10. Kane

34 7 3
                                    

Orang-orang satu per satu mulai membubarkan diri, meninggalkan panggung serta lapangan desa. Para pemilik lapak membereskan dagangan, lalu turut pulang. Sudah larut fajar, dan pagi harinya nanti semua orang harus kembali beraktivitas seperti biasa.

Pada panggung di pinggir lapangan, tubuh Kambodja terkulai tak berdaya di tengah lantai. Tampak pada lengan kirinya luka menganga yang memanjang. Cairan merah cokelat menetes-netes, sedikit membentuk dadih, sebagian telah mengering.

Sudah pasti bahwa si wanita tewas, akibat kehilangan banyak darah. Sekujur jasadnya lemas, seluruh kulit pucat lesi. Aliran anak sungai yang bocor dari dagu mengersang.

Emosi yang ditampakkan topeng Kambodja sangat sesuai menggambarkan kondisi saat ini. Itu karena, topeng yang dikenakan seseorang menunjukkan kelemahan yang dimilikinya. Seperti Kambodja, tak mempunyai nyawa.

Masih ada beberapa orang, kebanyakan wanita, yang memilih tinggal dahulu di sana. Mungkin untuk membereskan tempat. Genangan darah nan mulanya meluas telah dilap dan dipel serta diberi pewangi supaya bau amis juga karatnya tertutupi. Namun, jasad Kambodja dibiarkan begitu saja.

Sementara itu, mangkuk berisi darah dijadikan sebagai sesajen, diberikan kepada patung manusia yang dianggap sebagai Pengawas Desa. Seorang wanita paruh baya bersimpuh di hadapan, meletakkan mangkuk di atas tangan patung batu. “Simbah, ini ya sesajennya. Semoga panen musim depan banyak dan bisa berkah.” Lalu, diikuti oleh “amin, amin, amin” dari para wanita di dekat.

Namun, seharusnya mereka tahu bahwa patung itu bukan lagi menyandang status Pengawas Desa, apabila menurut perkataan Kepala Desa.

Selepas orang-orang tak penting gaib dari pandangan, kini giliran para pemeran utama untuk tampil di atas panggung. Kepala Desa, tentunya, bersama beberapa sesepuh desa. Dua remaja bertopeng sebagai perwakilan remaja desa. Terakhir, anak perempuan bertopeng, sebagai tokoh sentral. Mereka mengelilingi jasad Kambodja yang sudah kaku.

Si anak perempuan melepas kedoknya, menampakkan wajah bocah polos yang seakan tak tahu apa-apa. Tambahan lagi, matanya tidak buta. Bersih ibarat air murni dari mata air gunung terjernih. Bibir merah muda ranum. Hidung pesek nan manis. Alis tipis menghiasi. Bulu mata lentik.

Kepala Desa bersoal dengan tegas, “Apa kamu sudah yakin? Apa kamu sudah membulatkan tekadmu, Nak?”

Anak berwajah polos itu menjawab, “Ya, saya yakin. Selama lima tahun terombang-ambing dalam kapal ketidakpastian, akhirnya saya bisa berlabuh pada pulau yang memberikan saya makna hidup. Saya adalah anak yang spesial karena Pengawas saya tidak akan kembali ke ‘sarang’ sebelum tugas saya tuntas, untuk membimbing manusia terpilih menuju penumbalan.”

Orang-orang yang hadir menyimak.

“Ah, jika saya menggunakan tubuh ini sebagai model berbicara, rasanya tidak pantas, ya? Saya harusnya menggunakan bahasa yang lebih sederhana, tapi tak apalah.”

Si anak menitipkan kedok kepada remaja perempuan, mengulas senyum perpisahan. Setelah itu, dia berpamitan--dengan cara tertentu--kepada Kepala Desa dan jajaran sesepuh (sesepuh kebanyakan tidak memakai topeng).

“Semoga pengorbanan yang kamu lakukan bisa membuahkan hasil.” Kepala Desa mengusap mercu kepala si anak perempuan.

Anak itu pun membalas, “Semoga keadaan Desa Soco bisa kembali normal dan dua orang penyusup tersisa bisa segera ditemukan. Demi kestabilan desa, penumbalan harus segera tuntas dilaksanakan.”

Kepala Desa, para sesepuh, dua remaja bertopeng, semuanya membisu dalam keheningan, seakan hendak mengantar kepergian si anak perempuan.

Anak itu membatu, menatap jasad Kambodja yang meringkuk di atas lantai. Noda merah masih membasahi kain kemeja serta rok wanita muda tersebut. Si anak mendekat, kemudian mengubah posisi ke bersimpuh, bahwa tubuh Kambodja membelakanginya. Jarak antara dia dan Kambodja cukup dekat. Si anak menatap lekat punggung si wanita yang mempunyai lekuk khas.

“Kambodja, dengan ini aku persembahkan jiwaku kepadamu.”

Perlahan, si anak menjulurkan wajah menuju kepala belakang Kambodja, lalu dia mencium leher si wanita bertopeng. Berikutnya, dia mengulurkan tangan mendekap tubuh si wanita, diikuti kedua tungkai yang turut melingkupi kaki panjang si wanita. Anak itu memeluk erat jasad Kambodja.

Anak itu tidak menanggung dosa suatu apa pun. Namun, dia harus menerima takdir. Rambut pendek sebahunya yang anggun mulai rontok, kemudian helai demi helai menyatu dengan rambut milik Kambodja. Kaus berenda pula celana longgarnya lenyap seakan terbakar oleh api takkasatmata. Kedua lengan serta kedua tungkainya menyatu dengan tubuh Kambodja. Badan juga kepalanya turut melebur ke dalam diri Kambodja.

Kini orang-orang jelas menyaksikan bahwa pemaduan dua jasad berlangsung secara nyata. Benar-benar nyata. Terjadi tepat di depan mata mereka. Antara jasad si wanita bertopeng dan si anak perempuan, bergabung jadi satu.

Anak perempuan kecil itu merupakan anak yang istimewa, karena perannya hanya muncul ketika waktu penumbalan telah dekat, seperti saat ini. Kini si anak telah menuntaskan tugasnya, maka habislah masa hidup di dunia.

Benih nyawa sekali lagi tumbuh dalam diri Kambodja. Berkat adanya penyerapan jiwa--sebagai sumber kehidupan--ke dalam raga Kambodja, wanita bertopeng itu diberikan kesempatan kedua untuk menjalani lika-liku duniawi yang penuh misteri.

Dengan memakai topeng. Dengan hidup di Desa Soco.

Bersamaan dengan itu, Kambodja merasakan darah mengalir dalam setiap pembuluhnya, saraf menjalar dalam setiap neuronnya, dan udara bersirkulasi dalam sistem pernapasannya. Luka pada lengan kiri berangsur-angsur menutup dan pulih.

Kambodja merasa hidup.

Dan, dia memang benar-benar hidup.

Laksana, kematian sebelumnya hanyalah mimpi belaka. Mati suri.

Para spektator bersukacita menyambut figur Kambodja yang baru. Kambodja yang bertopeng. Mereka mengusap kulit putihnya dengan kain beledu. Memberikan pakaian ganti terelok sedesa. Mendandani hingga paras rupawannya makin rupawan.

***

Esok telah menjelang. Matahari terbit di ufuk timur. Panggung sudah benar-benar sepi, tanpa kehadiran manusia. Mungkin masih ada sisa-sisa pasar malam semalam. Orang-orang desa beraktivitas seperti biasa, ke pasar guna melaksanakan jual beli, ke sawah guna mnegurus lahan, ke kebun guna merawat tanaman, ke kantor guna mengurus administrasi. Semuanya mengenakan topeng. Semua orang terhubung.

Sama halnya Kambodja. Wanita muda bertopeng itu mempersiapkan diri menuju sekolah. Hari ini hari kerja, dia menanggung kewajiban untuk mengajar anak-anak. Anak penyandang disabilitas yang memiliki rentang umur berjauhan, tetapi disatukan dalam kelas sama. Bu Kambodja ditemani beberapa guru muda menerangkan materi dengan jelas, sementara para murid menyimak saksama.

Dengan begitu, kehidupan Desa Soco berjalan sebagaimana mestinya.

People under Construction Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang