Seorang pemuda murid sebuah padepokan di desa Branjangan tersentak kaget. Di atas pintu gerbang yang bertuliskan Padepokan Macan Putih, nama padepokan mereka, terlihat sebuah telapak tangan dari cairan darah. Wajahnya pucat. Bola matanya langsung terbelalak. Bergegas dia berlari ke dalam.
"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu. Beberapa murid yang berpapasan dengannya terkejut. Buru-buru dihampirinya pemuda berusia dua puluh tahun yang hendak berlari memasuki bangunan utama Padepokan Macan Putih.
"Ada apa? Kenapa kau seperti dikejar setan?" tanya salah seorang murid lainnya.
"Telapak... telapak tangan darah di pintu gerbang...!" jawab pemuda itu tergagap. "Mana guru? Kita harus memberitahukannya pada beliau!"
"Apa?! Telapak tangan darah...?!"
Beberapa orang murid kontan tersentak kaget. Sementara, beberapa orang lainnya bergegas ke depan, untuk membuktikan perkataan kawan mereka. Dan ditemani tiga orang lainnya, pemuda tadi terus masuk ke bangunan utama padepokan itu.
"Guru...! Guru...!" teriak pemuda itu berulang-ulang.
"Hei! Hei... Ada apa ini? Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu?!" tanya laki-laki bertubuh besar, berusia empat puluh tahun. Dia langsung menghadang pemuda itu.
"Ki Kolo Gemet! Oh, maafkan aku. Anu.... Di pintu gerbang ada..., ada...," lapor pemuda itu, tapi tak dilanjutkan.
"Bicara yang benar! Ada apa di pintu gerbang?!" sentak laki-laki bernama Kolo Gemet. Dia adalah salah satu dari sekian murid utama Padepokan Macan Putih.
"Anu, Ki. Ada..., ada telapak tangan darah!" "Telapak tangan darah?!"
Wajah Ki Kolo Gemet tersentak kaget. Untuk beberapa saat, dia tercenung sampai pemuda itu menyambung kata-katanya kembali.
"Aku..., aku baru saja melihat-lihat ke depan. Di sana, aku melihat tanda itu. Kita harus secepatnya memberitahu guru!" jelas pemuda itu.
"Ya, ya.... Biar aku yang memberitahukan pada beliau," sahut Ki Kolo Gemet mengangguk pelan.
"Apa yang harus kami lakukan, Ki...?" tanya pemuda itu lebih lanjut.
"Perintahkan pada yang lain untuk berjaga-jaga!"
"Baik, Ki!" sahut pemuda itu cepat.
Begitu pemuda itu berlalu, Ki Kolo Gemet segera memasuki sebuah ruangan besar yang berada di dalam bangunan utama ini. Setelah memasuki ruangan ini, Ki Kolo Gemet langsung menjura memberi hormat pada orang tua yang duduk dengan tenang bersama beberapa orang. Wajah orang tua yang memang guru dari padepokan ini tampak cerah. Dan sesekali terlihat senyum yang mengembang. Ketika melihat wajah Ki Kolo Gemet cemas, wajah orang tua itu jadi ikut sedikit berubah.
"Kolo Gemet! Ah..., kebetulan sekali kau muncul! Hm.... Ada apa gerangan? Adakah sesuatu yang merisaukan hatimu...?" tanya orang tua yang sebenarnya bernama Sugala ini.
Ki Kolo Gemet segera mengambil tempat tidak jauh di depan orang tua berusia enam puluh tahun itu. "Guru.... Salah seorang murid memberitahukan, kalau di pintu gerbang padepokan terdapat tanda telapak tangan darah...," jelas Ki Kolo Gemet, menghenyakkan pantatnya di lantai yang beralaskan permadani.
"Telapak tangan darah? Apa maksudmu?!" tanya Ki Sugala, semakin berubah.
"Betul, Guru..."
"Hm...." Ki Sugala mengusap-usap jenggotnya yang berwarna putih seraya memandang murid-muridnya yang berada di ruangan ini.
"Apa yang akan kita lakukan, Guru...?" tanya Ki Kolo Gemet.
"Agaknya, Dewi Tangan Darah betul-betul akan menyebarkan maut di mana-mana. Kita tidak akan tinggal diam. Ancamannya harus dihadapi!" dengus Ki Sugala tegas.
"Tapi Guru! Bukankah wanita itu memiliki kepandaian hebat? Selain itu, dia amat ganas dan tidak kenal ampun. Apakah kita mampu melawannya...?" tanya salah seorang murid yang lain dengan wajah cemas.
"Kau meragukan kemampuan kita, Wikalpa...?" Ki Sugala malah balik bertanya.
"Ampun, Guru! Sekali-sekali aku tidak pernah berpikir begitu. Namun kalangan persilatan tahu, siapa Dewi Tangan Darah. Dia wanita kejam berwatak aneh. Tanpa sebab musabab, membantai tokoh-tokoh persilatan demi kesenangannya belaka. Dan selama ini, belum ada seorang pun yang mampu menahan sepak-terjangnya. Bahkan, belakangan ini lebih dari lima orang tokoh berkepandaian tinggi tewas di tangannya. Demikian pula tiga padepokan silat yang punya nama hebat. Mereka hancur olehnya...," jelas laki-laki yang dipanggil Wikalpa mengemukakan kekhawatirannya.
"Aku mengerti apa yang kau khawatirkan, Wikalpa. Namun bagaimana pun kita tidak bisa menghindar begitu saja dari ancamannya. Wanita itu telah kelewatan dan menganggap dirinya hebat. Kita harus tunjukkan padanya, bahwa kita tidak bisa dianggap enteng. Kalian murid-muridku, bukanlah orang-orang yang bernyali tempe dan pengecut! Kita akan menghadapinya bersama-sama!" tegas Ki Sugala bersemangat.
"Betul, Wikalpa. Kita tidak bisa berdiam diri dalam ketakutan. Nama besar seseorang bukanlah jaminan kalau dia bisa berbuat seenaknya," timpal Ki Kolo Gemet. "Dia hanya seorang diri. Sedang jumlah kita banyak. Dengan semangat serta keberanian, dia akan kita hancurkan. Lagi pula kalau bukan kita, siapa yang akan melenyapkan orang seperti Dewi Tangan Darah?"
Wikalpa mengangguk-angguk, lalu memandang yang lain.
"Adakah di antara kalian yang takut untuk menghadapi wanita itu?!" tanya Ki Sugala lantang. "Kalau ada, maka kuizinkan kalian untuk menyingkir!"
"Guru! Kami akan selalu berdiri di belakangmu!" sahut Wikalpa mantap.
"Betul, Guru! Segala keputusan yang telah kau tetapkan, maka akan kami patuhi selamanya. Meski dengan taruhan nyawa!" sahut yang lainnya.
"Wanita itu memang harus dilenyapkan sebelum membuat malapetaka yang lebih besar lagi!" sambut seorang lagi bernada semangat.
Dan yang lainnya agaknya sependapat. Itu diungkapkan lewat sikap, anggukan kepala, maupun kata setuju.
Ki Sugala tersenyum seraya mengangguk senang. "Nah! Kalau begitu, persiapkan diri kalian masing-masing. Perketat penjagaan. Baik di pintu gerbang, pintu belakang, atau di atap-atap bangunan. Pokoknya jaga semua tempat di padepokan ini. Dan jangan biarkan dia bisa menyelinap seenaknya, lalu membunuh kita satu persatu!" perintah orang tua itu berapi-api.
"Siap, Guru...!" sahut murid-murid Padepokan Macan Putih serentak.
"Ingat..!" lanjut Ki Sugala. "Kita tidak tahu, kapan wanita itu muncul. Mungkin sebentar lagi, siang nanti, sore nanti, atau malam. Bahkan esok atau lusa. Maka kuperintahkan pada kalian, untuk selalu bersiaga terus-menerus!"
"Baik, Guru...!"
"Nah. Laksanakan segera saat ini juga!"
Semua murid-murid laki-laki tua itu bangkit dan memberi hormat, sebelum meninggalkan ruangan dan menjalankan apa yang diperintahkan.
Ki Sugala memang boleh merasa cemas. Demikian juga halnya Ki Kolo Gemet yang selama ini selalu bertindak sebagai wakilnya di Padepokan Macan Putih. Tanda telapak tangan darah di pintu gerbang padepokan, bukanlah tanda sembarangan. Jelas, itu merupakan ancaman maut dari seorang wanita kejam berkepandaian tinggi yang belakangan ini selalu membuat kekacauan. Dewi Tangan Darah!
Wanita iblis itu menjadi momok yang menakutkan, sekaligus membuat banyak orang menaruh dendam. Sepak terjangnya yang dahsyat dan tidak kenal ampun, membuat orang-orang merasa resah dan ngeri. Namun sebagian lagi justru mengharapkan kemunculan wanita itu, karena ingin menumpas sifat kejam dan angkara murka yang bersarang di hatinya. Entah bagaimana perasaan hati Ki Sugala yang sebenarnya. Namun yang jelas, dia telah memutuskan untuk memberikan perlawanan sampai tetes darah penghabisan!
Kini semua orang di Padepokan Macan Putih menunggu sampai pagi berganti siang. Namun Dewi Tangan Darah belum juga muncul. Wajah murid-murid padepokan itu diliputi perasaan tegang. Setiap bunyi yang terdengar, langsung mengundang perhatian. Seakan-akan disadari betul bahwa lawan bisa datang secara tiba-tiba seperti setan. Waktu terus bergulir. Dan siang pun merangkak perlahan-lahan menuju sore. Sebagian telah jemu menunggu. Namun kewaspadaan tetap terus dijaga. Ki Sugala dan Ki Kolo Gemet serta beberapa orang murid utama lainnya, berkumpul di balairung utama bangunan perguruan itu sejak tadi pagi.
"Hm.... Kurasa wanita itu takut untuk muncul melihat persiapan dan jumlah kita yang banyak, Guru...!" dengus salah seorang murid.
"Hehehe...! Biar dia tahu rasa kalau berani muncul!" sambut yang lain sambil terkekeh dan menuangkan minuman ke cawan.
"Begitu muncul, akan kita hajar dia beramai-ramai!" timpal yang lain dengan wajah geram.
Ki Sugala hanya tersenyum-senyum kecil, mendengar ocehan murid-muridnya sambil menuang arak ke cawan lalu menenggaknya berkali-kali dengan perasaan nikmat yang terpancar di wajahnya.
"Bagaimanapun, kalian tidak boleh melupakan kewaspadaan...," kata Ketua Padepokan Macan Putih ini, mengingatkan.
"Hm.... Bisa berbuat apa wanita iblis itu pada kita!" desis salah seorang muridnya menyahuti.
"Ya! Bisa berbuat apa dia pada kita? Hahaha...! Hari ini, Dewi Tangan Darah akan rontok di tangan Padepokan Macan Putih!" sahut yang lain.
Mereka kembali terkekeh lebar. Namun belum lagi habis tawa mereka....
"Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan nyaring dari luar. Kemudian disusul jeritan beberapa orang lainnya, sehingga membuat Ki Sugala dan murid-muridnya tersentak kaget.
"Heh?!"
Mereka segera berlompatan dan langsung melesat keluar. Begitu tiba di luar, mereka melihat pintu gerbang depan hancur berantakan. Beberapa orang murid perguruan tewas dengan kepala remuk. Dan beberapa orang lainnya tewas dengan tubuh membiru terserang racun ganas.
Sementara itu, tampak seorang wanita cantik duduk di punggung kudanya di halaman padepokan. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya dingin penuh hawa maut. Tangan kanannya memegang rotan sepanjang setengah depa yang pada ujungnya terdapat bulu-bulu dari tali rami. Benda yang agaknya sebuah kebutan itu selalu dikibas-kibaskan. Sementara kuda yang ditungganginya beberapa kali menggeleng-geleng, sehingga terdengar bunyi klenengan yang digantung di lehernya.
Kleneng...! Kleneng...!
Bunyi itu memang ciri khas kedatangan dari Dewi Tangan Darah. Sehingga mereka bisa cepat menduga. Dan yang lebih menguatkan dugaan itu adalah cara berpakaian wanita cantik ini. Dia hanya berpakaian dari tali-tali yang dianyam sedemikian rupa.
"Dewi Tangan Darah! Akhirnya kau datang juga...!" desis Ki Sugala dengan suara datar. Wanita berjuluk Dewi Tangan Darah itu memandang sinis ke arah Ketua Padepokan Macan Putih.
"Kaukah orang yang bernama Sugala...?"
"Ya! Akulah orangnya!"
"Pilihlah kesempatan untuk menebas lehermu sendiri, sebelum aku yang melakukannya!" sahut wanita cantik itu dingin.
"Huh! Kau kira kepandaianmu sudah sedemikian hebat sehingga bisa berbuat seenaknya!" dengus Ki Sugala mulai tampak garang. Segera diberinya isyarat pada murid-muridnya untuk menyerang.
Tapi wanita itu lebih cepat bergerak. Telapak langan kirinya langsung dikibaskan ke arah orang-orang yang hendak bergerak menyerangnya.
Set! Set!
Seketika dari telapak tangan Dewi Tangan Darah melesat beberapa benda kecil berwarna keperakan ke arah para penyerang.
"Aaakh...! Aaa...!"
Saat itu juga terdengar pekik kesakitan begitu benda kecil berupa jarum-jarum beracun itu menghajar para murid Padepokan Macan Putih yang tak sempat mengelak. Lima orang murid perguruan itu kontan ambruk di tanah dengan tubuh membiru. Mereka langsung tewas terkena senjata rahasia yang disebar Dewi Tangan Darah.
"Hiyaaa...!"
Kini Dewi Tangan Darah segera melompat dari punggung kuda. Setelah membuat putaran beberapa kali, tubuhnya kemudian menderu deras ke arah Ki Sugala.
"Heh?!" Ki Sugala terkejut bukan main melihat gerakan Dewi Tangan Darah yang tiba-tiba saja menyerangnya.
"Uhhh...!"
Dengan gesit orang tua itu bergerak ke samping. Lalu tubuhnya berputar sambil mengayunkan satu tendangan keras ke arah wanita cantik itu.
"Yeaaa!"
Dewi Tangan Darah sedikit meliukkan tubuhnya, sehingga tendangan laki-laki itu hanya mengenai tempat kosong. Lalu selanjutnya, wanita cantik itu kembali melesat cepat. Senjata mautnya yang berupa kebutan dihantamkan ke dada Ki Sugala.
"Hiiih!"
Bukan main terkejutnya Ketua Padepokan Macan Putih saat merasakan angin serangan lawannya. Seumur hidupnya belum pernah dia berhadapan dengan lawan seperti wanita ini. Angin serangannya saja mampu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Dan senjata kebutan di tangan Dewi Tangan Darah bagai seribu jarum beracun yang menusuk-nusuk setiap pembuluh darah di tubuhnya. Tidak bisa dibayangkan bila senjata itu sempat melukainya.
"Heaaa...!" Ki Sugala membentak nyaring. Tubuhnya langsung melompat ke atas sambil mencabut senjata andalannya, berupa cakar macan yang terbuat dari baja pilihan.
Dewi Tangan Darah agaknya orang yang tak suka banyak bicara. Juga tidak peduli dengan apa yang dilakukan lawan. Wanita ini terlalu percaya diri, dan merasa mampu mengalahkan lawan.
Cakar macan yang memiliki pegangan sepanjang dua jengkal itu langsung menyambar ke arah Dewi Tangan Darah. Namun wanita cantik itu cepat nyambutnya dengan senjata mautnya.
Praaak!
"Hei?!"
Bukan main kagetnya Ki Sugala ketika senjatanya hancur dihantam oleh senjata kebutan Dewi Tangan Darah yang kelihatan lemah gemulai itu.
"Hiiih!"
Belum juga keterkejutan Ki Sugala hilang, ujung kaki wanita itu langsung menghantam ke arah dada.
"Uts!"
Namun Ki Sugala masih mampu melompat ke belakang untuk menghindarinya. Sementara Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ saja. Segera dilepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus ke arah laki-laki tua itu. Keringat dingin mulai mengucur deras dari pori-pori Ki Sugala. Namun dengan cepat dia bergulingan di tanah dan terus mencelat ke belakang. Beberapa jarum beracun nyaris menyambar tubuhnya, kalau dia tak cepat bergerak. Tapi rupanya serangan itu hanya pancingan belaka. Pada saat tubuh Ki Sugala mencelat ke belakang, Dewi Tangan Darah terus memburunya dengan ancaman senjata kebutannya. Dan begitu kaki laki-laki tua itu menjejak tanah, senjata Dewi Tangan Darah cepat berkelebat ke arah kepala. Dan...
Praaak!
"Aaakh!"
Ki Sugala menjerit tertahan begitu kepalanya retak dihantam senjata kebutan Dewi Tangan Darah. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kedua tangan memegangi kepala yang bermandikan darah. Sebentar saja tubuh laki-laki tua itu ambruk dan menggelepar-gelepar di tanah. Disertai senyum dingin Dewi Tangan Darah, nyawa Ki Sugala melayang ke akherat.
"Hei?!" Ki Kolo Gemet terkejut. Juga murid-murid yang lain. Pertarungan tadi berjalan cepat. Dan tahu-tahu, guru mereka tewas secara mengerikan.
"Setan! Bunuh dia! Cincang tubuhnya...!" teriak seorang murid, kalap.
"Yeaaah...!"
"Hih!"
Dewi Tangan Darah mendengus dingin seraya melompat ke belakang, ketika lawan-lawannya menyerang laksana tanggul jebol. Kedua tangannya bergerak lincah. Tangan kiri menebar jarum-jarum racun, sementara tangan kanan mengayunkan senjata kebutannya dengan cepat dan lincah.
Werrr!
Crep...!
"Aaakh...!"
Jerit kematian silih berganti saling sambut. Mereka yang terkena serangan jarum-jarum beracun kontan tewas dengan tubuh membiru. Sementara yang lain dengan kepala remuk atau tulang dada hancur dihantam senjata kebutan maut yang berada di tangan kanan Dewi Tangan Darah. "Iblis keji! Akulah lawanmu! Yeaaa...!" bentak Kolo Gemet garang seraya melompat menyerang lawan.
Senjata yang digunakan wakil ketua Padepokan Macan Putih sama seperti yang digunakan Ki Sugala, berupa cakar macan terbuat dari baja dan memiliki tangkai sepanjang dua jengkal.
Bet! Bet!
"Hiiih!"
Dewi Tangan Darah tersenyum dingin. Tanpa banyak bicara, tubuhnya meliuk indah menghindari sambaran senjata lawan. Namun Ki Kolo Gemet agaknya tidak kalah gesit. Ketika senjatanya hendak disambar senjata wanita itu, dia mampu menghindarinya dengan baik.
Belajar dari pengalaman gurunya, Ki Kolo Gemet berpikir cepat. Tidak ada gunanya senjata lawan dipapaki. Maka dia lebih banyak menghindar. Dan sesekali dibalasnya serangan dengan mencuri-curi kelengahan pertahanan Dewi Tangan Darah. Namun Dewi Tangan Darah bukanlah tokoh sembarangan. Wanita ini jarang bertarung lama-lama, sebab mempunyai sikap untuk menghabisi lawan secepatnya. Maka...
"Hiyaaa...!"
Bet! Bet!
Senjata di tangan Dewi Tangan Darah berkelebat ke sana kemari menimbulkan angin kencang dan mengejar Ki Kolo Gemet ke mana saja bergerak. Tapi tidak seperti gurunya, laki-laki setengah baya ini sedikit lebih cerdik. Menyadari dia tengah mati-matian menyelamatkan selembar nyawanya, dia berteriak pada murid-muridnya agar menyerang wanita ini bersamaan.
"Kenapa kalian diam saja?! Ayo, serang dia! Bunuh wanita iblis ini!"
"Yeaaa...!"
Serentak semua murid padepokan ini langsung melompat menyerang Dewi Tangan Darah. Namun wanita itu sama sekali tidak mempedulikannya. Dan dia terus mencecar Ki Kolo Gemet. Sesekali tangan kirinya mengibas ke belakang. Maka jarum-jarum beracun yang amat halus langsung menerpa murid-murid itu.
"Wuaaa...!"
"Hiiih!"
Kembali beberapa orang murid Padepokan Macan Putih terjungkal sambil memekik kesakitan. Tubuh mereka langsung membiru dan tewas beberapa saat, setelah menggelepar-gelepar menuju maut.
Dewi Tangan Darah terus mengayunkan satu tendangan keras ke arah dada Ki Kolo Gemet. Cepat bagai kilat laki-laki itu melompat ke belakang. Namun tubuh wanita ini telah bergerak berputar, mengincar bagian bawah tubuhnya. Kembali Ki Kolo Gemet terkejut dan dia berusaha menjauh dengan melompat ke samping kiri. Namun kepalan tangan Dewi Tangan Darah lebih cepat menghantam tulang keringnya.
Kraaak!
"Aaakh...!" Ki Kolo Gemet memekik kesakitan. Tulang kakinya hancur dihantam pukulan Dewi Tangan Darah. Dan belum sempat dia menguasai diri, senjata wanita itu kembali menghantam batok kepalanya. Begitu cepat gerakannya, sehingga...
Praaak!
"Aaa!"
Ki Kolo Gemet kontan memekik tertahan. Kepalanya remuk dan tubuhnya bersimbah darah ketika ambruk ke tanah. Nyawanya lepas beberapa saat, setelah meregang nyawa!
"Kurang ajar! Dia telah membunuh Ki Sugala. Dan kini, Ki Kolo Gemet pun tewas di tangannya! Kita harus membalas. Iblis betina ini harus mampus...!" teriak seorang murid dengan geram untuk memberi semangat pada kawan-kawannya.
"Hiiih!"
"Aaakh...!"
Werrr!
Orang itu tidak sempat meneruskan kata-katanya, karena seketika itu juga tubuhnya ambruk dan tewas dengan tubuh membiru. Dewi Tangan Darah telah melepaskan jarum-jarum beracunnya ke arahnya dan tak mampu dihindari.
Sementara itu, Dewi Tangan Darah terus berputar seraya melepaskan kembali jarum-jarum beracunnya. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ. Tubuhnya kembali berputar seraya memutar-mutar kebutan ditangannya. Seketika terasa angin bertiup kencang laksana badai topan. Lalu kebutan di tangannya bergerak cepat. Dan...
Prak! Prok!
"Aaa...!"
Pekik kematian terus terdengar tak henti-hentinya. Sebentar saja, murid-murid Padepokan Macan Putih musnah tanpa sisa. Dewi Tangan Darah tidak berhenti sampai di situ. Kebutannya kembali berputar. Maka angin kencang kembali berdesir laksana badai topan menerbangkan apa saja yang terdapat di sekitarnya.
"Heaaa...!"
Bruaaak...!
Dewi Tangan Darah membentak nyaring. Telapak kirinya dihantamkan ke depan. Maka selarik sinar kemerahan menderu dahsyat menghantam bangunan di depannya. Seketika gedung Padepokan Macan Putih hancur lebur dan rata jadi tanah!
Setelah melihat di tempat itu tidak ada lagi kehidupan, wanita itu seenaknya melompat ke punggung kuda dan meninggalkan tempat itu dengan tenang. Klenengan di leher kudanya berbunyi teratur dengan nada satu-satu.
Kleneng...! Teng...!***
KAMU SEDANG MEMBACA
144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak Kematian
ActionSerial ke 144. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.