5. Cowok Tidak Jelas

297 60 36
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

***

Aku tahu bertemu denganmu adalah suatu takdir, tetapi kerap kali aku pertanyakan alasannya apa.

THR
Rani Septiani

***

Seharusnya pukul 7 pagi fotocopy ini sudah buka. Tetapi tadi saat di tengah perjalanan aku ingat kalau kuncinya tertinggal. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali dan itu cukup memakan waktu. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri sebelum membuka teralis berwarna maroon ini.

"Permisi, Mbak."

Dugh

"Aww. Astaghfirullah." Aku mengusap dahi yang terkena teralis karena terkejut seseorang tiba-tiba memanggil tepat di belakang kepalaku.

Masih dengan posisi tangan kanan mengusap dahi, aku berbalik. Oke. Dia cukup tinggi. Maka aku harus mendongakkan kepala agar bisa melihat dan mengetahui siapa pemilik suara yang cukup menawan ini.

Tampan. Satu kata itu cukup untuk mendeskripsikan wajahnya. Hingga dehamannya membuat aku mengerjapkan mata lalu beristighfar. Tundukkan pandangan Ai! Apalagi ini lagi puasa!

"Iyaa ada apa ... Pak?" Oke. Aku bingung ingin memanggilnya dengan sebutan apa. Tidak mungkin kan aku panggil Mas? Karena aku tidak terbiasa memanggil orang yang asing bagiku dengan panggilan itu.

"Pak?" ulangnya. "Saya bukan Bapak kamu dan saya belum punya anak, jadi jangan panggil saya dengan sebutan Pak." Dia menekan kata Pak di akhir kalimat membuat aku mendengus. Udah mending aku panggil Pak. Emang aku harus manggil apa? Sayang? Idih ogah banget!

"Iyaa apapun panggilan Anda itu. Maaf, ada keperluan apa?" tanyaku masih berusaha bersikap biasa saja.

"Mbaknya gimana sih pake ditanya ada keperluan apa? Di sana jelas sudah tertulis f-o-t-o-c-o-p-y." Dia mengeja kata fotocopy sembari menunjuk tulisan fotocopy di papan nama toko di tiang itu. "Ya jelas saya mau fotocopy sekaligus ngeprint. Masa iya saya mau cari jodoh," sewotnya membuatku mendengus sebal. Pertama ini masih pagi. Kedua dia sudah memancing emosiku. Ketiga moodku jadi berantakan.

"Maaf ya Mas. Ini fotocopy masih tutup dan baru mau saya buka." Aku menjelaskan, "Situ jomlo ya bawa-bawa jodoh segala," cicitku sembari meliriknya. Dan dia melototkan mata. Tunggu, apa dia dengar?

"Saya jomlo karena memang masih mau sendiri. Bukan karena nggak laku!" ujarnya berapi-api. Kenapa dia malah curhat? Dan semakin sewot?

"Ini Masnya mau curhat atau fotocopy sih sebenarnya?" Aku mulai jengah dengan pria berjas navy ini.

"Mau ngelamar Mbaknya. Ya mau fotocopy lah!" jawabnya membuat aku membulatkan kedua mata.

Aku mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya dengan ekspresi gemas. Dan dia? Hanya menampilkan ekspresi datar. Dasar pria tidak jelas!

Aku segera membuka kunci. Sebenarnya aku takut jika hanya berdua dengan lelaki ini di dalam fotocopy. Pasalnya Pi tadi malam memberi tahu kalau dia izin hari ini karena sedang tidak enak badan. Aku berhenti tiba-tiba.

"Aw. Aw. Ish. Masnya kenapa nginjek kaki belakang saya? Sakit." Aku berbalik.

Deg

Kenapa posisi kami sedekat ini? Aku segera mundur, memberi jarak diantara kami. Jantungku berpacu cepat karena terkejut dan takut.

"Salah Mbaknya kenapa berhenti tiba-tiba tanpa ngasih aba-aba? Saya lagi buka ipad. Untung hanya keinjek kakinya dan ipad saya yang kena bahu Mbaknya. Kalau saya yang nabrak gimana? Bukan mahram!" Pantas saja tadi ada benda yang mengenai bahuku ternyata itu ipad. Syukurlah kalau itu ipad. Untung saja aku tidak langsung memarahinya panjang kali lebar.

"Ya udah. Iya maaf. Lagian Masnya ngapain juga jalan sambil mainin ipad!" gerutuku kesal sembari melanjutkan perjalanan.

Aku melupakan sesuatu. Aku berbalik badan lagi, "Mana flashdisknya? Dan apa nama filenya? Ukuran kertanya apa? Dan mana yang mau difotocopy? Berapa rangkap?" tanyaku beruntun.

"Ini flashdisknya. Nama filenya meeting hari ini. Ukuran a empat. Dan setelah diprint, difotocopy sepuluh rangkap," jawabnya lengkap. Bagus.

"Ya udah kalau begitu Masnya tunggu di luar aja. Nanti kalau udah saya antar."

"Mbaknya ngusir saya? Saya ini pembeli dan pembeli itu adalah raja. Mbak nggak bisa ngatur-ngatur saya seperti itu."

"Bukan begitu, Mas. Kita bukan mahram. Dan ini di dalam suatu ruangan. Nanti yang ketiganya ... setan." Aku memelankan suara diakhir kata.

"Ngomong setannya nggak usah sambil ngeliat wajah saya juga. Ya udah saya tunggu di kursi depan."

Aku sebenarnya merasa heran. Baru kali ini aku bisa seemosi ini pada orang lain. Apalagi pada orang yang baru aku temui. Ini sesuatu yang aneh menurutku. Tunggu, aku tadi memanggilnya dengan sebutan Mas? Apa!

***

Bagaimana cerita THR ini? Next? 😍

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share something from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama. Jangan lupa shalat tepat waktu yaa.

THR [TAMAT] | TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang