Kehidupan Sekolah

380 48 28
                                    

Hari pertama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, para peserta MPLS duduk berbaris di lapangan saat waktu mendekati pukul sepuluh pagi. Satu per satu peserta MPLS menyebutkan nomor urut masing-masing yang dimulai dari barisan paling kanan.

Langit kota Jakarta yang cerah membuat terik matahari memanggang para peserta MPLS tak terkecuali Sena. Memerah wajah gadis itu sementara sekujur wajahnya lembab oleh keringat. Bulir-bulir halus mulai meluncur pelan dari pelipisnya.

"Dua ratus empat puluh enam!" Sena menyebutkan nomor urut saat gilirannya tiba.

Tangan gadis itu pelan-pelan terangkat menghapus jejak keringat di wajahnya. Ia mulai jengkel. Sekolah itu memiliki gimnasium, tetapi kenapa para kakak kelas yang menjadi panitia itu malah menjemur mereka di tengah lapangan terbuka saat matahari sedang terik-teriknya.

Ya, memang, sih, matahari pagi itu sehat. Tapi tetap aja panas!

Sejak pagi Sena mengeluh tentang banyak hal dalam hati. Bahkan gadis itu berpikir, mungkin kalau sebelum ini ia menuruti permintaan sang ayah untuk tetap lanjut menimba ilmu di sekolah swasta, barangkali ia tidak akan menghadapi situasi dan kegiatan konyol ini.

Panitia-panitia sok keren dan sok galak yang sedari tadi meminta dan menyuruh hal tidak jelas dan tidak berfaedah di hadapannya adalah sekonyol-konyolnya orang.

"Kamu," tegur kakak Osis bertampang garang.

Sena yang tengah memainkan kerikil kecil sambil menunduk mengangkat kepalanya. Ia tadi tidak menyangka bahwa teguran itu mengarah padanya. Tetapi pada saat mendongak ia dapati tatapan tajam sang kakak OSIS terarah lurus kepadanya.

Cowok itu mendekat dan berdiri selangkah di depan Sena. "Berdiri," titahnya, yang langsung dituruti Sena sambil menepuk-nepuk rok dari debu lapangan. "Sibuk sendiri, ya?" Satu alisnya terangkat. "Coba sebut, berapa total murid baru yang hadir hari ini."

Alis Sena berkerut bingung. Apa sibuk sendiri yang dimaksud kakak kelasnya? Dan lagi, Sena tidak tau pasti berapa total murid baru yang hadir sebab setelah gilirannya ia tidak lagi memperhatikan. Tetapi, kalau nggak salah dengar kurang lebih hampir 350 orang.

"330 kurang, Kak," jawab Sena.

"Kurang berapa?" bentak sang kakak OSIS.


"Kurang tau, Kak." Intonasi Sena sama membaranya kayak kakak bertampang garang ini.

Seluruh murid baru menahan tawa mendengarnya. Bahkan kakak panitia yang terdiri dari OSIS dan MPK pun tertawa sambil menggeleng tak habis pikir.

Tidak seperti teman-temannya, pemuda di hadapan Sena tampak mengeraskan rahang.

"Gugus apa kamu?" tanyanya, sedikit membentak.

Mata Sena mengerling samar. Lihat orang ini. Sudah jelas Sena ada di barisan gugus Paris, kenapa masih nanya Sena dari mana?

Mendengar bentakan sang kakak kelas agak sedikit membuat Sena jengkel. Papai aja nggak pernah membentaknya, dan cowok yang baru bertemu Sena hari ini main bentak-bentak seenak jidat? Ugh!

"Paris, Kak," jawab Sena seraya melirik nametag laki-laki di hadapannya yang bertuliskan Bobby C Sanjaya.

Sena menghela napas kesal. Pasti C nya itu Cincong, kan? Soalnya dia banyak Cincong.

What a Life | iKON [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang