Rasa Penasaran

207 49 0
                                    

Suasana kantin ramai seperti biasanya di jam istirahat. Puluhan murid silih berganti mengunjungi kantin untuk makan di tempat, atau sekadar membeli makanan juga minuman dan langsung kembali ke kelas.

Berkumpul di salah satu meja bersama beberapa temannya, Bobby memandang lurus ke koridor jalur masuk kantin, tempat tiap anak yang datang maupun pergi dari tempat itu berlalu lalang.

Bobby mengecek jam tangannya. Sebentar lagi waktu istirahat habis, dan gadis yang ia tunggu-tunggu nggak kunjung terlihat.

Dari awal sampe sekarang lo nggak pernah jajan di kantin, kah?

Lelaki itu mengeluh dalam hati. Bisa-bisanya ia begitu naif menunggu kehadiran seorang gadis yang jelas-jelas sejak awal tidak pernah menampakkan batang hidungnya di kantin.

Gadis itu tidak pernah ke kantin.
Gadis itu barangkali dibekali makanan yang teramat cukup dan higienis dari rumah.

Bukankah sudah jelas, uang sumbangan sebesar 50 ribu yang disumbang Sena tanpa meminta kembali itu menandakan bahwa kondisi ekonomi gadis itu bisa dibilang lebih dari cukup?

Kalau asumsinya memang benar, lantas untuk apa Sena repot-repot bergumul dengan puluhan murid lain hanya demi seporsi makanan tidak sehat yang rasanya juga nggak enak-enak amat itu.

Walau asumsi-asumsi berkelebatan di kepalanya, Bobby tetap berharap dan menunggu agar suatu saat ia bisa melihat keberadaan gadis itu.

Bukan apa-apa. Kelas dan tingkat yang berbeda membuat ia amat jarang bisa melihat gadis lugu tersebut, dan satu-satunya tempat yang bisa ia harapkan untuk dapat melihat gadis itu adalah kantin karena memang di situlah tempat para remaja tanggung mencuri-curi pandang terhadap seseorang yang mereka sukai.

Tapi tunggu. Nggak. Bobby merasa ia tidak berada di tahap menyukai gadis itu. Ia hanya penasaran. Gadis yang tampangnya polos dan bisa menangis 2 hari 2 malam dengan sekali bentakan itu nyatanya berani dan teramat santai dengan bentakan juga tatapan tajamnya.

"Wak, party, Wak, nanti malem." Teman Bobby yang bernama Marcell merangkul bahu karibnya yang tengah melamun. "Daripada ngelamun aja kayak orang banyak cicilan. Besok satnight Bali. Gimana? "

Bobby menepis tangan Marcell. "Wak wak wak wak! Lo pikir gue uwak lu apa?" sungutnya. "Skip dulu, ada urusan."

Marcell, sebagai kawan yang penuh pengertian, mengangguk paham mendengar pernyataan sang teman, walau ia nggak yakin kalau karibnya itu betulan ada urusan.

Bobby kembali menatap lurus jalur masuk kantin di depannya. Seminggu berlalu sejak ia tidak sengaja menabrak Sena sampai mengakibatkan ponsel gadis itu terjatuh, tidak pernah ada lagi interaksi di antara mereka--atau setidaknya belum.

Sepanjang hari Bobby banyak melamun. Jarang. Bisa dibilang amat jarang Bobby melihat keberadaan Sena di sekolahnya. Gadis itu amat jarang terlihat di luar kelas jika bukan jam pelajaran Olahraga dan pulang sekolah.

Bobby hampir frustrasi dibuatnya, tetapi lelaki itu lebih frustrasi lagi menghadapi pikirannya sendiri. Kenapa kepalanya itu nggak habis-habis memikirkan Sena?

Gila.

Jam pulang sekolah adalah harapan terakhir Bobby untuk melihat gadis itu. Kadang, ia sengaja duduk berlama-lama di lapangan guna melihat Sena berjalan di koridor, atau melangkah sedikit lambat beberapa jarak di belakang gadis itu saat menuju parkiran.

Tapi sore ini tidak. Ada yang harus Bobby cari tau. Lantas, begitu bel pulang sekolah melengking panjang lelaki itu langsung menuju mobilnya--oh, jangan tanya kenapa ia bisa membawa mobil padahal aturan sekolah melarang hal itu. Jangankan membawa mobil, anak itu mengecat rambut sesuka hati pun pihak sekolah membiarkan karena hak istimewa yang ia miliki.

What a Life | iKON [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang