Wadah Segala Rasa

207 46 40
                                    

Waktu sudah melewati Maghrib. Matahari sempurna tenggelam di ufuk barat menyisakan langit gelap. Cahaya-cahaya lampu mengambil alih tugas untuk menerangi Bumi, membantu rembulan di atas sana.

Dari jalan utama, Royce yang ditumpangi Sena berbelok ke tanjakan berliku menuju satu-satunya rumah yang berada di ujung jalan. Kanan-kiri jalanan itu tidak ada bangunan. Hanya dihiaskan rumput serta beberapa pohon palem berjajar rapi bersama lampu jalan.

Bangunan megah yang didominasi warna putih bermandikan cahaya lampu mulai terlihat setelah mobil berkelok sedikit. Pagar hitam berpadu emas terlihat begitu kokoh bak sulit ditembus menyambut. Di bagian kanan pagar terdapat bangunan kecil tempat penjaga rumah besar itu.

Lelaki paruh baya sigap membuka gerbang dari dalam posnya kala melihat kedatangan mobil sang tuan rumah. Menyunggingkan senyum ketika kendaraan yang membawa majikan kecilnya lewat.

"Makasih, Pak Agus." Sena berucap seraya turun dari mobil tepat ketika mobil berhenti di depan lobby rumah.

Gadis itu mendorong pintu besar rumahnya, melangkah berat menuju kamarnya yang terletak di lantai dua sementara pelayan utama rumah tersebut berlalu menuju mobil untuk membawakan tas sang majikan muda.

Biasanya gadis itu sering membawa tasnya sendiri, hanya di beberapa waktu ia main meninggalkan tasnya begitu saja di mobil.

Sena menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Badannya terasa begitu lelah. Kemacetan panjang disebabkan oleh pohon besar nan tua yang tumbang menutupi jalan membuatnya pulang larut.

Beruntung tidak ada korban dari kejadian tersebut.

"Non Sena," panggil seorang perempuan setelah mengetuk pintu.

"Masuk, Mbak Indah..." jawab Sena lemas. Gadis itu hampir tertidur.

Yang dipanggil Mbak Indah membuka pintu perlahan dan masuk ke kamar Sena. Wanita berusia 26 tahun itu menaruh tas sang majikan muda di atas meja belajar.

"Non jangan tidur, ya, belum makan lho. Mandi dulu biar seger, Non."

"Sebentar lagi..."

"Nanti Non Sena malah ketiduran..."

Sena merengek nggak karuan, kemudian dibantu Mbak Indah--yang sambil tertawa kecil melihat tingkah majikan mudanya--ia mendudukkan diri di kasur. Matanya mengerjap-ngerjap.

"Ayo, mandi dulu. Non belum Maghrib-an pasti."

Dengan tenaga seadanya Sena berusaha melangkah ke kamar mandi. Setelah beberapa saat, lepas mandi dan melaksanakan shalatnya Sena beranjak menuju ruang makan di lantai bawah. Sepiring makanan sudah tersaji untuknya di atas meja makan besar yang bisa menampung 12 orang.

Sena menghela napas menatap piringnya. Di saat-saat makan sendirian seperti inilah ia sadar rumah besarnya begitu hening. Begitu sepi. Tidak ada suara kehidupan.

Melewati makan malamnya sendirian, Sena beranjak menuju ruang keluarga begitu selesai. Ia merebahkan setengah tubuh di sofa. Kakinya yang menjuntai ke bawah di pinggiran sofa bergerak ke kanan-kiri.

Ruang keluarga sama heningnya dengan ruang makan. Bedanya di ruangan ini ada suara detik jarum jam terdengar di tengah kesunyian yang ada. Lagi Sena menghela napas panjang. Matanya lurus menatap langit-langit. Rasa kesepian membuat pikirannya berkelana menebak-nebak sedang apa orang tuanya sekarang, sedang di mana Masnya sekarang.

Sejak menghabiskan waktu bersama di Dufan, gadis itu belum bertemu lagi dengan Masnya.

Sena tiba-tiba duduk lalu celingukan mencari ponsel yang sebelumnya ia lempar asal ke sofa. Jari gadis itu bergulir mencari kontak sang paman untuk menghubungi lelaki yang seharian ini tidak mengirim kabar pada Sena.

What a Life | iKON [DISCONTINUE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang