BAGIAN 5

215 12 0
                                    

Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Sikapnya tetap tenang saja dipunggung kudanya sambil mengibas-ngibaskan senjata kebutan di tangannya. Dan begitu Demung sedikit lagi hendak menghantamnya, cepat bagai kilat kebutan di tangannya dikibaskan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wuuut!
Tap!
"Kurang ajar...!" maki Demung.
Senjata kebutan Dewi Tangan Darah langsung melibat batang golok Demung. Lalu dengan satu sentakan kuat, senjata itu lepas dari genggamannya. Terpaksa pemuda itu menjatuhkan diri sebelum sodokan Dewi Tangan Darah menghantam ke arah dada.
"Hiyaaat...!"
Dewi Tangan Darah kini melompat ringan dari punggung kudanya. Begitu mendarat ditanah, kakinya cepat melepaskan tendangan dahsyat. Namun saat itu juga, Ki Ranta langsung turun tangan.
"Wanita iblis, terima hadiah dariku! Yeaaa...!"
Werrr!
Ki Ranta langsung melepaskan pukulan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga seketika menderu angin kencang laksana badai topan kuat ke arah wanita itu.
"Hm...."
Dewi Tangan Darah hanya mendengus dingin, setelah membabatkan serangannya kearah Demung. Tubuhnya kemudian cepat sekali meliuk, menghindari hantaman pukulan jarak jauh Ki Ranta. Lalu dia mencelat ke samping. Dan baru saja kakinya menjejak, kebutan ditangannya berputar kencang. Maka serangkum angin keras berbalik menyambar ke arah Ki Ranta.
"Setan...!" maki Ki Ranta dengan wajah gusar ketika berusaha menghindar dari serangan lawan.
"Yeaaat...!"
Sementara Demung tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dan dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, tangannya menyodok kearah pinggang sambil berputar kencang. Agaknya Demung bertindak nekat.
"Demung, kau...?! Ah..."
Bukan main terkejutnya Ki Ranta melihat apa yang dilakukan pemuda itu. Mungkin Demung merasa yakin kalau dia mampu melukai wanita itu. Padahal terhadap seorang seperti Dewi Tangan Darah, perbuatannya amat berbahaya. Wanita itu mendadak menangkis kepalan tangan Demung dengan tangan kiri. Lalu..., cepat sekali senjata kebutan di tangan kanan Dewi Tangan Darah menghantam ke batok kepala pemuda itu, tanpa bisa dicegah lagi.
Prok!
"Aaakh...!"
Demung kontan memekik tertahan, begitu batok kepalanya remuk terhantam senjata kebutan Dewi Tangan Darah. Dan nyawanya melayang saat itu juga, sesaat ambruk di tanah.
"Wanita iblis! Kau telah membunuhnya! Aku akan mengadu nyawa denganmu...!" geram Ki Ranta, langsung melompat menyerang.
Dewi Tangan Darah tidak berusaha mengelak. Malah dipapaknya serangan Ki Ranta dengan mantap.
Plak!
"Uhhh...!"
Ki Ranta mengeluh kesakitan. Tangannya seperti menghantam balok besi saja. Belajar dari pengalaman, Ki Ranta cepat melompat ke belakang. Dugaannya memang benar. Sebab saat itu juga, Dewi Tangan Darah mengibaskan senjata kebutannya. Meski mampu mengelak, namun terasa kalau angin serangan wanita itu membuat jantungnya berdegup kencang.
"Hiiih...!"
Mendadak saja Dewi Tangan Darah mengibaskan tangan kirinya. Maka seketika berkelebatan sinar kecil berwarna putih keperakan.
"Oh, celaka...!"
Ki Ranta terkejut ketika Dewi Tangan Darah melepaskan jarum-jarum beracun ke arahnya. Dia berusaha mengelak disertai hantaman pukulan jarak jauh dengan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
"Yeaaat...!"
Werrr!
Seketika bertiup angin kencang ketika telapak tangan Ki Ranta disorong sedemikian rupa. Tubuh orang tua itu langsung bergulingan beberapa kali, namun jarum-jarum beracun yang dilepaskan Dewi Tangan Darah tidak seluruhnya rontok. Bahkan hanya sebagian kecil, sebab sebagian besar lainnya masih terus memburunya seperti tidak tertahankan.
Crep! Crep!
"Aaakh...!"
Ki Ranta terpekik ketika beberapa buah jarum beracun menancap di tubuhnya. Cepat sekali daya kerja racun itu sehingga sekujur tubuhnya panas bukan main seperti tengah direbus. Ki Ranta menggelepar-gelepar sambil terus bergulingan, untuk menahan hawa racun yang telah menjalar di seluruh peredaran darahnya. Mulutnya berbusa, dan tubuhnya mulai membiru. Setelah meregang nyawa sesaat, orang tua itu tewas.
"Huh...!" Wanita itu mendengus dingin. Lalu tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya, kembali dia melompat ke punggung kudanya untuk meninggalkan tempat ini.

***

Seorang pemuda berwajah tampan membasuh wajahnya beberapa kali, setelah meneguk beberapa kali air sungai yang jernih di depannya. Sementara tiga langkah di sebelah kanan, seekor kuda berbulu hitam mengkilat tengah meminum air sungai itu.
"Minumlah yang banyak, Dewa Bayu. Kau tentu haus sekali...," ujar pemuda itu.
Pemuda yang memang Rangga alias Pendekar Rajawali Sakti menghela napas berat. Setelah berdiri, Rangga memandang ke sekitarnya. Matahari tampak mulai tenggelam di ufuk barat. Hewan-hewan malam menampakkan diri satu persatu. Dan bersamaan dengan itu, angin kencang mulai berhembus menerbangkan dedaunan kering serta debu.
"Hm... Malam yang tidak menyenangkan. Sebentar lagi hujan akan turun. Dan melihat mendung yang begini tebal, sudah pasti hujan akan turun deras sekali. Aku harus cepat mencari tempat berlindung...," gumam Rangga sambil menepuk-nepuk punggung Dewa Bayu.
"Hieee...!"
"Kau sudah selesai, Sobat? Kalau begitu, mari kita berangkat. Sebentar lagi hujan lebat turun. Dan aku tidak mau basah kuyup dalam keadaan perut lapar seperti ini," kata Rangga segera melompat ke punggung kuda. Lalu Dewa Bayu dihela kuat-kuat, sehingga berlari secepat kilat dari tempat itu.
Kuda berbulu hitam bernama Dewa Bayu memang bukan hewan sembarangan. Larinya cepat bukan main. Tak ada satu kuda pun yang mampu menandinginya. Dalam waktu singkat, mereka kini tiba di sebuah desa. Suasana tampak lengang. Dan sebagian besar pintu rumah telah terkunci rapat. Desa ini seperti mati, dan tidak banyak orang-orang berkumpul di suatu tempat. Atau juga karena cuaca yang tidak menguntungkan saat ini, sehingga mereka lebih suka berdiam diri?
Pendekar Rajawali Sakti bergegas menghentikan lari kudanya. Dan dengan gerakan ringan dia turun, lalu melangkah menghampiri sebuah rumah vang tertutup rapat.
"Kisanak, selamat sore. Bolehkah aku menumpang menginap disini barang semalam...?" tanya Rangga sambil mengetuk pintu rumah itu.
Tidak terdengar jawaban. Pendekar Rajawali Sakti mengulangi permintaannya. Sementara pendengarannya yang tajam, dapat mendengar degup jantung ketakutan dan langkah-langkah kaki yang berkumpul dalam satu kamar.
"Kenapa mereka? Tampaknya ketakutan sekali. Apa yang membuat mereka takut...?" keluh Rangga bertanya pada diri sendiri.
Rangga lalu melangkah ke rumah yang lain sambil menuntun Dewa Bayu. Dan dia melakukan hal yang sama. Namun jawaban yang diterimanya sama saja. Penghuni rumah itu tidak membukakan pintu. Bahkan sama sekali tidak mau menyahut barang sepatah kata pun!
Pemuda itu mencoba lagi beberapa rumah yang lain, namun yang ditemuinya sama saja. Mereka tidak mau menerima kehadirannya. Diakah yang ditakuti? Atau, ada orang lain? Atau barangkali penghuni desa ini tidak ramah pada seorang pendatang?
"Aneh...!" desis Rangga dengan langkah gontai. Baru saja Rangga melangkah beberapa tindak....
"Hm, hujan mulai turun. Dan tidak ada seorang pun yang mau menerimamu. Kenapa tidak bermalam saja di sini...?"
Mendadak terdengar suara seseorang, yang membuat Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Rangga cepat menoleh, dan melihat sesosok tubuh duduk dengan tenang menghadapi kobaran api unggun di dalam sebuah kandang tua yang baru saja dilewatinya. Agaknya kandang itu sudah tidak terpakai lagi. Pemuda itu melangkah ragu, namun tidak ada pilihan lagi. Gerimis mulai turun. Dan dia tidak mempunyai tempat untuk berteduh.
Meski kandang kerbau itu hanya memiliki tiga buah dinding yang masih berdiri, namun keadaannya sungguh buruk. Beberapa bagian dari atapnya bocor, dan dinding-dindingnya sudah keropos. Sebuah dinding yang terbuka lebar, masih untung terhalang sedikit oleh sebatang pohon mangga. Sehingga saat angin bertiup kencang, tidak begitu menyiksa.
Sosok itu adalah seorang wanita cantik berambut panjang dengan pakaian tidak sopan. Beberapa bagian tubuhnya yang terlarang sempat dilirik pemuda itu, hingga membuatnya jengah. Siapa pun akan mengatakan kalau wanita ini seperti memancing nafsu kelelakian dengan caranya berpakaian.
"Eh! Kurasa..., lebih baik aku mencari tempat lain saja. Terima kasih...," kata pemuda itu, hendak berlalu meninggalkan tempat ini.
Glarrr...!
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti berbalik, mendadak terdengar gemuruh menggelegar. Kudanya meringkik kaget. Demikian pula seekor kuda lainnya yang tertambat di samping kandang kerbau ini. Angin bertiup kencang. Dan hujan turun dengan derasnya dalam waktu singkat. Rangga terpaksa masuk ke dalam kandang, dan berdiri dengan sikap tidak menentu.
"Duduklah. Apa kau ingin semalaman terus begitu...?" ujar wanita itu sambil menambahkan beberapa buah ranting kering ke dalam api unggun.
Rangga duduk dengan tenang. Sikapnya menyamping, dan sama sekali tidak ingin melirik wanita itu.
"Namaku Ayu Puspita Sari. Siapa namamu...?"
"Rangga...," sahut Pendekar Rajawali Sakti, kalem.
"Hm, Rangga. Nama itu seperti tidak asing di telingaku. Tapi di mana aku pernah mendengarnya...?"
"Aku hanya seorang pengembara biasa. Mana mungkin dikenal banyak orang."
"Hm..., mungkin juga. Dari sekian banyak orang, sudah pasti ada yang memiliki nama sama," sahut wanita bernama Ayu Puspita Sari tidak mempersoalkan hal itu. Matanya lantas melirik senjata di punggung pemuda itu. "Senjatamu tampaknya bukan pedang sembarangan. Paling tidak, kau mampu memainkannya...."
Rangga tersenyum kecil. "Sekadar mempertahankan diri dari kawanan begal picisan. Bukankah seorang pengembara sepertiku ini sering menjadi sasaran orang-orang seperti mereka...?" sahut Rangga enteng.
Ayu Puspita Sari tertawa kecil.
"Kenapa wanita sepertimu berada di tempat ini...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
"Wanita sepertiku? Apa maksudmu...?" Ayu Puspita Sari malah balik bertanya dengan nada datar.
Rangga menoleh. Namun wajahnya dipalingkan disertai senyum kecil menyadari kekeliruannya. Dengan berkata seperti itu, dia telah membuat Ayu Puspita Sari merasa tersinggung.
"Maaf, aku tidak bermaksud buruk...."
"Tidak apa...," sahut Ayu Puspita Sari pelan.
"Maksudku, siapa kau sebenarnya? Dan apa yang hendak kau lakukan di tempat ini? Barangkali kau hanya kebetulan lewat dan berteduh sepertiku. ..?"
"Ya, begitulah kira-kira...," desah Ayu Puspita Sari.
"Hendak ke tempat sanak keluarga...?" tanya Rangga.
"Aku ada urusan penting..."
"Hm...," Rangga mengangguk pelan.
"Sebelum ke sini, sempat kutemukan dua ekor kelinci yang gemuk dalam keadaan tidak berdaya. Kukira, hasil tangkapan pemburu yang lupa dibawa. Kelinci itu telah kupanggang dan sebagian telah habis kulahap. Kau mungkin lapar. Ambillah sisanya ini..," ujar Ayu Puspita Sari seraya menyodorkan beberapa potong daging bakar.
"Terima kasih...." Rangga cepat mengambil pemberian wanita itu dan melahapnya segera.
Wanita itu tersenyum kecil seraya memperhatikan Rangga. "Kau lugu sekali, selain... tampan...," gumam Ayu Puspita Sari pelan.
"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanya Rangga.
"Kau baru kenal denganku, dan sudah menerima begitu saja pemberianku. Apakah tidak takut kalau makanan itu kuberi racun, atau sesuatu lainnya? Kau akan celaka!" kata Ayu Puspita Sari.
Rangga tersenyum. "Aku orang lemah dan tidak berdaya. Kalau kau hendak mencelakakanku, tentu mudah sekali kau lakukan sejak tadi. Lalu, kenapa harus menaruh curiga terhadap makanan yang kau berikan?"
"Dari mana kau bisa menduga demikian...?"
"Kau berjalan seorang diri. Dan..., maaf. Dengan berpakaian demikian, kau pasti sering mendapat gangguan dari laki-laki iseng. Hanya ada dua pilihan bagi seorang wanita. Kalau bukan perempuan murahan yang bisa dibayar beberapa keping uang perak, pasti kau seorang tokoh persilatan berilmu tinggi dan mampu melindungi diri dari niat jahat laki-laki iseng...," jelas Rangga.
Wanita itu tersenyum agak lebar. "Lalu dari mana kau tahu kalau aku memiliki kepandaian hebat, dan bukannya seorang pelacur murahan...?"
"Kau tidak akan memanggilku, lalu memberinya makan," sahut Rangga singkat.
"Pintar kau, Rangga. He, berapa usiamu...?"
"Apakah kau hendak mencalonkanku untuk jadi suamimu?" sahut Rangga dengan senyum lebar.
Wanita itu pun ikut-ikutan tersenyum. "Kau tahu, berapa usiaku saat ini...?"
"Aku tidak membatasi usia calon istriku," sahut Rangga bergurau.
Wanita itu tersenyum pelan. "Hampir empat puluh tahun...," kata Ayu Puspita Sari, menjawab sendiri.
"Hm... Kau kelihatan lebih muda dari usiamu yang sebenarnya. Seperti gadis berusia belasan tahun!" puji Rangga.
"Terima kasih..."
"Ayu, eh! Aku harus panggil apa...?"
"Aku belum pernah menikah," sahut wanita itu memberitahukan kalau belum menikah.
"Ayu, aku yakin sekali kalau kau memiliki kemampuan hebat. Dan ilmu silatmu pun tidak kalah dari tokoh-tokoh kelas satu di kalangan persilatan. Sedikit banyak, aku mengenal tokoh persilatan dari beberapa orang yang pernah kutemui. Kalau boleh kutahu, siapakah nama julukanmu...?"
Ayu Puspita Sari tersenyum kecil. "Tahukah kau, bagaimana kehidupanku ketika masih kecil?" tanya Ayu Puspita Sari seperti hendak mengalihkan pertanyaan pemuda itu.
Rangga menggeleng lemah.
"Pada usia tujuh tahun, aku bahagia sekali. Aku adalah anak satu-satunya dari kedua orang-tuaku. Ayahku memiliki banyak murid. Tidak hanya sekadar dari desa sekitar kami, tapi juga dari berbagai tempat. Aku menghormati kedua orangtuaku. Ayahku seorang yang pandai bergaul sehingga tidak heran kalau memiliki banyak kawan. Demikian juga ibuku. Namun kebahagiaan kami tidak berlangsung lama..." Ayu Puspita Sari menghentikan ceritanya yang tanpa diminta. Ditariknya napas dalam-dalam dengan tatapan kosong ke depan. "Kawanan perampok ganas yang dipimpin Bagaspati datang mengacau. Semua orang desa dibunuhnya. Hanya sebagian yang sempat melarikan diri. Ayah beserta murid-murid yang lain berusaha menahan, namun Bagaspati terlalu kuat. Sehingga mereka tewas satu persatu di depanku. Dan hal yang tidak pernah kulupakan adalah..., keparat itu memperkosa ibuku sebelum dibunuhnya. Entah kenapa, dia tidak membunuhku. Tapi malah menculikku...."
"Lalu, kau tinggal bersamanya...?" tanya Rangga ketika wanita itu menghentikan ceritanya beberapa saat.
Ayu Puspita Sari mengangguk. "Meski usiaku baru tujuh tahun, namun tubuhku agak bongsor dan lebih besar dibanding anak-anak seusiaku. Bagaspati menjadikanku sebagai budaknya, yang harus melayani segala kebutuhan. Dan... saat usiaku menginjak sepuluh tahun, perkembangan tubuhku sudah seperti gadis belasan tahun. Agaknya, Bagaspati telah lama memperhatikanku. Pada suatu malam..., dia berhasil menodaiku secara paksa...." Wanita itu kembali menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak muram dan bola matanya berkaca-kaca.
Rangga sengaja tidak berusaha menyelak, Pendekar Rajawali Sakti tetap diam tidak bersuara untuk memberikan kesempatan pada wanita itu menumpahkan kesedihan hati.
"Dan ternyata bukan hanya sampai di situ. Bahkan berkali-kali perbuatan itu dilakukannya, sampai akhirnya aku tidak bisa menghitung lagi. Kadang kalau hatinya sedang gembira atas keberhasilan salah seorang anak buahnya dalam menunaikan tugas, aku dihadiahkan pada anak buahnya untuk beberapa minggu. Aku tidak ubahnya seperti boneka yang bisa dipakai sesuka hatinya...."
Rangga menghela napas pendek. "Kau tidak berusaha kabur...?" tanya Pendekar Rajawali Sakti, lirih.
"Pernah kucoba, namun gagal. Bagaspati menyiksaku habis-habisan. Mulai saat itu, aku kapok. Namun otakku cepat berpikir. Paling tidak aku harus membawa bekal untuk kabur. Aku sering melihat Bagaspati mengajarkan anak buahnya ilmu silat. Maka secara diam-diam tanpa sepengetahuannya, aku mempelajarinya. Setelah merasa aku mempunyai bekal, aku segera kabur. Dan kali ini, tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu mengejarku...."
"Lalu apa yang kau lakukan setelah terbebas dari mereka?"
"Dendamku tidak akan pernah padam. Namun untuk membunuh Bagaspati, bukanlah persoalan mudah. Aku segera mendatangi kawan-kawan mendiang ayahku untuk memohon membantuku membinasakan Bagaspati. Tapi jawaban mereka sungguh pengecut. Tidak ada seorang pun sudi menolongku, karena mereka takut dengan Bagaspati. Aku menjadi putus asa. Dendam di hatiku tidak pernah berhenti, tapi malah semakin berkobar ketika banyak pendekar hebat yang kumintai tolong untuk melenyapkan Bagaspati, semua enggan dan menolak. Kalau bukan karena takut, pasti mereka tidak mempedulikanku. Mulai saat itu aku membenci mereka! Tekadku sudah bulat, walau apa pun yang terjadi. Aku harus membalas sakit hatiku seorang diri. Namun menyadari kemampuanku saat itu, tidak mungkin rasanya sakit hatiku bisa terbalaskan. Satu-satunya jalan, aku harus berguru pada orang-orang berkepandaian hebat. Dan untuk yang satu ini, aku menggunakan segala cara. Sampai..., aku tidak peduli untuk mengorbankan kehormatanku sendiri...," jelas Ayu Puspita Sari tersenyum pahit ketika mengakhiri ceritanya.
"Lalu...?"
Wanita itu tersenyum. Kemudian mulutnya yang menguap lebar ditutupnya dengan tangan. "Aku mengantuk dan letih sekali. Tidurlah. Siapa tahu, kita bisa cocok satu sama lain...," sahut Ayu Puspita Sari pendek seraya merebahkan diri dan tidak mempedulikan pemuda itu.
Rangga menghela napas pendek, tidak begitu menyimak kata-kata terakhir yang diucapkan wanita itu. Perlahan-lahan tubuhnya direbahkan, membelakangi wanita itu.

***

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang