2

4K 623 15
                                    

"Indira! Indira!"

Sekarang namanya jadi sangat terkenal dan frekuensi orang-orang memanggil namanya jadi lebih sering. Padahal selama ini Indira lebih memilih jadi orang yang berada di samping lapangan, memperhatikan kejadian-kejadian di hadapannya.

"Iya?" Indira menoleh untuk menanggapi seseorang yang memanggil namanya.

"Iya, er, boleh minta tolong?" Perempuan itu tersenyum percaya diri, napasnya sedikit tersengal saking semangatnya dia menghampiri Indira.

Indira tidak mengenali orang ini. Bahkan bisa dibilang dia tidak banyak mengenali orang-orang di kampusnya. Hanya mereka yang berada di fakultas yang sama dengannya. Mengenai orang ini, Indira yakin bukan berasal dari fakultasnya.

"Tentang apa ya?"

"Titip ini ke El Nathan ya." Sebuah kotak berukuran 20 senti, berpita ungu, disodorkan langsung ke hadapan Indira sampai dia mundur selangkah.

"Kenapa... ke saya?" tanya Indira bingung. Dia hampir saja mendorong paket itu kembali ke pengirimnya.

"Iya, aku tahu kamu kenal dia kan. Jadi aku yakin paket aku pasti bisa sampai. Ini dari Regina, Industri ya. Thanks, Indira. Bye!"

Perempuan yang bernama Regina dari jurusan Teknik Industri itu segera berbalik sebelum mendengarkan tanggapan dari Indira. Indira menghela napas.

Ini bukan kejadian yang pertama.

Sejak kakaknya berpacaran dengan anak dari salah seorang orang terkaya di Indonesia, hal ini sering terjadi. Indira baru tahu bahwa selain Tante Risa dan Om Zaid yang terkenal, El Nathan juga punya banyak fans.

Kalau Nira lebih low profile, hanya ikut di acara-acara Sudharma Corp dan tidak pernah mempublikasikan kegiatannya, Nathan sangat menikmati perhatian orang yang diberikan kepadanya. Kalau Nira beraktivitas di kantor Sudharma Corp, sekarang Nathan memiliki aktivitas sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UI dan seorang social butterfly. Membuat event-event musik, pameran, kelas online, diundang ke beberapa acara di TV atau online.

Karena itulah Indira juga terkena imbasnya. Padahal, dia tidak benar-benar kenal Nathan. Mereka hanya sama-sama adik dari pasangan yang berpacaran. Lagipula Indira di Bandung dan Nathan di Jakarta. Terakhir mereka bertemu adalah saat Nathan menemani kakaknya ke Bandung untuk menjenguk kakak-nya.

Saat Indira menyerahkan paket-paket yang selama ini diterimanya, awalnya Nathan terkejut tapi kemudian dia hanya tertawa dan menggeleng. "Bagiin aja ke orang lain." Itu katanya. Indira tidak pernah memberitahukan soal ini kepada Nathan sebelumnya. Karena dia merasa tidak perlu.

"Dapet lagi?"

Indira menoleh. Seorang bersosok tinggi, tersenyum menatap Indira. Mendadak senyum Indira muncul.

"Iya, Kang. Mau dibalikin gak tega," ujar Indira.

Dipta tersenyum dengan senyumnya yang teduh. Dia menyentuh kening Indira pelan. "Kamu memang terlalu baik."

Sekarang Indira tertawa. "Aku anggap bantu temen aja. Semoga dapet pahala."

Dipta, sosok dewasa yang selalu menemani Indira selama beberapa tahun terakhir. Berawal dari kakak kelas di SMA yang diam-diam menarik perhatian Indira. Dipta adalah salah seorang pengurus OSIS di Bidang Olahraga. Bukan Ketua OSIS sehingga tidak menyedot perhatian terlalu banyak. Tapi tawanya langsung menarik perhatian Indira si anak baru.

Indira tidak melakukan usaha-usaha pendekatan seperti layaknya teman-temannya yang menyukai kakak kelas. Indira hanya menyukai Dipta tanpa maksud untuk memiliki.

Rupanya nasib berkata lain. Pada sebuah ujian tengah semester, Indira ujian di ruangan yang sama dengan Dipta. Sekolah mereka memang memiliki peraturan untuk menggabungkan siswa berbeda tingkatan kelas dalam satu ruangan. Untuk mencegah kecurangan katanya. Indira duduk dengan orang lain tapi... di meja sebelahnya ada Dipta. Layaknya seorang remaja lain, Indira pasti merasa berdebar dan tanpa sengaja wajahnya pasti memerah.

"Kamu sakit?" Adalah pertanyaan Dipta setelah ujian selesai. Untunglah saat ujian tadi Indira bisa tetap mengerjakan soal-soalnya dengan lancar.

"Eh apa Kak?" tanya Indira gugup.

"Kamu sakit? Wajahnya merah."

Indira memegang kedua pipinya yang terasa panas.

"Nggak, Kak. Makasih perhatiannya." Indira buru-buru mengambil tasnya lalu pergi.

Tapi ujian tidak hanya satu hari. Selama seminggu ke depan mereka semakin sering berinteraksi. Dipta termasuk orang yang rajin datang pagi-pagi. Begitu pula Indira. Dia terbiasa membawa sarapan yang disiapkan ibunya dan di hari kedua ujian, Indira menawari Dipta. Sejak itulah mereka akrab.

Pada ujian berikutnya, Indira resmi menjadi pacar seorang Dipta. Tapi tidak ada yang tahu hubungan mereka selain beberapa teman akrab Indira di sekolah. Alasannya sederhana. Indira tidak suka disorot dan Dipta lebih ingin menjaga hubungan mereka untuk mereka sendiri. Walau begitu, kakak dan adik Dipta tahu soal Indira, namun orang tua dan kakak-kakak Indira tidak tahu soal Dipta. Sampai Indira masuk kuliah dan kemudian resmi memperkenalkan Dipta sebagai pacarnya.

"Aamiin," Dipta mengambil kotak dari tangan Indira supaya pacarnya itu tidak kerepotan lagi. "Jadi, sebelum pulang mau makan apa?"

"Aku masakin aja di rumah ya?" Indira menatap Dipta dengan tatapan yang sama seperti empat tahun lalu.

"Boleh. Aku juga udah lama gak makan bareng Om Haris dan Tante Indah." Dipta nyengir, membayangkan masakan Indira yang semakin lama semakin enak. Betapa beruntungnya Dipta bisa merasakan kenikmatan tersebut.

"Iya, mereka nanyain kamu terus."

"Wah aku jadi kayak anak ilang."

Mereka berdua tertawa. Dunia memang jadi milik berdua kalau sedang berpacaran. Khususnya bagi Indira, Dipta memang dunianya.

***

Seyakin Hati Memilih - END (GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang