3. Sepulang Shalat Tarawih

338 65 7
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Aku hanya sebatas tetangga bukan anggota keluarga atau calon istrinya. Mana mungkin aku tahu sedetail itu tentangnya?

THR
Rani Septiani

***

Setelah melaksanakan shalat tarawih dan ditutup dengan shalat witir. Aku melepas rok mukena dan melipatnya dengan sajadah. Mama sudah pulang bersama tetangga samping rumah. Oh iya, katanya anak tetangga itu naksir padaku. Sudah sejak lima tahun yang lalu aku mendengar berita ini. Entah hoax atau benar karena lelaki berlesung pipi itu tampak biasa saja denganku. Lagian dia itu lulusan luar negeri, aku lupa negara mana. Mana mau dia dengan gadis biasa sepertiku. Aduh, baru aja tobat dan shalat tarawih. Ini kenapa malah mikirin yang bukan mahram?

Aku mengibaskan tangan di atas kepala sembari berkata, "Keluar lo dari pikiran gue." Aku juga tak tahu apakah mengibas-ngibaskan tangan di atas kepala itu berpengaruh atau tidak.

"Kenapa Ai? Kepalanya panas?" tanya seseorang sembari menyentuh pundak membuat aku terlonjak kaget. Untung saja aku tidak berteriak.

Aku menolah. "MasyAllah. Ustadzah. Nggak panas, hehe." Aku nyengir. Beliau ini adalah istri dari ustadz Yusuf. Ustadz yang sering menjadi imam shalat tarawih.

"Saya kira kenapa tadi. Ayo, sebentar lagi tadarus dimulai," ajak Ustadzah sembari menggandeng lengan kananku. Aku tersenyum dan mengikutinya.

Kami para anak muda putri dan ibu-ibu yang mendapat jadwal tadarus malam ini duduk melingkar. Sedangkan Ustadzah sedang membagi surah dan ayat yang harus kami baca menggunakan mikrofon secara bergantian. Aku melihat ke wilayah laki-laki ternyata masih banyak anak sekolah menengah pertama yang sedang berburu tanda tangan sang imam. Aku jadi teringat masa putih biru itu.

Kini giliranku, sebenarnya aku sangat gugup jika mengaji menggunakan mikrofon. Takut suaraku tidak bagus, dan suaraku ini pasti terdengar hingga satu blok perumahan ini. Memang ya manusia itu seperti itu. Malah merasa malu dan takut dengan manusia. Seharusnya malu dan takut kepada Allah jika apa yang kita baca ini salah. Membaca Al-Qur'an juga kita harus tartil, memperhatikan tajwid, makhroj, dan panjang pendeknya.

Aku mulai melantunkan surah Al-An'am ayat 1 sampai 10.

Sebenarnya aku ingin pulang bersama Ustadzah karena hanya beliau yang searah denganku. Tetapi seorang remaja putri yang aku tidak tahu siapa namanya ini malah menghampiri. Alhasil, disinilah aku berada. Duduk di teras masjid bersamanya.

"Lo yang rumahnya di depan rumah Kak Amir kan?" tanyanya to the point.

Aku mengangkat sebelah alis. Pertama aku yakin dia usianya beberapa tahun di bawahku. Kedua, dia bertanya tentang Kak Amir? Padaku?

"By the way. Usia gue udah dua puluh tahun ke atas. Dan perkiraan gue, usia lo sekitar tujuh belas tahun. Benar? Rasanya nggak etis kalau lo manggil gue tanpa embel-embel, Kak. But, gue nggak masalah. Tapi gue harap lo nggak akan ngelakuin itu ke orang lain yang lebih tua dari lo," paparku panjang lebar. Wajahnya tampak terkejut. Aku baru ingat, dia adalah remaja yang waktu itu memfoto copy di tempatku. Kami sempat berbincang sebentar. Kalau tidak salah namanya Nanda.

"Eh. Seriusan umurnya segitu? Sorry. Gue kira kita seumuran. Soalnya wajah Kakak kelihatan baby face." Dia salah tingkah.

"It's ok. Dan lo tadi nanya soal bang Amir? Bang Amir anaknya Ustadz Yusuf dan Ustadzah Indah?" tanyaku memastikan karena tetanggaku yang bernama Amir hanya dia.

THR [TAMAT] | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang