BAGIAN 3

212 13 0
                                    

Dewi Tangan Darah mendengus disertai senyum sinis. "Yang kuinginkan kau! Bukan bocah tolol itu! Nah, puaskah kau dengan jawabanku?"
"Terima kasih. Namun masih ada satu lagi permintaanku...," kata Nyai Padmi.
"Hm...." Dewi Tangan Darah menggumam dingin.
"Kenapa kau menginginkan kematianku? Aku bukanlah tokoh hebat dan terkenal. Masih banyak tokoh lain yang bisa memuaskan hatimu...," tanya perempuan tua itu.
"Kau adalah pewaris ilmu silat 'Belalang Ijo'. Puluhan tahun yang lalu di tangan Ki Sampar Bangun, ilmu itu amat menggetarkan kalangan persilatan. Yang ingin kulihat bukan ketenaran dan nama besarmu. Tapi ingin kuketahui, sampai di mana kehebatan ahli waris dari ilmu 'Belalang Ijo' yang dulu amat menggetarkan itu. Nah, bersiaplah. Aku tidak banyak waktu untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaanmu!" jelas Dewi Tangan Darah.
Nyai Padmi menghela napas pendek. Lalu matanya menatap muridnya. "Ambar.... Pergilah dari sini! Tunggu aku di rumah orangtuamu. Aku akan menyusul nanti!" ujar Nyai Padmi.
"Tapi Nek... Kau..., kau..."
"Jangan membantah! Turuti kata-kataku...!" bentak Nyai Padmi garang.
Gadis itu tidak juga mau beranjak. Wajahnya sudah tampak gelisah bercampur cemas. Jelas Ambarwati amat mengkhawatirkan gurunya. Lawan yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh sembarangan. Malah gurunya sediri telah mengakui kalau tidak akan mampu menghadapinya.
"Ambar, pergi kataku! Tinggalkan tempat ini secepatnya, kalau kau masih menganggapku sebagai gurumu!" bentak Nyai Padmi kembali.
"Nek.... Mana mungkin aku meninggalkanmu begitu saja...."
Nyai Padmi tidak sempat menjawab. Sebab tiba-tiba Dewi Tangan Darah melompat menyerang.
"Yeaaa...!"
"Hup!"
Dengan cepat wanita tua itu melompat ringan ke atas, untuk menghindari terjangan Dewi Tangan Darah. Wanita tua itu tersentak kaget, sebab gerakan yang dilakukan Dewi Tangan Darah cepat bukan main saat menyambar mengikuti gerakannya sendiri.
"Hiiih!"
"Uts!"
Kalau saja Nyai Padmi tidak mengegoskan pinggang, niscaya sodokan maut yang dilancarkan kepalan tangan kiri Dewi Tangan Darah akan menghantam telak perutnya.
"Nyai Padmi! Kuperingatkan, jangan mempermalukan leluhurmu. Pergunakan jurus 'Belalang Ijo' pada tingkat tinggi. Lalu mainkan pedangmu dengan bersungguh-sungguh. Sebab aku tidak akan segan-segan mencabut nyawamu!" teriak Dewi Tangan Darah mengingatkan.
"Tidak usah khawatir, Dewi Tangan Darah! Siapa yang mau memberi jiwanya secara sia-sia?!" sahut perempuan tua itu.
"Bagus! Nah, sekarang lihat serangan...!"
Set!
Dewi Tangan Darah cepat melompat ke belakang, lalu berdiri dengan satu kaki. Tangan kirinya ditekap di dada, lalu tangan kanannya yang memegang senjata kebutan, diputar sedemikian rupa. Senjata yang kelihatannya remeh, tidak ubahnya bagai pengusir lalat. Namun di tangan Dewi Tangan Darah, senjata itu berubah menjadi amat dahsyat.
Werrr...!
"Heh?!"
Serangkum angin dahsyat seketika menderu keras laksana badai topan menghantam Nyai Padmi. Wanita tua itu terkesiap kaget. Namun dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya dia berusaha menahan. Dan sambil membentak nyaring tubuhnya melompat, melepaskan serangan balasan dengan putaran pedangnya.
"Hiyaaat...!"
Kali ini Nyai Padmi memainkan jurus 'Pedang Belalang Memakan Rumput', yang merupakan permainan pedang terhebat dari jurus yang dikuasainya.
Bet! Bet!
"Uts!"
Dewi Tangan Darah melompat ke belakang, menghindari sambaran senjata Nyai Padmi yang berkelebat seperti hendak mengepung dirinya dari berbagai arah. Terlihat jelas kalau jurus-jurus itu bukan gerakan sembarangan. Kalau saja yang dihadapi saat ini berkepandaian rendah, maka dalam waktu singkat niscaya akan binasa di tangannya. Namun Dewi Tangan Darah malah tersenyum dingin. Malah sama sekali tidak merasa kesulitan untuk menghindari setiap serangan.
"Yeaaat...!"
Ketika tubuh Dewi Tangan Darah melompat ke belakang, Nyai Padmi terus mengejar. Disertai bentakan nyaring, begitu kedua kakinya menjejak tanah maka tubuh Dewi Tangan Darah kembali mencelat ringan. Gesit dan cepat sekali gerakannya sehingga sulit diikuti pandangan mata biasa. Senjata kebutan di tangannya berputar sedemikian rupa, menghantam ke arah perempuan tua itu.
Pada saat yang sama, tangan kiri Dewi Tangan Darah berkelebat ke depan ke arah Nyai Padmi. Dan...
Set! Set!
Saat itu juga, sinar keperakan meluruk deras ke arah perempuan tua itu.
"Heh?!"
Werrr...!
Nyai Padmi kembali dibuat terkejut, ketika merasakan sambaran angin tajam ke arahnya. Nyai Padmi segera menyadari datangnya serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum beracun yang amat halus menerpa ke arahnya. Cepat bagai kilat pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, untuk menghalau serangan gelap itu. Dan tubuh Nyai Padmi cepat bergulingan, saat Dewi Tangan Darah terus meluruk dengan sambaran senjata kebutannya.
Wusss!
Sambil bergulingan, telapak tangan kiri Nyai Padmi menghantam deras ke arah Dewi Tangan Darah. Seketika dari telapak tangan kirinya melesat selarik cahaya hijau agak pudar yang menimbulkan angin dingin menerpa Dewi Tangan Darah.
Wanita cantik berpakaian tidak senonoh itu mendengus tajam. Terpaksa serangannya dihentikan, dan terus bergerak gesit menghindari pukulan jarak jauh perempuan tua itu. Dan sekejap itu pula, senjata kebutan di tangannya kembali berputar. Dan bersamaan dengan itu, tangan kirinya mengibas ke depan.
"Hiiih...!"
Nyai Padmi yang berusaha menghindar dari serangan senjata kebutan, tak kuasa lagi menghindari, beberapa buah jarum beracun Dewi Tangan Darah yang menyerempet kulit tubuhnya.
Cras...! Crasss...!
"Aaa...!" Terdengar jeritan menyayat yang diiringi ambruknya tubuh Nyai Padmi ke tanah.
"Nenek...!" Ambarwati menjerit keras dan langsung berlari kencang memburu tubuh gurunya dan meletakkan dalam pangkuannya.
"Am..., Ambar...!" Bibir Nyai Padmi bergetar hebat dengan tubuh menghitam. Ambarwati dapat merasakan sekujur tubuh wanita tua ini dingin bagai air pegunungan di waktu pagi.
"Nenek...! Bangun, Nek! Banguuun...!" gadis itu menjerit menyayat sambil mengguncang-guncangkan tubuh gurunya.
Tubuh Nyai Padmi terkulai lesu. Nyawanya langsung lepas dari raga. Sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya.
"Nenek, jangan tinggalkan aku sendiri! Nek, bangun.... Bangun!" tangis Ambarwati sambil mengguncang-guncang tubuh gurunya. Ambarwati sama sekali tidak menyadari kalau saat itu Dewi Tangan Darah telah meninggalkan tempat ini, tanpa meninggalkan suara sedikit pun.
"Huh! Aku harus membalas kematian, Nenek. Aku harus membalasnya! Dewi Tangan Darah! Kau harus mati di tanganku!" desis Ambarwati geram dengan kedua tangan terkepal. Seketika tubuhnya berbalik cepat. Namun wanita berjuluk Dewi Tangan Darah telah tidak ada di tempat lagi. Dan Ambarwati hanya bisa menggeram berkali-kali dengan hati kecewa.
"Nenek, tenanglah di alam sana. Aku akan membalas kematianmu kelak...," bisik gadis itu lirih, dan segera mengangkat tubuh gurunya itu.
Ambarwati melangkah pelan meninggalkan tempat itu sambil memandang jasad gurunya untuk dikebumikan di tempat asal mereka. Tapi belum jauh melangkah, sekonyong-konyong Ambarwati berpapasan dengan seorang pemuda gembel berpakaian pengemis. Di tangan kanannya tampak sebatang tombak kayu. Sedangkan tangan kirinya menggenggam seguci arak dalam ukuran cukup besar. Kalau diperhatikan seksama, usia pemuda itu paling tidak sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya tampan, namun tidak terurus. Beberapa kumis dan cambang tumbuh liar di wajahnya. Senyumnya seperti tidak pernah terlepas dari bibir.
"Amboi, Cah Ayu! Kenapa kau? Apa yang kau bawa? Bolehkah aku menolongmu...?!" sapa pemuda itu dengan nada riang.
Ambarwati sama sekali tidak mempedulikan. Terus saja gadis itu melewatinya. Sementara pemuda itu cepat berbalik, dan terus mengikuti sambil terkekeh-kekeh kecil.
"Aduh, sombongnya...! Apakah aku terlalu jelek untuk sekadar mendapat satu dua patah kata dan senyum manismu...?!" ledek pemuda itu.
Ambarwati sama sekali tidak menggubrisnya. Dia terus berjalan semakin cepat. Namun pengemis muda itu seperti tidak patah semangat. Meski sama sekali tidak dipedulikan, namun terus menggoda.
"Aduhai leganya hatiku bila kau sudi melempar senyum barang sedikit padaku. Lalu, berkata-kata dengan bibirmu nan indah itu. Siapa gerangan kau, Cah Ayu? Pastilah kau memiliki nama indah seperti wajahmu...," rayu pemuda gembel ini dengan kata-kata indah sebagaimana layaknya seorang penyair.
Lama-kelamaan kata-kata pemuda gembel ini membuat Ambarwati merasa terganggu dan membuatnya kesal. Matanya langsung melotot dengan wajah geram. "Gembel busuk! Minggirlah! Dan jangan ganggu jalanku! Kalau tidak, akan kuhajar kau...!"
"Amboi, benar dugaanku! Sungguh benar. Suaramu sungguh merdu dan indah, seperti wajahmu...!" sahut gembel ini sambil tersenyum lebar.
"Brengsek...!" dengus Ambarwati geram.
"Betul! Betul, Cah Ayu. Kakangmu ini memiliki wajah tampan..."
Ambarwati betul-betul merasa jengkel melihat kelakuan pengemis gembel ini. Segera tubuh gurunya diturunkan dan langsung berkacak pinggang seraya mendengus geram. "Kisanak! Apa sebenarnya yang kau inginkan? Tidak tahukah kau, bahwa saat ini aku tengah berduka? Pergilah! Dan jangan ganggu aku. Kalau kau ingin uang, nih! Ambillah...!" Gadis itu langsung melemparkan beberapa keping uang perak pada pengemis itu.
Cring!
Ambarwati sengaja melemparkan beberapa keping uang perak dengan pengerahan tenaga dalam kuat. Menurut perhitungannya, kepingan uang itu akan melesak ke dalam tanah. Dan pengemis gembel itu tentu akan bersusah-payah untuk mendapatkannya. Sehingga dengan begitu, dia akan bisa berlalu tanpa mendapat gangguan lagi. Namun perhitungan gadis itu ternyata meleset Pengemis gembel itu cepat memutar tongkatnya. Maka, beberapa keping uang yang dilemparkan Ambarwati jadi meliuk dan mencelat ke atas. Lalu lengan mudahnya kepingan uang itu ditangkap.
Tap! Tap!
"Aduhai. Kau sungguh bermurah hati sekali padaku! Terima kasih, Cah Ayu. Terima kasih. Adakah sesuatu yang bisa kubantu sebagai imbalan yang kau berikan...?" kata pengemis itu tersenyum-senyum lebar.
Ambarwati tidak habis pikir. Kepalanya menggeleng lemah sambil menghela napas pendek dan memperhatikan pengemis itu untuk beberapa saat dengan pikiran menduga-duga. Bukan sembarangan orang mampu melakukan gerakan itu seperti tadi. Jelas, pengemis ini bukan orang sembarangan. Tapi apa maunya mengganggu? Ambarwati menarik napas sesak dan menunggu pengemis itu selesai menenggak araknya.
"Huaaah...! Enak betul arak ini. Apalagi dikawani gadis cantik sepertimu. Hehehe...!" Pengemis itu kembali terkekeh-kekeh kecil. Lalu dipandangnya gadis itu.
"Nah, kau telah memberiku upah. Apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?"
"Kisanak, aku tengah berduka. Harap kau tidak menggangguku...."
"Ah, mana bisa begitu?! Kenapa kau berduka? Aduhai. Janganlah bersedih, sebab hanya membuat wajahmu semakin suram. Hei? Kenapa wanita tua itu tertidur begitu lelap?!" tunjuk pengemis ini ke arah jenazah Nyai Padmi dengan wajah heran.
"Itu guruku. Dia... telah tewas...," sahut Ambarwati lirih.
"Tewas? Mati...? Wualah! Kenapa? Siapa yang telah membuatnya mati?!" tanya pengemis ini dengan wajah terkejut dan sepasang mata melotot lebar.
Ambarwati tidak menyahut. Kembali dia menghela napas sesak, lalu memanggul jasad neneknya. "Kisanak... Aku hendak pergi. Sekali lagi kumohon, jangan ganggu aku. Pergilah ke mana sesuka hatimu...."
"Aku suka sekali bersamamu. Dan Pandir Kelana tidak akan mengganggumu. Aku tidak mengganggumu, Cah Ayu. Kau telah memberiku uang. Maka aku harus membalas budimu..."
"Tidak apa. Aku ikhlas memberi uang itu padamu. Dan kau tidak perlu membalas budi segala..."
"Tidak bisa! Tidak bisa...! Guruku mengajarkan, kalau setiap kebaikan harus dibalas dengar kebaikan pula. Jika kejahatan, maka harus dibalas kejahatan pula. Kau telah berbuat baik padaku. Maka aku harus membalas kebaikanmu!" tegas pengemis yang mengaku bernama Pandir Kelana.
Ambarwati menggeleng lemah. Telah dicobanya membujuk berkali-kali. Namun Pandir Kelana tampak tidak mengerti. Gadis itu jadi hilang akal dibuatnya. Paling tidak pengemis ini tidak berbuat jahat padanya. Kelihatannya Pandir Kelana terlalu polos untuk melakukan tindakan jahat. Lagi pula orangnya periang, dan bisa sedikit menghibur hatinya yang gundah saat ini. Maka meski tidak mengatakan persetujuannya, dibiarkannya saja Pandir Kelana mengikuti langkahnya.
"Aduh, terima kasih! Terima kasih, Cah Ayu...! Aku tidak akan mengganggumu. Bahkan akan selalu menjagamu dari orang-orang jahat!" teriak Pandir Kelana berkali-kali sambil melompat-lompat kegirangan dengan wajah berseri-seri.
"Heaaa...!"
"Brengsek! Apa itu...?"
Mendadak saja tiga orang berkuda berlari kencang di depan Ambarwati dan Pandir Kelana. Debu mengepul ke udara, disertai teriakan-teriakan keras berkumandang. Seakan ketiga penunggang kuda itu sedang berpacu untuk saling menyaingi satu sama lain. Nyaris Ambarwati dan pemuda gembel itu diinjak hewan-hewan itu kalau saja tidak buru-buru melompat menghindar.
"Kurang ajar! Manusia-manusia tidak tahu diri...!" maki Ambarwati dengan wajah berang.
"Hehehe...! lya, iya... Apakah kau menginginkan aku untuk menghajarnya...?" tanya pemuda gembel itu.
"Huh...!" Ambarwati hanya mendengus kesal seraya memandang ketiga penunggang kuda itu.
Pengemis itu hendak melompat, namun mendadak ketiga penunggang kuda itu berbalik. Dan seketika hewan tunggangannya itu dipacu ke arah mereka.
"Heaaa...!"
"Berhenti...!" teriak seseorang sambil melambaikan tangan. Matanya memandang Ambarwati dengan seringai lebar. "Hahaha...! Mimpi apa aku semalam? Siang-siang begini, bertemu bidadari jelita...!"
Ambarwati memandang ketiga penunggang kuda itu dengan wajah sebal. Ketiga orang itu berwajah kasar. Yang barusan bicara adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya hitam, berambut pendek. Pakaiannya indah terbuat dari sutera mahal. Paling tidak, dia pasti berasal dari kalangan orang kaya. Sementara dua lainnya menyandang golok di pinggang. Yang seorang berkumis tebal, dan seorang lagi berambut gondrong. Melihat gerak-geriknya, kedua orang ini agaknya para tukang pukul pemuda itu.
"Gondo! Dan kau, Burik...! Bagaimana pendapatmu? Apakah gadis ini cocok untukku...?" tanya pemuda berwajah hitam itu.
"Hehehe...! Cocok sekali, Den! Sangat cocok...!" sahut dua laki-laki yang bernama Gondo dan Burik sambil terkekeh-kekeh. Melihat itu Pandir Kelana yang bersama Ambarwati ikut tertawa-tawa. Lalu dipandangnya gadis itu.
"Cah Ayu, bagaimana pendapatmu? Apakah kodok buduk satu ini pantas dijitak?" tanya Pandir Kelana.
Ambarwati yang sejak tadi sudah mulai sebal dan geram melihat sikap ketiga orang ini, bisa sedikit tersenyum melihat ulah Pandir Kelana.
"Kurang ajar! Hei, Gembel Tengik! Tutup mulutmu! Kalau tidak, aku akan menendang pantatmu jauh-jauh!" hardik pemuda berpakaian mewah itu dengan mata melotot garang.
"Gembel busuk, minggirlah kau! Den Lesmana sedang ada urusan. Nih, ambillah uang ini. Dan belikan makanan!" sahut Gondo yang berambut gondrong seraya melemparkan dua keping uang kepada Pandir Kelana.
Set!
Begitu kedua keping uang itu melesat ke arahnya, Pandir Kelana cepat menangkis dengan tongkat.
Tring!
"Heh?!"
Kedua keping uang itu langsung mencelat ke atas setinggi lebih kurang dua tombak. Sementara Pandir Kelana terkekeh girang. Sedangkan ketiga orang di depannya terkejut kaget.
"Terima kasih uang busukmu ini! Hiiih!" si pengemis muda itu membentak dan langsung menghantam kedua keping uang itu begitu jatuh di dekatnya.
Tring!
Ketiga penunggang kuda itu gelapagan. Sedang kedua keping uang yang dilemparkan si pengemis muda itu melesat cepat bagaikan dua buah pisau tajam.
"Setan...!"
"Haram jadah...!"
Ketiga penunggang kuda itu memaki. Dan mereka segera melompat dari punggung kuda masing-masing untuk menghindari terjangan dua buah kepingan uang itu. Gerakan mereka terlihat indah, begitu mendarat di tanah. Dari sini bisa dilihat kalau mereka memiliki kepandaian yang patut diperhitungkan.
"Hehehe...! Apa kataku. Dua ekor kodok melompat dan seorang lagi tertelungkup...!" ejek Pandir Kelana tertawa girang.
"Hajar si Keparat ini...!" perintah pemuda bernama Lesmana garang pada kedua tukang pukulnya. Maka Gondo dan laki-laki berkumis tebal yang bernama Burik langsung bangkit dan mencabut golok masingmasing.
Srak!
"Cah Ayu, sebaiknya mereka dibuat seperti apa? Kupotong kupingnya? Atau kucolok matanya? Atau apa...?" tanya Pandir Kelana sambil tersenyum-senyum kepada si gadis.
"Eh! Aku..., aku..., terserah kau saja. Yang penting mereka tidak menggangguku...."
"Hehehe...! Pasti! Sudah pasti mereka tidak akan mengganggumu lagi!" sahut pengemis gembel ini cepat, dan segera menenggak araknya.
Pada saat yang bersamaan, kedua orang itu melompat geram seraya mengayunkan goloknya.
Glek! Glek!
"Yeaaah...!"
"Mampus kau, Pengemis Hina...!"
Pandir Kelana cepat melompat ke belakang dalam keadaan tetap menenggak arak. Lalu.... "Fruuuhhh...! Kalian mengganggu kesenanganku saja...!" gerutu si pengemis muda itu sambil menyemburkan arak yang masih berada di mulutnya.
"Wuaaa...!"
Kedua tukang pukul Lesmana kontan memekik kesakitan seraya mendekap wajahnya yang terkena semburan arak si pengemis itu. Mereka kontan ambruk di tanah, sambil bergulingan.

***

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang