[Refrein main]
Dua titik itu menggelinding, datang dari arah yang berlawanan, dalam bidang sejajar, sesumbu, akan tepat bertabrakan beberapa saat lagi. Yang satu berwarna merah jambu, sedang satunya lagi biru. Keduanya akan bertumbukan. Tiga detik ... dua detik ... satu detik lagi ... dan akhirnya bertemu. Namun, mereka tak berhantaman, mereka menempel, berhenti seperti berkecepatan nol. Lalu, perlahan-lahan tarik-menarik, berlekatan, makin melekat, kemudian menyatu sedikit demi sedikit, seperti masing-masing titik saling memakan satu sama lain. Pada akhirnya, suara dentuman pun terdengar, tepat ketika terciptanya sebuah titik raksasa—yang ukurannya lebih besar dari dua titik tadi—berwarna putih bak mutiara, menghasilkan bunyi eretan saat menggelinding perlahan.
Titik putih itu menggelundung, tidak langsung meluncur cepat, tetapi berangsur-angsur, sehingga mampu menyesuaikan keadaan. Bergerak lembut, sampai titik tersebut baru dapat mencapai jarak yang jauhnya sama dengan panjang diameter titik. Namun, beberapa saat kemudian, titik itu menggelinding cepat--meski bukan meluncur, tetapi jauh lebih cepat dari sebelumnya--hingga bisa berkeliling, menyusuri tempat putih, atau mungkin dunia putih, yang tampak baka di sana.
Tidak ada apa pun, siapa pun, bahkan tak tahu titik itu ada di mana, kapan masa saat itu, mengapa ia tinggal di sana, serta bagaimana ia tercipta. Yang titik tersebut ingat, bahwa yang pertama kali ditemui hanyalah sebuah dunia gelap, lalu memutih, lalu menggelap, lalu memutih, lalu menggelap, kemudian hilang; tidak, itu bukan ingatan, melainkan memang yang terjadi sebenarnya. Tempat atau dunia tersebut sudah tidak putih lagi, telah menghitam--hitam legam. Maka, titik pun kembali berkeliling, dengan sinar bak mutiara yang menerangi sekitar.
[Refrein setop]
***
Anak kecil itu tidak sendirian. Dia datang bersama dua remaja bertopeng, laki-laki dan perempuan. Mungkin saja mereka sedang bergurau-gurau, menggunakan tanaman kacang tanah sakit yang sudah kering sebagai mainan. Apa anak-anak memang suka memainkannya?
“Bu Kam!”
Kambodja berkacak pinggang, membiarkan kamera menggantung pada leher. “Sudah saya bilang, panggil ‘Mbak’ kalau di luar sekolah.”
“Eh? Tapi, ini ‘kan jam sekolah. Oh, iya, ini ‘kan hari libur.”
Pernyataan pertama dengan pernyataan kedua si anak tidak menyambung. Namun, tak apalah. Namanya juga anak-anak.
Bu Kop mengelus mercu kepala si perempuan kecil. “Anak ini cukup hebat, padahal dia awalnya gembeng dan suka takut kalau bertemu orang lain. Tapi, semenjak Nak Kam datang ke sini, anak ini bisa menjadi ceria dan berteman dengan banyak orang.”
Ya, perkataan Ibu itu ada benarnya. Anak tersebut berubah. Sekitar seminggu lalu, dia kesulitan berinteraksi, memiliki gagap saat berbicara, terlambat merespons jika disuruh sesuatu, dan lain-lain. Namun, lihat dia yang sekarang. Tingkahnya sangat ceria, bisa berteman dengan banyak anak-anak (dua termasuk banyak, kan? Karena lebih dari satu), tanggap di kelas maupun luar kelas. Kambodja begitu bangga punya murid sepertinya.
“Kalian … kenapa kalian ada di sini?” tanya si wanita muda.
“Aku ikut Ibu panen! Kalau Mbak dan Mas ini menemani aku main!”
Anak itu menunjuk kepada kerumunan petani yang sedang menuai kacang tanah, mungkin Kambodja tidak menyadari bahwa sebagian dari mereka mengalami kelainan fisik. Salah satu wanita paruh baya mengusap peluh pada dahi tepat di atas topeng, kemudian berjeda, menampak si anak. Mereka pun saling mengawai. Anak perempuan mengatakan bahwa dia ingin bermain bersama Mas dan Mbak--remaja bertopeng--sehingga mungkin terlambat pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
People under Construction
FantasySemua orang terhubung. Bukan oleh kabel maupun gelombang sinyal. Ini tempat terpencil, Bung. Tidak ada teknologi semacam itu. Mereka terhubung oleh sesuatu yang tak terlihat. Ada beberapa peraturan tak tertulis yang harus ditaati di desa ini: 1. Jan...