Sieben : Tujuh

20 18 8
                                    


"Coba buka mata," ucap Zeus, Hera menggeleng kuat dan menguatkan cengkramannya pada leher laki-laki itu bukannya kesakitan Zeus malah tertawa membuat Hera reflek membuka mata dan terpesona dengan apa yang ada di depan matanya.

"Biasa aja lihatnya. " Zeus menyeringai menyadari ekspresi gadis yang masih berada dalam gendongannya.

"Paan sih!!!" Hera menatap sekeliling dengan pandangan takjub."Huwaaaaa kok indah banget, ini kita lagi di atas? Wahhh. " Gadis itu merenggangkan pegangannya pada leher Zeus dan tersenyum lebar.

"Aku bisa melakukan lebih dari ini," ucap Zeus, Hera menepuk-nepuk pipinya untuk menyadarkan apakah semua ini mimpi? Tapi rasa sakit yang mendera pipinya membuktikan kalau semua ini nyata. Zeus tetap fokus pada tujuannya, selama jam perkuliahan Hera, laki-laki itu sudah menyusuri seluruh tempat yang ada di kota ini dan dia sudah punya tempat khusus untuk mereka berdua.

Aneh, itulah yang gadis itu pikirkan. Kenapa dirinya tidak merasa jijik jika di sentuh oleh laki-laki ini? Bahkan untuk memikirkan anti bakteri dan hand sanitizernya saja tidak. Apakah Zeus adalah jawaban dari segala harapan yang dia inginkan selama ini, tapi kenapa harus laki-laki ini yang kehadirannya saja dirasa mustahil. Kalau ditanya laki-laki mana yang ingin dia peluk jawabannya adalah Noland, cinta pertamanya di masa putih abu-abu. Meskipun Hera bersikap jutek, Noland tetap setia menjaga dan mengikutinya sewaktu-waktu. Tapi sayang, kenapa Noland tidak pernah menembaknya? Apa karena dia memiliki fobia kotor? Memikirkannya saja membuat Hera sedih.

"Sudah sampai. " Hera membuyarkan pikirannya ketika suara berat itu memasuki gendang telinga. Zeus menurunkan gadis itu dengan hati-hati. Lagi, Hera menatap semua yang tertangkap indra penglihatannya dengan takjub. Tempat Hera berpijak hanyalah tanah yang tertutupi daun-daun kering, Hera sangat yakin kalau dirinya sekarang sedang berada di tengah hutan. Cahaya tampak menyelusup di sela-sela pepohonan yang rindang, hanya redup tidak terlalu gelap karena matahari sedang terik-teriknya menyinari bumi. Terdapat danau di hadapannya serta bunga-bunga yang di dominasi warna merah kemudian di tumbuhi warna lainnya bermekaran dengan liar. Kaki Hera pun sudah melangkah, tangannya mengabsen satu persatu bunga yang ada di situ. Hingga dia berjongkok di pinggir danau dan membasahi telapak tangannya. Dingin namun menyejukkan.

Zeus menatap punggung gadis itu dengan tenang, dia membiarkan Hera melakukan apa pun. Ya hanya menjadi pengamat, sampai wajah bersinar gadis itu menoleh kepadanya dan mengajak Zeus mendekat. Zeus mendekat ikut berjongkok di samping gadisnya.

Dengan senyuman yang begitu lebar Hera mengatakan.
"Serius, kalau melihat danau ini aku jadi kangen kota kelahiranku. Di Jakarta yang aku temui hanya gedung dan polusi di mana-mana. "

"Oh ya? Kalau kau mau aku bisa membawamu ke sana. "

"Terbang lagi?? Gak mau ah. " Hera berdiri kembali menatap sekitar, melihat itu Zeus juga ikut berdiri.

"Ayo ikut aku. "

"Mau ke mana lagi? " Pertanyaan dari Hera di abaikannya, dia mendekati sebuah pohon yang lebih besar dari pohon lainnya.

"Kenapa berhenti di sini? " tanya Hera lagi.

"Apa kau melihat pintu? " Zeus malah balik bertanya, membuat Hera menatap pohon itu dengan teliti lalu menggeleng.

"Gila, mana bisa pohon ada pintunya. " Hera terkekeh.

"Apa boleh aku memasukkan cairan ke tubuhmu lagi? " tanya Zeus serius menatap mata gadis itu, awalnya Hera tak paham tapi seketika ingatannya kembali pada hari di mana lehernya terasa amat sakit. Hera menggeleng sambil menatap wajah Zeus yang menampilkan raut kecewa.

"Untuk apa? "

"Agar kita terikat, dan kau bisa memiliki kemampuan yang orang lain tak punya. "

"Lalu apa bagusnya? Kenapa harus? Aku tak ingin terikat denganmu. "

Jangan memancing kesabaran seorang laki-laki semacam Zeus, karena tak ada kata sabar di dalam kamusnya. Zeus geram lalu mendorong bahu Hera kasar hingga menabrak pohon itu.

"Jangan memancingku Hera! Kamu tidak tau saja apa yang bisa aku lakukan. " Zeus menampilkan senyuman miring dan tatapan tajamnya yang membuat nyali Hera menciut, gadis itu takut. Rasanya dia menginginkan sifat Zeus yang seperti tadi saja! Daripada sekarang yang sungguh menyeramkan.

"Maaf, " cicit Hera takut-takut. Zeus makin mendekat membuat Hera semakin mundur, sayangnya tak bisa kakinya gemetar dan di belakangnya terdapat pohon yang menghalanginya. Zeus menahan tangan Hera dia juga menguatkan kakinya agar gadis itu tidak ke mana-mana.

"Tetaplah sadar maka aku takkan melakukan ini lagi. " Hera menggeleng, Zeus mendekatkan hidungnya pada leher Hera. Gadis itu merinding ketika napas hangat membelai kulit lehernya.

"Aku mohon jangan. " Air matanya pun sudah mengalir mengingat betapa sakitnya itu.

"Jangan pejamkan mata. " Zeus kembali menatap mata Hera. " Aku ingin menunjukkan tempat buatanku padamu, tempat kita berdua di sini. "

"Cukup percaya. " Mana mungkin Hera bisa percaya dengan laki-laki yang asal usulnya saja tak jelas. Hera mencari sesuatu di mata sebiru lautan itu, namun ketenanganlah yang di dapatnya. Zeus kembali mendekatkan bibirnya pada kulit leher Hera, lagi. Gadis itu merasakan sesuatu yang memaksa masuk ke dalam kulitnya seperti di koyak habis. Mematuhi apa yang di ucapkan Zeus, Hera berusaha mempertahankan kesadarannya menahan sakit yang mendera seluruh tubuh.

Hera meronta-ronta, ini begitu intens. Zeus mengunci gerakkannya. Hera membuka matanya lebar-lebar dan memutuskan untuk menatap ke langit yang sebagian tertutup pohon. Gadis itu merasakan sesuatu yang di semburkan ke dalam tubuhnya. Hera meringis dan mencoba bertahan sekuat tenaga sesekali dia berteriak kesakitan. Kapan ini akan berakhir kenapa rasanya lama sekali? Pikirnya.

Hera merasakan tubuhnya seperti tercabik-cabik pada potongan-potongan terkecil, tulang-tulangnya seolah di remukkan. Kepalanya sudah berputar-putar seiring dengan matanya yang mengabur. Hera ingin sekali berteriak memohon agar Zeus menghentikan semua ini namun jangankan berbicara untuk menggapai udara pun Hera kesulitan. Hera ingin menyudahi siksaan ini, dia tetap berusaha membuka matanya tetap sadar, tangannya mengepal kuat beriringan dengan Zeus yang menekan punggungnya semakin berdempetan dengan pohon. Pandangan gadis itu semakin berputar-putar tak jelas, lantas matanya berubah sayu, pikirannya kosong. Mendadak Hera seperti terhisap ke dimensi lain. Hera sepenuhnya sadar namun tak merasakan rasa sakit itu lagi, dia masih bisa merasakan Zeus yang mengeratkan tubuhnya yang kian melemah sembari meneruskan kegiatannya. Tapi di sisi lain Hera seperti melayang hingga gelap memenuhi pandangannya. Hera tak tau apa yang terjadi setelahnya dia berteriak sangat kencang.

***

Happy reading gays{}

Meet With TouchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang