1. Klowor (Lalai)

87 15 31
                                    


[Refrein start]

Kumpulan piksel putih berkumpul pada bagian kiri; bergerombol, menari-nari, mengikuti gerakan utama, ke atas, dan melambung perlahan. Hanya kegelapan yang tampak di sekitar mereka; di dekat, kejauhan, atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang. Bisa dibilang, dunia sekarang adalah hitam.

Di tengah-tengah—meski gelap, anggap saja tempat di tengah-tengah itu ada—ada enam bola berapi kecil. Lidah-lidahnya kecil dan berjajar membentuk satu baris—walau tak sejajar dan tak segaris, jarak rata-rata mereka dapat dianggap membentuk satu baris. Enam bola tersebut berurutan sebagai berikut, dari yang jauh: jingga, jingga, jingga, jingga, jingga, dan jingga. Satu titik yang serona berada di dekat masing-masing dari mereka, lalu bertambah satu titik lagi, berarti kini ada dua titik.

[Refrein setop]

***

Belum lama ini, Kambodja merasa dirinya adalah orang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Di desa yang wanita muda itu tinggali selama dua minggu, dia sudah mendapat banyak peruntungan baik! Kepala Desa menyambut ramah, penduduk desa menyambut ramah, orang dewasa menyambut ramah, para remaja menyambut ramah, anak-anak menyambut ramah. Pokoknya semua insan menyambut ramah!

Ah, jangan lupa bahwa wanita ras Melayu Mongoloid itu dirawat setelah ditemukan mengenaskan di tepi jalan, tergantung di antara dua pohon pisang dengan perut sobek. Jangan lupa pula bahwa dia telah diberi tumpangan kamar di rumah seseorang bernama Bu Kop yang baik hati serta rajin beranak. Jangan lupa lagi jika seluruh biaya hidupnya ditanggung pihak desa, bahkan dia juga diberi upah kecil karena sudah bersedia magang di desa.

Saat ini Kambodja ditugasi menjadi salah satu tenaga pengajar dari satu-satunya sekolah desa nan terpencil itu. Letak desa sangat terisolasi bahkan sampai-sampai di peta pun tidak dapat ditemukan. Hutan juga perbukitan berhasil menyembunyikan eksistensinya sehingga cukup sulit untuk keluar atau masuk desa. Akses transportasi terbatas.

Lantas, bagaimanakah Kambodja bisa sampai di desa itu? Ingin dia membayangkan saat-saat yang lalu, tetapi wanita itu sekarang tengah mengajar dan berperan sebagai Bu Kambodja yang berkarisma lagi tegas. Setelan kemeja emas putih bermotif garis serta rok hitam panjang cocok bagi penampilannya.

“Anak-anak, berapa jumlah dari perkalian ini?” Bu Kambodja menunjuk tulisan pada papan tulis hitam menggunakan penggaris metrik bahan kayu.

“Segini, Bu Guru!” Para anak serempak menjawab dengan metode yang berbeda-beda. Itu membuat dahi juga kening si Bu Guru mengernyit.

Apa jawaban itu salah? Entah. Benar atau tidaknya tidak ada yang dapat membuktikan.

Anak-anak berbeda umur yang digabungkan dalam satu kelas menjawab dengan semampunya. Topeng-topeng nan beragam pola pula emosi tak bisa menunjukkan apakah ada anak yang berbohong, curang, menyontek, dan melakukan kejahatan lainnya.

Karena mereka memakai kedok. Kedok melindungi jati diri mereka. Dengan kedok, tiada satu pun tahu apa wujud wajah asli.

Bu Kambodja melanjutkan kelas yang kemungkinan mata pelajaran matematika itu. Para murid yang masih bocah dan remaja menyimak dengan saksama. Walau tidak semua, karena yang namanya kumpulan orang pasti mempunyai berbagai karakter dan tidak seluruhnya dapat diatur dengan cara sama. Seperti tiga murid di belakang.

Anak perempuan kecil bertopeng. Remaja perempuan bertopeng. Remaja laki-laki bertopeng.

“Hei, lihat orang itu. Kamu … ditugaskan untuk menjaganya, menuntunnya kepada Pengawas Desa. Itulah peranmu.”

“Perkataan Mbak cukup sulit, tapi kurang lebih aku bisa mengerti,” sahut anak perempuan kecil.

Remaja lelaki membalas dengan acungan dua jempol. Remaja perempuan membalas dengan kata yang bermakna bebas dari ketidakpastian.

“Kalian bertiga! Apa yang kalian bicarakan? Ayo, fokus ke pelajaran!”

Bu Guru tahu-tahu datang dan menjentik—bukan menjentik dengan jari—tiga murid yang duduk di belakang. Bu Kambodja sengaja tidak menyebut satu per satu nama mereka supaya menghemat waktu (atau malah mungkin si Bu Guru belum ingat semua nama muridnya?). Ketiga anak tersebut pun bisa diam setelah ditegur.

Bu Guru berniat balik ke depan, tetapi urung setelah ada yang mengundang.

“Bu Kam,” panggil si anak perempuan kecil.

“Iya?”

“Bu Kam, aku akan menjadi manusia penjagamu.”

***

Pulang dari kerja rutin, Kambodja menyaksikan petang telah mengusir siang yang memanggang. Sorot bercampur rona aurum, dewangga, asfar, dan argentum, ditambah suasana gelita menyempurnakan atmosfer sore hari nan damai.

Akhirnya Bu Kambodja balik menjadi Kambodja. Wanita muda itu senyum-senyum sendiri, melangkah sambil menenteng tas. Benaknya kembali mengingat-ingat masa dia datang ke desa ini. Kambodja makin sengsem mengenang orang-orang desa yang baik hati.

Katanya, dia datang untuk penelitian bersama teman-temannya mengenai budaya desa. Namun, katanya di tengah perjalanan bermotor, dia kecelakaan dan ditemukan pingsan di pinggir jalan. Katanya, dia dirawat warga desa. Katanya, luka di perut kanan bagian bawah telah dijahit oleh dokter desa. Katanya, teman-temannya belum kunjung datang sehingga dia memutuskan untuk mengerjakan sendirian. Katanya juga, dia ingin sehari-hari bertugas sebagai guru di sekolah.

Mengapa semuanya pakai ‘katanya’ terus? Itu karena Kambodja amnesia.

Wanita muda itu tidak mengingat apa pun selain memori di desa ini yang dimulai dua minggu lalu. Namun, dia masih mengingat caranya makan, cara berbicara, cara bergerak, cara bersosialisasi. Dan, cara buang air.

Mengapa Kambodja bisa sampai amnesia berat? Katanya, itu karena dia mengalami kecelakaan parah. Katanya, dia membentur jalan sehingga otaknya trauma. Katanya, Kambodja tak sadarkan diri selama seminggu lebih. Katanya, Kambodja dijadikan guru karena suka kepada anak-anak. Katanya juga, Kambodja itu wanita yang cantik.

Kambodja diperkirakan berumur hampir seperempat abad. Rupanya amat rupawan. Iris cokelat laksana permata bergemerlap di tengah kornea gelap. Hidung pesek bertulang pendek kalah saing dengan kesempurnaan bibir kecil merah merekah yang menggoda. Rambut hitam tergerai lurus sebahu dengan tambahan poni depan. Tubuh tinggi rata-ratanya tampak ramping lagi berlekuk sempurna.

Kambodja, tak disangsikan lagi, adalah kembang desa baru di desa ini yang paling cantik di antara cantik.

Ngomong-ngomong, jikalau disebut ‘desa ini’ terus jadi bosan, bukan? Maka telah diputuskan bahwa nama desa ini akan segera dibeberkan. Karena apabila tidak, hal itu bakal membuat susah ingat desa ini.

Baiklah, jadi nama desa ini adalah Desa Soco. Luasnya tidak luas. Jumlah penduduknya tidak padat. Letaknya tidak rendah di atas permukaan laut.

Kambodja akhirnya sampai, dia beradu. Rumah lumayan besar di depan merupakan kediaman milik Bu Kop, wanita paruh baya paling terkenal di Desa Soco. Terkenal karena rajin beranak. Jangan tanya berapa anaknya yang berjumlah dua puluhan itu.

Ketika Kambodja hendak melepas sepatu pantofel di depan teras, seorang anak perempuan kecil bertopeng membatu pada ambang pintu, menatapnya lekat.

“Mbak telah ditipu,” akunya.

Tidak jauh dari situ, dua orang remaja bertopeng mengintip melalui balik tembok.

###

People under Construction Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang