Bu Kambodja meneguk ludah. Butir-butir peluh menghiasi dahi, saling bergabung lalu meluncur melewati muka pucatnya, sampai pada dagu, menetes-netes, membasahi kemeja putih garis hitamnya. Rambut sebahu wanita berkulit lesi itu tak luput pula lepek.
Para anak sasian tengah memperhatikan. Walau mengenakan kedok pun, terlihat jelas bahwa mereka memperhatikan. Semua pasang mata di balik topeng tertuju padanya. Seakan-akan, setiap pergerakan Bu Kambodja dimonitor oleh mereka. Jika si wanita yang meremas rok hitam panjang itu melakukan kesalahan, tamat sudah riwayatnya.
Kelas yang luasnya tidak terlalu luas tersebut laksana menjelma tempat penghakiman bagi pendosa seperti Bu Kambodja, yang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya.
Plafon putih, dinding biru langit, lantai tegel, jendela nako di sebelah kanan, meja-meja dan kursi-kursi, serta bayang-bayang kecil di tiap-tiap itu, kesemuanya menjadi saksi bisu. Papan yang terpampang di depan kelas ibarat siap menuliskan penjatuhan hukuman seberat-beratnya. Rak-rak berisi buku di belakang kelas sedia sebagai spektator yang melempari cercaan pula cemoohan.
Wujud hitam yang termanifestasikan di balik keempat penjuru ruangan seakan-akan hendak menyempit, mereduksi hingga menekan tubuh Bu Kambodja, memberikannya rasa sakit dan menyiksa yang luar biasa.
Mendengar debuk buku yang terjatuh dari salah satu meja murid, Bu Kambodja tersadar dari khayalan. Guru wanita tersebut lantas membaca materi pada buku tebal di genggaman, kemudian menorehkan kapur putih pada papan tulis hitam. Setelah itu, dia meminta atensi seluruh muridnya.
“Baiklah, anak-anak. Hari ini kita akan belajar mata pelajaran IPA, yaitu tentang mamalia--”
Dengan penggaris metrik, Bu Kambodja menunjuk gambar yang terpampang. Baru si guru hendak menerangkan, anak-anak bertopeng berseru dengan cara mereka msing-masing.
“Kelelawar!” Ada yang menyahut lantang seraya mengangkat tangan.
Kelelawar! Ada yang berkata dalam hati sambil memberi gestur khusus.
Kelelawar! Ada yang menggunakan bahasa isyarat atau tergagap-gagap.
“Eh?”
Bu Kambodja gelisah menoleh guna meninjau isi papan tulis.Terbambang dengan jelas, sebuah gambar makhluk bersayap yang memiliki sepasang kaki berkuku, ekor, serta kepala mirip tikus. Siapa pun dapat mengenali hewan yang familier tersebut, apalagi goresan yang dibuat tampak bagus juga rapi.
“Kelelawar ini termasuk mamalia, yaitu hewan yang menyusui. Kelelawar memiliki sepasang sayap untuk terbang. Di malam hari, kalian pernah ‘kan mendengar suara cicit dan kepakan sayap, lalu melihat kelebatan kecil yang terbang dengan cepat? Itu kelelawar, yang keluar untuk mencari makan. Saat siang hari, mereka mencari tempat yang gelap dan tersembunyi untuk tidur, seperti gua, celah pohon, atau daun pisang muda yang masih menggulung. Mereka memiliki penglihatan yang buruk, sehingga memanfaatkan suara sebagai pemandu arah.”
Kikik terdengar dari bangku paling belakang, tepatnya pada tiga murid bertopeng yang duduk semeja. Mereka tertawa kecil seperti orang dengan tenggorok tertekan, seakan-akan mentertawakan si guru.
Apa yang lucu? Mengapa mereka tertawa?
Anak perempuan bertopeng yang Bu Kambodja kenali beserta dua remaja bertopeng yang selalu bersamanya, membuat suasana kelas yang sudah kacau makin kacau. Kini Bu Guru tak bisa melakukan apa pun selain membatu, pasrah, dengan kedua mata terbelalak, seolah-olah tenggelam dalam kubangan lumpur isap penuh keputusasaan.
Apa yang mereka tertawakan?!
Anak perempuan terbahak. “Bu Guru, itu kelelawar, lo!” Hah?
Remaja perempuan tergelak. “Kelelawarnya lucu!” Terus?

KAMU SEDANG MEMBACA
People under Construction
FantasíaSemua orang terhubung. Bukan oleh kabel maupun gelombang sinyal. Ini tempat terpencil, Bung. Tidak ada teknologi semacam itu. Mereka terhubung oleh sesuatu yang tak terlihat. Ada beberapa peraturan tak tertulis yang harus ditaati di desa ini: 1. Jan...