BAGIAN 2

236 12 0
                                    

Seorang pemuda berbaju rompi putih melambatkan lari kuda hitamnya ketika memasuki sebuah desa. Telah seharian dia melakukan perjalanan, sehingga rasa haus serta letih begitu menyiksa.
"Sabarlah, Dewa Bayu. Sebentar lagi kita akan beristirahat dan makan yang kenyang...," kata pemuda bersenjata pedang bergagang kepala burung yang tersampir di punggung. Ditepuk-tepuknya leher kuda itu pelan.
Kuda berbulu hitam dan berkilat ditimpa sinar matahari itu meringkik pelan. Sementara pemuda yang tak lain Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti tersenyum. Segera dihentikannya langkah Dewa Bayu. Lalu dia turun dari punggung kudanya dan menuntunnya ke depan sebuah kedai makan. Dewa Bayu ditambatkan di depan kedai. Baru setelah itu Rangga memasuki kedai yang kelihatannya cukup ramai. Seorang pelayan kedai menghampiri saat Rangga berada di dalam.
"Silakan masuk, Den. Masih ada tempat untuk, Aden...!" ucap pelayan setengah baya itu.
Rangga mengangguk disertai senyum manis. "Di mana aku bisa menemukan orang yang bisa mengurus dan memberi makan kudaku...?" tanya Rangga.
"Oh, bisa. Nanti akan kuurus...," sahut pelayan kedai itu.
Pendekar Rajawali Sakti segera menunjuk kudanya. Dan pelayan kedai itu pun mengangguk. Rangga memperhatikan sejenak isi kedai itu. Pengunjungnya cukup banyak, mengisi sebagian besar ruangan kedai yang beralaskan tanah dan berdinding bilik bambu. Pemuda itu mengambil tempat agak di ujung, dan segera memesan makanan yang disukainya.
Ruangan kedai ini sendiri agak ribut, karena beberapa orang bicara dengan suara agak keras. Hanya satu atau dua orang yang memperhatikan kehadirannya. Sementara, yang lain tenggelam menyimak cerita-cerita yang diungkapkan beberapa orang. Atau juga sibuk menyantap makanan yang dihidangkan.
Rangga sedikit menyimak dan menyimpulkan cerita-cerita yang didengarnya. Dan cerita itu berkisar tentang seseorang yang belakangan ini menggegerkan dan menjadi buah bibir.
"Sungguh gila! Padepokan Macan Putih hancur-lebur dibuatnya!" desis salah seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. Rambutnya tipis dan kaku. Sementara dua orang kawannya yang semeja begitu seksama mendengar ceritanya.
"Hei, Danu! Apakah kau yakin kalau itu perbuatan Dewi Tangan Darah?" tanya pemuda bertubuh kurus.
"Kenapa tidak? Pagi itu mereka menemukan tanda telapak tangan dari cairan darah di pintu gerbangnya. Bukankah itu ciri-ciri kedatangan Dewi Tangan Darah?!" tegas pemuda berambut tipis yang dipanggil Danu.
"Kasihan mereka...!" sahut pemuda yang berhidung pesek dan berkulit legam.
"Hm.... Entah, berapa orang dan berapa perguruan lagi yang akan binasa di tangan wanita iblis itu...," lanjut Danuwirya, pemuda yang pertama kali bercerita sambil menggeleng lemah.
"Kalau saja aku punya kepandaian, sudah kutantang iblis betina itu!" desis lelaki yang bertubuh kurus.
Danuwirya terkekeh kecil. "Kau hendak menantang Dewi Tangan Darah? Hehehe...! Hei, Dikin! Lebih baik urus emakmu yang cerewet itu. Menghadapi dia saja, kau sudah repot!" ejek Danuwirya.
"Itu kan, kalau aku punya kepandaian hebat. Kalau sekarang? Hm.... Berhadapan dengan seorang perampok saja, tubuhku sudah gemetar," sahut Dikin malu-malu.
"Yah... Itu memang bukan urusan kita. Orang-orang seperti kita bisa berbuat apa...?" timpal laki-laki hidung pesek dengan suara pasrah.
Sementara seorang wanita tua yang duduk tidak jauh dari mereka, tampak acuh saja. Sedangkan gadis cantik di dekatnya yang berusia kurang dari tujuh belas tahun, malah memperhatikan dengan seksama cerita ketiga pemuda itu.
"Nenek... Benarkah ada seorang wanita yang begitu kejam seperti yang mereka ceritakan tadi...?" tanya gadis itu dengan suara nyaris berbisik.
Wanita itu memandangnya beberapa saat, kemudian tersenyum. "Apakah ada sesuatu yang aneh...?" wanita tua itu malah balik bertanya.
"Seseorang yang bertindak begitu, pasti ada alasannya. Apa alasan wanita yang berjuluk Dewi Tangan Darah melakukan tindakan keji itu?" tanya gadis itu lagi.
"Mungkin dendam, mungkin juga demi kepuasan diri sendiri...," jelas wanita tua itu enteng.
"Demi kepuasan diri sendiri? Apa maksudnya...?" tanya si gadis dengan wajah semakin tidak mengerti.
Nenek itu menghentikan suapannya, lalu tersenyum kecil. "Ambar.... Kau terlalu muda untuk mengerti soal ini. Di dunia ini, ada orang yang merasa dirinya hebat, lalu ingin menguji sampai di mana kehebatannya. Atau, ada juga yang melakukan pembunuhan di mana-mana, dengan tujuan untuk mencari kesenangan. Maka orang itu mempunyai kesukaan membunuh orang. Bila telah membunuh, maka hatinya terasa girang...," jelas si nenek.
"Astaga! Bagaimana seseorang sampai memiliki watak demikian?"
"Sudahlah. Jangan terlalu hiraukan soal itu. Cepat habiskan makananmu, karena kita harus tiba di tempat orang tuamu sebelum senja tiba!" elak si nenek.
Gadis yang dipanggil Ambar terdiam. Namun baru sesuap mengunyah, matanya kembali dipatri ke arah nenek itu. "Apakah orang seperti itu didiamkan saja? Maksudku, apakah tidak ada orang-orang yang menghukumnya...?" desak Ambar.
"Siapa yang bisa menghukumnya...? Jika dia mampu menghancurleburkan beberapa padepokan yang memiliki banyak murid, maka apa artinya dua atau tiga pasukan kerajaan yang ditugaskan untuk menangkapnya? Mereka pasti akan binasa sebelum berhasil meringkusnya!" jelas perempuan tua itu.
"Dari kalangan pendekar...?"
"Ada juga. Namun mereka binasa di tangannya..."
"Nenek.... Kau memiliki kepandaian ilmu silat cukup hebat. Apakah tidak berniat hendak menangkap dan menyerahkannya pada pihak kadipaten atau kerajaan?" tanya Ambar.
Si nenek tertawa kecil mendengar kata-kata gadis itu. "Ambar... Kita tidak perlu mencari-cari masalah dengan urusan ini. Lagi pula, mana mungkin gurumu ini mampu melawan orang itu..."
"Sedemikian hebatnyakah wanita itu, Nek...?"
"Ya...," jawab nenek itu singkat seraya mengangguk. "Ayolah. Sekarang kita harus melanjutkan perjalanan."
Setelah selesai menyantap makanan kedua orang yang usianya berbeda jauh itu segera bangkit. Dan setelah membayar makanan, mereka berlalu. Sementara Rangga hanya tersenyum.
"Gadis itu polos sekali...," gumam Pendekar Rajawali Sakti di hati.
Namun jelas kalau percakapan di kedai itu menarik perhatian Rangga. "Hm.... Siapa Dewi Tangan Darah itu? Dan apa yang dicarinya...?" pikir Pendekar Rajawali Sakti dengan dahi berkerut.
Bergegas, Rangga bangkit dan melangkah menghampiri pelayan kedai. Setelah membayar makanan, dia meninggalkan kedai dan mengikuti kedua wanita itu secara diam-diam dari jarak cukup jauh.

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang