Mungkin kata 'bagaimana jika' adalah kata yang paling aku sukai di dalam hidupku. Karena hanya dengan kata itu aku bisa merasakan perasaan yang tidak bisa aku rasakan jika tanpa menyertakan kata itu. Hanya dalam angan lah aku bisa mengajakmu kemanapun yang aku inginkan. Hanya dalam angan aku bisa mencium mu dengan bebas. Hanya dalam angan aku bisa memelukmu tanpa takut dengan reaksi yang kamu berikan, karena jika aku melakukan itu sekarang, mungkin kamu akan langsung menghardik ku bahkan sebelum aku bisa menyentuh seinci kulitmu.
"Renjun, aku akan pergi bersama Yeji. Tolong titip laundry ya."
Aku tersadar dari lamunanku. Karena suara pria yang baru saja mengajakku berbicara. Aku menjawab perkataan nya dengan sebuah anggukan dan senyum kecil. Membuatnya membalas responku dengan usakan kecil pada pucuk kepalaku. Hal sekecil inilah yang hanya bisa membuatku bahagia. Karena sayang sekali, lelaki dihadapan ku ini menyukai seorang perempuan.
Tidak seperti aku. Ya. Aku gay.
Namaku Huang Renjun. Aku berumur 18 tahun, menetapkan diri sebagai pelukis yang jarang sekali keluar dari kamar. Karena aku tidak suka dunia luar. Dunia luar itu kejam.
"Hei, aku akan pergi. Jangan terlalu sering melamun, itu tidak baik."
"Iya."
Jeno tersenyum sekilas padaku dan beberapa sekon kemudian dia sudah hilang dari pandanganku. Aku menghela nafas karena Jeno sekarang tidak lagi berada dalam jangkauan ku. Dia bertemu dengan kekasihnya. Yang sialnya sangat membuatku sedih dan marah.
Aku marah karena aku mencintai Jeno.
Kalian ingin tahu kenapa aku bisa tinggal bersama Jeno?
Baiklah, akan aku ceritakan. Beberapa tahun yang lalu, aku tinggal bersama dengan Ibuku di China. Ayahku entah dimana, aku tidak pernah mengetahui dengan jelas asal-usulnya, bahkan wajahnya saja aku tidak tahu.
Ibuku adalah orang yang sangat hangat. Dia juga bersikap lembut terhadapku. Dan dia sangat menyayangi aku lebih dari apapun di dunia ini. Itu kata Ibuku ya, bukan aku. Aku pun begitu, aku juga menyayangi Ibu sepenuh hati. Dia selalu berusaha memenuhi kebutuhanku meskipun aku tahu jika Ibu sedang kekurangan uang. Jangan kira aku lahir di keluarga kaya, tidak. Kalian salah besar. Aku terlahir di dunia yang kejam. Kesulitan ekonomi membuatku dan Ibu harus berusaha bertahan hidup dalam kekurangan.
Aku bahkan heran, bagaimana bisa Ibu tetap menyajikan makanan yang bergizi untukku disaat dompetnya kosong. Dan ternyata pertanyaan yang tidak pernah aku ajukan pada Ibu akhirnya terjawab. Ibuku adalah orang yang memperjualbelikan anak-anak dibawah umur. Anak berusia dibawah 10 tahun akan ia jual untuk bertahan hidup, bersama aku tentunya.
Awalnya aku sangat terkejut. Aku kira Ibu bekerja di toko kue kering depan gang rumah. Ternyata dibelakang toko kue itu, adalah tempat dimana Ibu menyekap semua anak-anak yang akan ia jual.
Bagaimana aku bisa tau? Karena aku pernah berada di dalam tempat itu. Ya benar. Aku akan dijual. DIJUAL. Kalian terkejut? Sama, aku juga begitu.
Ibu sangat frustasi karena tidak ada lagi anak-anak yang bisa ia culik, karena beberapa waktu itu terjadi wabah penyakit yang membuat anak-anak di gang rumah ku tidak keluar dari rumahnya. Dan seingatku, waktu itu Ibu mengajakku keluar untuk makan kue di toko tempatnya bekerja, lalu saat aku memakan satu biji kue itu, tiba-tiba semuanya gelap.
Dan saat aku membuka mata, aku sudah terikat di kursi dengan lakban yang menempel di bibir ku. Dan samar-samar aku mendengar percakapan Ibu dengan seseorang. Suara itu terdengar sangat mengejek.
"Aku tidak percaya jika seorang Wendy tega menjual anaknya sendiri," lelaki itu berkata dengan tawa kecil yang terdengar di akhir kalimatnya.
"Diam kamu Donghae! Ini demi memperpanjang langganan black card ku."
Aku membolakan mata karena... Aku akan dijadikan sebagai perpanjangan kartu kredit? Demi Tuhan, itu sangat gila. Aku bahkan sampai kehilangan kata-kata.
Saat itu aku berusia 7 tahun. Masih sangat lugu dan sering merasa takut berlebihan. Dan setelah percakapan mereka berdua selesai, akhirnya aku berpura-pura tertidur saat Ibu membuka pintunya. Aku merasa jika dia berdiri di hadapan ku saat ini.
"Renjun, maafkan Ibu. Ibu melakukan ini agar kamu selamat dari tangan Donghae. Dia bejat Renjun, dia pedofil. Ibu tidak ingin dia menyentuhmu seinci pun. Maafkan Ibu," Ibu saat ini menangis, dia mengelus rambut ku dengan sayang. Persis saat dia selalu menidurkanku. Aku hanya bisa menahan tangis. Jujur saja aku ketakutan saat ini. Karena aku tidak akan lagi bertemu dengan Ibu.
Aku memberanikan diri untuk membuka mata dan membalas perkataan Ibu, karena sekarang lakban itu sudah lenyap karena Ibu sudah membukanya.
"Renjun tidak apa-apa Ibu. Renjun akan melakukan apapun untuk Ibu. Asal Ibu tetap hidup dan bahagia, Renjun tidak apa-apa," Aku mengatakan itu dengan lancar, tetapi setelah nya, aku menangis sangat kencang. Aku melampiaskan semua ketakutan ku pada tangisan ini.
Belum sempat Ibuku menjawab, teriakan Paman Donghae tiba-tiba terdengar. Membuat Ibu langsung menghapus air matanya dan menampilkan wajah tegas yang sama sekali belum pernah aku lihat. Akhirnya aku dibawa ke sebuah mobil. Dengan tangan yang terikat dan mulut yang kembali di lakban. Aku sangat gemetar saat itu. Aku bahkan ingin mengompol saking takutnya.
Belum sempat aku melangkahkan kakiku ke dalam mobil, tiba-tiba suara tembakan terdengar nyaring. Aku menoleh ke belakang, dan langsung di hadapkan oleh mayat Paman Donghae yang sudah bersimbah darah. Polisi yang menembak nya. Dan suara tembakan pun kembali terdengar.
Peluru itu berhasil melubangi perut dan leher Ibu. Dia luruh begitu saja di tanah dengan darah yang mulai merembes dari baju dan lehernya. Aku mematung. Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Kakiku gemetar hingga akhirnya aku jatuh ke tanah. Tetapi sebelum itu terjadi, ada seseorang yang menahan tubuhku. Aku mendongak, dan demi Tuhan... Itu adalah seorang remaja lelaki yang begitu tampan. Tetapi aku tidak bisa memandang nya lebih lama lagi karena akhirnya aku pingsan karena shock.
Dan begitu terbangun, aku sudah di rumah sakit dan ternyata semuanya sudah usai. Ibuku dan Paman Donghae meninggal. Kini hanya tersisa aku. Sendirian.
"Hai."
Aku tersentak oleh suara itu. Ternyata itu adalah remaja lelaki tadi. Dia memakai sweater yang di dikombinasi dengan kemeja panjang. Terlihat sangat rapi dan bersih.
"Aku Lee Jeno. Panggil saja Jeno. Kalau kau?"
"Renjun."
"Hallo Renjun, mulai sekarang kamu adalah adik angkatku."
Kalimat itu meluncur indah dari bibir Jeno. Hari itu aku sangat bahagia, karena aku tidak akan sendirian. Tetapi kalimat itu juga yang akan menetapkan aku pada luka yang tak berujung nantinya.
TBC
Hellow~
Gue bawa book NOREN baru, dan pssttt ini gue tulis beberapa jam doang. Ini udah kelar ya, tinggal publish aja. Semoga kalian ngeh sama yg gue bawa kali ini.Dah segitu aja.
See you on next chapter~
KAMU SEDANG MEMBACA
What If, ... ✔
FanfictionYou'll always be my favorite 'what if' -Renjun © injeolmiiiiiiiiii, 2020