Tempat Tidur (remake)

0 0 0
                                    

Cerita ini remake dari Another Day (Han Jisung)

Plotnya diubah banyak tetapi inti ceritanya tetap sama.

Diubah karena kepentingan ikut lomba.

Tulisan lebih rapi dan lebih teliti dalam penggunaan kata.

####

Tempat Tidur 

Nisa Ananda

          Bunyi sakelar listrik pada lampu kamar itu terus berbunyi. Ditekan berulang-ulang kali oleh sang empu kamar, menyebabkan lampu yang terpasang di tengah plafon ruangan tersebut bolak-balik mati dan hidup.

Remaja laki-laki berusia 13 tahun itu tampak bosan di atas tempat tidurnya. Hari telah larut malam, tetapi waktu yang berputar semakin malam ia justru semakin tidak bisa memejamkan matanya. 

Dengan demikian, jika ia bosan menatap layar ponselnya berjam-jam maka ia akan menemukan imajinasi yang merayap di kepalanya begitu saja.

Klik!

Sekali lagi Jisung menekan tombol atas sakelar yang terdapat di samping tempat tidurnya tersebut, membuat netranya mendadak buta lalu meraba-raba ke sisi kepalanya. 

Sebenarnya, remaja bermarga Han tersebut tidak suka pencahayaan yang sangat terang, ia tak nyaman ketika memejamkan mata. Jisung juga tidak suka keadaan yang terlalu gelap, ia penakut. Tapi daripada Jisung harus tidur dengan ruangan yang gelap gulita, lebih baik ia memilih tidur dengan lampu yang menyala terang dengan mengesampingkan tubuh dan menutup kepalanya dengan guling, karena faktanya Jisung juga tidak bisa tidur tanpa memeluk sesuatu.

Semburat cahaya putih memancar dari bola lampu kecil dibalik kaca ponsel Jisung, sinarnya memantul ke sepenjuru arah ruangan. Kemudian Jisung meletakkan ponsel yang masih tertancap kabel earphone tersebut di atas dadanya. 

Sinar putih itu harus terhalangi oleh jemari Jisung yang menghasilkan bayangan besar berbagai bentuk pada langit-langit kamarnya.

Ada yang berbentuk seperti kelinci, burung, gajah, dan hewan lainnya. Jisung saat ini layaknya seorang dalang yang memainkan semua peran pada wayang-wayangnya. Menggerakkan kedua jemarinya saling berhadapan dengan berdialog yang remaja itu ciptakan sendiri.

"Kelinci, lompatmu sangat lambat sekali!" jemari yang saling bertaut membentuk burung tersebut seolah sedang berbicara.

Jisung merubah kembali bentuk jari-jarinya menjadi seekor kelinci dalam hitungan detik. "Siapa bilang? Ketika berlari, aku akan melompat secepat kanguru."

Sang burung menjawab, "oh, ya? Mari kita coba buktikan, siapa yang akan cepat duluan sampai pada pohon di ujung sana!"

Kelinci yang di bawah mencoba menimbang-nimbang tawaran burung yang kini bertengger di atas ranting pohon tempat mereka berteduh. 

"Kamu takut kah, wahai kelinci?" si burung cekikikan karena daritadi ia tak kunjung mendapat jawaban dari kelinci.

Jari Jisung berbentuk kelinci menggeleng, "tidak, mari kita mulai berlarinya!" 

Dalam benak, sebenarnya sang kelinci takut, tetapi jika ia berkata jujur, harga dirinya akan buruk di hadapan burung. Karena ia berpikir dirinya dengan burung adalah hewan yang berbeda. Sang burung mempunyai dua sayap lebarnya, dengan kedua kepakan itu bisa burung gunakan sebagai alat terbang di angkasa dengan mudah dan cepat. Sedangkan dirinya…

"Hahaha, katamu tadi larimu akan secepat kanguru, tapi apa? Malah sekarang kamu sudah lemas begitu, hahaha." 

Sang kelinci memang sudah terkulai lemah, kedua kaki belakang yang menjadi tumpuan kuatnya untuk melompat itu terasa sakit, karena terlalu memaksakan lari sekencang-kencangnya. Hingga ia harus tertinggal di belakang oleh burung yang sudah terbang melesat dengan lincah dan sampai pada pohon yang menjadi garis finish mereka.

Senisa (kumpulan cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang