebutnya got. Lagi pula, mungkin Bang Amir sudah lupa. Ngapain pakai diingetin segala. Malu! Tapi Bang Amir memang baik banget mau menolongku keluar dari parit itu tanpa merasa jijik sedikit pun. Padahal badanku sudah penuh lumpur yang mengeluarkan aroma tidak sedap.

Bang Si terkekeh. "Oh iya, gue inget. Waktu Ai kelas tiga SD kan ya?"

Tunggu. Bang Amir ingat? Aku kira dia sudah lupa dengan kejadian itu. Memalukan sekali karena saat kecebur itu aku menangis dan akhirnya Bang Amir yang menggendongku sampai rumah karena kaki kiriku terkena paku yang ada di dalam lumpur.

"Yoi bener banget bro," jawab Bang Is dengan sisa-sisa tawanya.

"Ya udah Ai pakai jaket Abang aja," tawar Bang Amir sembari melepas jaket kulit berwarna hitam dari tubuhnya.

Aku membulatkan kedua mata. "Jangan. Ini baju Ai penuh lumpur nanti jaketnya kotor. Pasti Bang Amir mau jalan kan?"

"Nggak pa-pa. Iya tadi mau beli tinta printer. Santai aja, ini mau nganter Nisa ke rumah dulu. Nanti ngambil jaket lagi di rumah. Daripada kamu makin kedinginan nanti kena angin malam." Lantas ia menyodorkan jaketnya.

Aku mengambil jaket itu dengan ragu. "Ini seriusan nggak pa-pa?" tanyaku lagi untuk memastikan. Jaketnya wangi sekali. Sementara bajuku terkena lumpur. Itu artinya lumpur ini juga akan terkena jaketnya.

"Santai aja kali Ai. Pake gih, dingin soalnya." Bang Amir meyakinkan.

"Ya udah kalo gitu Mir, Nis. Kita balik duluan ya, kasihan si Ai kedinginan. Ntar pingsan lagi. Gak kuat gue kalo harus gendong dia." Setelah mengatakan itu Bang Is terkekeh.

"Dor! Ngelamun aja lo."

"Astaghfirullah. Piiii! Kaget tahu," protesku sembari mengusap dada.

Tadi malam jantung ini berdebar di luar batas normal. Bukan karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi malu pada pandangan pertama. Setelah sekian lama tak berjumpa, sekalinya bertemu dalam keadaan memalukan, yaitu tercebur. Dasar Ai! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan seperti itu. Malu Ai.

***

Maaf ya telat update. 🙏

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.

THR [TAMAT] | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang