sechs

1.8K 337 16
                                    

"RENJUN BANGUN!" Aku terlonjak kaget karena teriakan itu. Kepalaku serasa dihantam batu besar saat ini. Jangan lupakan lenganku yang terasa nyeri akibat jarum infus yang ku cabut paksa semalam.

"KAMU! KAMU KETERLALUAN!" Aku ketakutan setengah mati karena saat ini Jeno berteriak nyalang di hadapan ku. Sial sial semoga saja panik attack ku tidak kambuh karena ini.

"TEGA-TEGANYA KAMU MEMBUAT KAMI KEBINGUNGAN! KAMU MEMBUAT YEJI TIDAK TIDUR SEMALAMAN HANYA UNTUK MENCARI KAMU YANG MALAH ENAK-ENAKAN TIDUR DISINI!"

Aku masih diam sambil menunduk. Pria 25 tahun di hadapan ku saat ini sedang marah, jadi aku tidak berani memandang nya sedikit saja.

"JAWAB!"

"Jen, sudah, kasihan Renjun," Yeji mencoba menenangkan kekasihnya yang tengah meledak dengan mengelus lengannya. Dia kasihan melihat Renjun yang terlihat sangat pucat dan kacau.

"A-aku..."

"APA!"

"Aku rindu Ibu..." Aku mencicit seperti anak tikus terjepit. Dan setelah aku menjawab, suasana kembali senyap. Aku masih menunduk dengan nafas yang mulai tak beraturan, perut mual dan keringat yang mengucur. Aku sangat gelisah dan cemas, aku cemas karena takut jika Jeno tidak akan memaafkan aku.

"M-maafkan aku, K-kak Jeno..."

Jeno seketika merasa bersalah, dia langsung beringsut mendekati aku dan memelukku. Dia bahkan menciumi pelipis ku yang berkeringat.

Entah mengapa, aku merasa diinginkan.

Andai saja Jeno menjadi lelakiku, pasti saat ini akan ku balas peluk dan akan ku cium dia sampai sesak nafas.

"Maafkan Kakak, Renjun. Kakak tidak mengetahui nya, maafkan Kakak," dengan ini, aku berkesempatan untuk memeluk balik tubuh Jeno yang hangat. Aku bahkan meremas kemejanya yang kusut untuk mencari kekuatan.

"R-renjun tidak apa-apa kok, Kakak nggak salah," Aku memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam aroma tubuh Jeno. Aroma yang sudah menjadi favorit ku beberapa tahun ini, dan mungkin selamanya?

"Renjun ingin ti-tidur," aku yang sudah tidak tahan dengan sesak nafas ini akhirnya melepaskan diri dan mulai berbaring di atas sofa.

"Ayo Kakak antar ke kamar."

Aku menggeleng. Kamarku sudah ku kunci. Dengan kuncinya yang juga sudah ku buang. Aku tidak ingin kesana lagi, aku muak dengan ruangan itu.

"Aku ingin disini."

"Baiklah, setidaknya ganti baju dulu. Biar Kakak ambilkan ya?"

"Tidak usah."

"Renjun hanya ingin tidur."

"Yasudah, Renjun tidur ya. Semoga cepat sembuh, adiknya Kakak," Jeno mencium keningku. Didepan Yeji. Tetapi mengapa Yeji tidak terlihat terganggu? Malahan dia tersenyum kecil menanggapi tingkah Jeno.

Yasudah lah, yang penting aku baru saja mendapatkan ciuman dari Jeno. AKU SENANG SEKALI NGOMONG-NGOMONG.

Aku pun tertidur pulas, hingga tidak sadar jika Jeno sudah memanggil dokter dan suster untuk memasangkan infus pada lenganku. Saat aku terbangun, aku merasa sudah sembuh. Semuanya terasa begitu berat hari ini.

"Kenapa aku di infus?" Aku berbicara sendiri, tetapi ternyata disahut seseorang.

"Kakak tidak ingin kamu kekurangan cairan, makanya Kakak meminta dokter untuk menginfus kamu. Kakak khawatir kamu bakalan kenapa-kenapa," Jeno berjongkok di depanku. Dia bahkan menggenggam tanganku yang terbebas dari kabel infus.

"O-oh..."

"Bagaimana keadaanmu?"

"Aku sudah sembuh."

"Benarkah?"

"Iya, kalau Kakak memelukku, pasti aku akan lebih sehat."

"Ayo kita peluk bocah kecil ini!"

Aku berteriak karena Jeno memelukku dengan sedikit memberikan gelitikan pada pinggangku. Aku terbahak setelahnya. Mengapa hari ini moodku berubah terlalu cepat? Sampai-sampai aku kuwalahan mengontrol nya.

"Renjun, Kakak ingin mengabarkan sesuatu."

Jeno masih memeluk perutku saat ini. Aku mendengarnya dengan seksama.

"Kakak dua minggu lagi akan menikah."

Aku shock. Aku terdiam seribu bahasa. Aku tidak sanggup menjawab pernyataan Kakakku sendiri.

"Kakak sudah yakin jika Yeji lah pelabuhan terakhir Kakak. Jadi Kakak meminta doa darimu, agar pernikahan Kakak tidak ada halangan apapun. Renjun mau kan?"

"Hei."

Dia menggoncang tanganku. Membuat aku tersadar dari lamunanku. Lamunan yang sangat indah, yang berisikan Jeno melamar ku dengan kata-kata yang sangat romantis dan menyentuh.

Seandainya itu benar-benar terjadi, aku pasti akan menjadi manusia paling bahagia di muka bumi ini.

"I-iya, Renjun akan mendoakan yang terbaik untuk Kakak."

Aku membalas genggaman nya untuk meyakinkan dia bahwa aku benar-benar mendoakannya. Padahal aku berharap, jika mereka putus sebelum pernikahan ini terjadi.

"Kak, aku ingin tidur."

"Ah ya, sleep well Renjunku," Dia menaikkan selimut ku dan tersenyum. Membuat aku juga tersenyum. Meskipun di dalam hati, aku menangis meraung-raung melihat senyum itu nantinya juga akan dinikmati oleh orang selain aku.

"I love you, Kak Jeno. I'll always do."






TBC

What If, ... ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang