BAGIAN 8

245 16 0
                                    

Ki Gandarwita maju ke depan setelah membereskan letak pedang yang terselip di pinggang. Jarak mereka kini hanya terpaut tiga langkah saja. Sehingga laki-laki tua itu bisa memperhatikan wajah wanita yang tak lain Dewi Tangan Darah dengan seksama.
"Hm, tidak salah dugaanku. Kau pasti putri Ki Sapta Dewantara...," gumam Ki Gandarwita pelan.
Wanita itu tersenyum dingin seraya memandang tajam ke arah orang tua itu. "Bagus! Ternyata kau lebih pintar dari yang lainnya, Pengecut!"
"Ayu Puspita Sari, apa maksudmu dengan semua pembantaian ini?"
"Hm.... Ternyata semakin tua, otakmu semakin butek. Sudah jelas, aku ingin kalian merasakan betapa sakitnya hatiku saat itu. Pengecut-pengecut seperti kalian, tak selayaknya hidup lebih lama di muka bumi ini. Aku bersumpah akan membunuh kalian semua. Nah! Cabutlah senjatamu!" desis Dewi Tangan Darah yang bernama asli Ayu Puspita Sari.
"Ayu, aku bisa menjelaskan semua itu...," bujuk Ki Gandarwita.
"Tidak perlu!" sentak Dewi Tangan Darah memotong. "Bersiaplah menemui ajalmu!" Setelah berkata demikian, telapak kiri Dewi Tangan Darah dihantamkan ke depan. Maka serangkum angin kencang langsung menderu keras ke arah Ki Gandarwita.
"Yeaaat...!"
"Uhhh...!"
Orang tua itu langsung melompat menghindar. Dan bersamaan dengan itu, seluruh muridnya serentak mengepung. Bahkan beberapa orang segera menyerang Dewi Tangan Darah. Tidak ketinggalan juga Nyai Dimpa Amogya dan Ki Batara Wirya.
"Hiiih...!"
Set! Set!
Dewi Tangan Darah mendengus dingin. Tubuhnya langsung mencelat tinggi, lalu melepaskan jarum-jarum beracunnya.
"Awas, hati-hati...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.
Crap! Crep!
"Aaa...!"
Namun tak urung beberapa orang langsung menjerit tertahan, terkena sambaran jarum-jarum beracun yang dilepaskan Dewi Tangan Darah. Mereka kontan ambruk di tanah dengan tubuh membiru!
"Heaaat...!"
Dewi Tangan Darah betul-betul mengamuk hebat, tak terhindarkan lagi. Selain jarum-jarum beracun yang dilepaskan, senjata kebutan di tangan kanannya pun bergerak lincah mencari mangsa.
Prak! Prok!
"Wuaaa...!"
Beberapa murid Ki Gandarwita binasa dengan kepala remuk, terkena hantaman senjata Dewi Tangan Darah yang aneh namun dahsyat.
"Ayu, jangan keterlaluan kau...!" teriak Ki Gandarwita memperingatkan.
Namun belum lagi selesai kata-kata itu, Dewi Tangan Darah menghantamkan satu pukulan jarak jauh ke arah Ki Gandarwita.
"Yeaaat!"
"Sial!" dengus Ki Gandarwita langsung melompat dengan gesit.
"Buat apa bicara baik-baik segala?! Sudah, bereskan saja dia!" sentak Ki Batara Wirya.
"Tanganku sudah gatal ingin menghajar bocah kurang ajar ini!" timpal Nyai Dimpa Amogya. Wanita tua itu sudah mencabut kerisnya.
Mau tidak mau Ki Gandarwita menjadi panas juga hatinya. Apalagi melihat kalau dalam waktu singkat, murid-muridnya binasa secara mengenaskan. Dewi Tangan Darah membunuh mereka bagai menindas sekumpulan semut saja.
"Kenapa sungkan-sungkan segala? Kedatanganku ke sini bukan untuk main-main, tapi ingin mencabut nyawa kalian semua!" teriak wanita itu lantang, disertai senyum mengejek.
"Hm... Kalau begitu, jangan salahkan kalau kami bersikap keras padamu!" dengusnya.
"Hahaha...! Bisa berbuat apa kalian padaku? Si keparat Bagaspati yang kalian takuti saja, tewas di tanganku. Apalagi menghadapi tikus-tikus pengecut seperti kalian!" balas Ayu Puspita Sari yang berjuluk Dewi Tangan Darah.
"Yeaaa...!"
Nyai Dimpa Amogya geram bukan main. Langsung dilepaskannya pukulan maut jarak jauh yang bernama 'Petir Kumala'. Maka selarik cahaya kekuningan berhawa panas langsung meluruk ke arah Dewi Tangan Darah. Dewi Tangan Darah cepat mengelak dengan melenting ke udara. Begitu berada di atas dia balas menyerang.
"Huh! Pukulanmu sama sekali tidak berarti. Dan terimalah hadiah dari Penghuni Pulau Ular. Heaaat...!" Ayu Puspita Sari membentak nyaring, melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Nyai Dimpa Amogya.
"Heh?!" Wanita tua itu terkejut. Dan dia berusaha mengelak, namun terlambat.
Prasss!
"Aaakh...!"
Sinar kemerahan yang keluar dari telapak Dewi Tangan Darah lebih cepat lagi menyambar tubuh wanita tua itu. Seketika tubuh Nyai Dimpa Amogya terjungkal ke tanah. Dan dia tewas seketika dengan tubuh hancur!
Bukan main geramnya Ki Gandarwita melihat itu. Lebih-lebih lagi Ki Batara Wirya. Dia sudah langsung melejit menyerang pada jarak dekat. Tombak bermata golok di tangan Ki Batara Wirya menyambar ke arah leher Dewi Tangan Darah. Namun dengan sedikit menundukkan kepala, senjata tombak luput dari sasaran. Selanjutnya senjata kebutan di tangan wanita itu, melibat erat.
Prrrt...!
"Lepas!"
Dan dengan sekali sentak, maka tombak Ki Batara Wirya terlepas dari genggaman. Belum sempat laki-laki itu menyadari apa yang terjadi, satu tendangan keras dilancarkan Dewi Tangan Darah. Masih untung Ki Batara Wirya mampu berkelit ke kiri. Namun Dewi Tangan Darah terus mengejarnya dengan kebutan maut di tangan. Begitu cepat gerakannya, sehingga orang tua itu tak mungkin menghindar. Dan...
Praak!
"Aaakh!" Ki Batara Wirya memekik keras, ketika senjata kebutan itu mendarat dan meremukkan kepalanya. Setelah jatuh di tanah dan menggelepar-gelepar untuk beberapa saat, dia tewas mengenaskan. Batok kepalanya remuk dan tubuhnya bermandikan darah!
"Sekarang giliranmu, Orang Tua...!" dengus Dewi Tangan Darah dingin, sambil mengibas-ngibaskan kebutannya. Dan senyumnya mengundang hawa maut dan menggiriskan.
Ki Gandarwita tergagap. Dan untuk sementara, dia tidak tahu harus berbuat apa. Kematian kedua kawannya secara mengenaskan, sudah cukup mem-buat nyalinya ciut. Tidak terasa, bulu kuduknya me-rinding membayangkan nasibnya seperti apa. Tiga orang muridnya yang tersisa, agaknya tidak banyak membantu. Wajah mereka pucat. Dan rasa ketakutan hebat, tergambar jelas di sinar mata mereka. Hanya karena memandang rasa hormat saja pada gurunya, maka mereka tidak melarikan diri. Tapi untuk berbuat sesuatu, agaknya mereka tidak berani.
"Hm, mulai ketakutan...? Bisakah kau rasakan, bagaimana ketakutannya aku saat itu, Orang Tua? Bagaimana ketidakpedulian kalian terhadap keluargaku? Padahal ayahku mengatakan kalau kalian adalah kawan baiknya. Tapi apa yang kualami? Hanya kepengecutan kalian belaka dengan membiarkan hidupku terhina!" desis Ayu Puspita Sari geram.
"Ayu, dengarlah baik-baik penjelasanku. Tadi kau katakan tentang sesuatu mengenai Pulau Ular. Kalau benar kau berguru pada orang-orang itu, pasti hatimu telah kerasukan setan. Sehingga kau tidak bisa lagi berpikir secara jernih...," kata Ki Gandarwita, sengaja mengulurkan waktu, kalau-kalau ada kesempatan untuk melarikan diri.
"Tutup mulutmu! Peduli apa kau, kalau aku berasal dari neraka sekali pun? Bagiku, mereka adalah keluargaku. Mereka telah menolongku dan menjadikanku seperti saat ini. Sedangkan kalian, hanya bisa menunjukkan sikap pengecut!" sentak Dewi Tangan Darah.
"Itu tidak benar...," sanggah Ki Gandarwita.
"Tidak usah banyak bicara! Mainkan pedangmu. Dan pertahankanlah selembar nyawa pengecutmu itu!" tandas Ayu Puspita Sari, dingin sambil melangkah pelan mendekati orang tua itu.
Ki Gandarwita pelan menelan ludah. Kali ini tidak ada lagi harapan baginya untuk mengelak. Kepandaian kedua kawannya tidak terpaut jauh dengannya. Dan kalau mereka dapat mudah dibinasakan, maka nasibnya sendiri sudah bisa ditentukan. Namun meski demikian, dia berusaha menguatkan semangatnya. Lalu perlahan-lahan pedangnya diangkat!
"Bagus! Begitu lebih baik bagimu...," kata wanita itu, tersenyum kecil.
Namun sebelum Dewi Tangan Darah melakukan sesuatu, terdengar derap langkah seekor kuda yang berlari kencang menghampiri tempat ini. Dewi Tangan Darah jadi terkejut, dan kelihatan ingin kabur dari situ. Namun penunggang kuda yang baru tiba, lebih cepat lagi melompat dari punggung kuda, langsung menghadang di depannya.
"Ayu, cukup! Hentikan semua ini...!" Wanita itu terdiam, langsung memandang pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya untuk beberapa saat. Wajahnya tampak sendu.
"Rangga, jangan campuri urusanku. Pergilah dari sini...," ujar Dewi Tangan Darah.
"Kau tidak bisa terus-menerus begini, Ayu. Sudah terlalu banyak yang menjadi korbanmu? Lalu sampai kapan semua ini berakhir? Hentikanlah, Ayu. Dan hiduplah secara benar. Masih banyak jalan lain yang bisa dilakukan...," bujuk pemuda yang memang Pendekar Rajawali Sakti. Ayu Puspita Sari memandang Rangga, lalu tersenyum kecut.
"Tahukah kau, kenapa kemarin aku meninggalkan saat pertarungan? Padahal, aku ingin sekali memecahkan batok kepala tua bangka usil itu. Yang jelas, aku tidak ingin melibatkanmu. Juga, saat ini. Tolong jangan campuri urusanku...!" pinta wanita itu dengan suara rendah, namun mengandung ketegasan.
"Ayu.... Aku tahu, siapa kau sebenarnya. Tapi tahukah kau, bahwa belakangan ini justru kaulah yang kucari-cari! Aku tidak bisa membiarkanmu mengumbar dendam dan amarah, dengan membunuh semua orang sebagai pelampiasan sakit hatimu. Yang lalu, biarkanlah berlalu. Dan kehidupan hari ini, seharusnya kau jalani dengan baik," bujuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Rangga! Aku tidak akan malu-malu mengatakan kalau aku mulai menyukaimu sejak perkenalan kita. Kalau saja bisa kukabulkan semua keinginanmu, tentu saja dengan senang hati akan kulakukan. Tapi tidak untuk yang satu ini!" desis Ayu Puspita Sari menekankan kata-katanya yang terakhir. "Kau tidak merasakan, betapa hampa dan terhinanya aku saat itu. Mereka membisu dan menutup mata, padahal tahu bahwa saat itu aku sangat membutuhkan pertolongan. Jika saja mereka tidak mampu menghadapi Bagaspati seorang diri, mereka toh bisa bersama-sama. Aku minta tolong, bukan pada seorang. Tapi semua kawan ayahku yang terdekat dan sering berkunjung ke rumah. Kau tidak akan tahu dan bisa merasakan, bagaimana perihnya hatiku menerima jawaban mereka!"
"Seseorang berhak menentukan sikapnya meski tidak terpuji. Dan kita tidak berhak mencabut nyawanya, hanya karena pendirian dan sikapnya yang buruk dan tidak bisa diterima. Semua telah digariskan Yang Maha Kuasa, termasuk kematian orang tuamu. Juga, nasibmu telah digariskannya. Kenapa kita hendak menentang dan melawan? Cobalah terima kenyataan ini dengan lapang dada...," bujuk Pendekar Rajawali Sakti lagi.
"Rangga, maafkan. Aku tidak bisa...."
"Ayu, jangan tambah korban lagi. Karena bagaimanapun, aku akan mencegahmu!"
Wanita itu memandang Rangga, lalu tersenyum kecil. Sepertinya dia tidak percaya dengan kata-kata yang di depannya tadi. "Kau ingin mencegahku...?" tanya Dewi Tangan Darah meremehkan kemampuan pemuda itu.
"Aku bersungguh-sungguh!" Rangga berusaha meyakinkan.
"Nah! Kalau demikian, cobalah...!"
Bersamaan dengan itu, tubuh Dewi Tangan Darah mencelat menyerang Ki Gandarwita yang sejak tadi berdiri mematung mendengarkan percakapan.
"Hiyaaat!"
Wuuut!
Pendekar Rajawali Sakti cepat bagai kilat melejit memapak serangan Dewi Tangan Darah dengan telapak kirinya. Sementara tangan kanannya menepis tangan kiri wanita itu.
Plak! Plak!
Dewi Tangan Darah melompat ke belakang. Demikian juga Rangga. Wanita itu memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tak percaya. "Siapa kau sebenarnya...?" tanya Ayu Puspita Sari heran. Kecepatan gerak serta tenaga dalam pemuda ini hebat bukan main. Sungguh jauh dari bayangan Dewi Tangan Darah semula. Tentu saja itu membuatnya terkejut bukan main.
"Orang-orang menyebutku Pendekar Rajawali Sakti...," sahut pemuda itu, datar tanpa menyombongkan diri.
"Hm, pantas! Agaknya selama ini kau berpura-pura bodoh di depanku, he?!" dengus Dewi Tangan Darah.
Agaknya bukan hanya wanita itu yang terkejut mendengar penjelasan Rangga yang menyebutkan julukannya. Tapi juga Ki Gandarwita. Dalam pikiran orang tua itu timbul pertanyaan, kenapa Pendekar Rajawali Sakti bisa berkenalan dengan Dewi Tangan Darah? Hubungan apa yang telah terjadi antara mereka selama ini?
Rangga tersenyum kecil. "Aku tidak pernah membohongi siapa pun. Kalau aku berpura-pura bodoh, itu adalah hal yang sebenarnya."
"Hm.... Jadi kau berkeras hendak mencegahku...?" tanya Dewi Tangan Darah dengan suara ditekan.
Rangga mengangguk tegas.
Dewi Tangan Darah mendengus dingin. "Kau boleh langkahi mayatku, baru bisa mencegah niatku!"
Rangga hanya terdiam sambil memandang dengan wajah kasihan. Hal inilah yang tidak diinginkannya. Wanita itu bisa saja menyadari kesalahannya selama ini, dan tidak mengulangi lagi. Tapi Ayu Puspita Sari memang keras kepala. Dan Rangga tidak bisa menasihatinya lagi. Keputusan wanita itu tampaknya telah bulat.
Sementara angin bertiup lembut, menerbangkan dedaunan debu-debu, dan mengibar-ngibarkan rambut mereka. Pendekar Rajawali Sakti dan Dewi Tangan Darah saling berhadapan satu sama lain pada jarak tujuh langkah, Dewi Tangan Darah mendengus pelan, lalu memutar kebutannya beberapa kali. Dan....
"Yeaaat...!"
"Hiyaaat...!"
Kedua tokoh yang sama-sama berkepandaian tinggi berteriak nyaring dan saling melompat bersamaan. Satu tendangan keras yang bertenaga dalam kuat menghantam ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun Rangga cepat mengegoskan, lalu menepisnya dengan tangan kiri.
Plak! Plak!
Senjata kebutan Dewi Tangan Darah menyusul menghantam batok kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun tubuh pemuda itu telah mencelat ke belakang. Dewi Tangan Darah terus mengejarnya sambil melepaskan jarum-jarum beracunnya.
Set! Set!
"Hei? Uhhh...!"
Pendekar Rajawali Sakti yang saat ini memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib, jadi terkejut. Buru-buru dia menjatuhkan diri sambil bergulingan untuk menghindari serangan. Namun Dewi Tangan Darah tidak membiarkannya begitu saja. Seusai melepaskan senjata rahasia, pukulan mautnya terus menghantam seperti tidak ingin memberi sedikit pun kesempatan pada Rangga untuk bernapas. Malah pada satu kesempatan, satu pukulan maut mendarat di sisi Pendekar Rajawali Sakti.
Prasss...!
"Aaakh...!" Pendekar Rajawali Sakti mengeluh kesakitan. Tubuhnya terasa perih, meski pukulan Dewi Tangan Darah luput dari sasaran. Namun jaraknya hanya sedikit sekali. Bahkan tanah tempat dia tadi bergulingan terbelah seperti dihantam ledakan keras.
"Ayo, keluarkan semua kemampuanmu! Tunjukkan kehebatanmu di hadapanku! Huh! Hanya segitukah kemampuan Pendekar Rajawali Sakti?! Ayo, lawan aku! Apakah kebisaanmu hanya menghindar seperti seorang pengecut?!" teriak Dewi Tangan Darah seperti orang kalap. Dan dia terus menghamburkan pukulan-pukulan maut serta serangan-serangan menggila.
"Heaaat!"
Sambil berteriak nyaring Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri. Lalu tubuhnya membuat beberapa gerakan dengan kaki merentang. Sementara kedua tangannya merapat di depan dada. Begitu tubuhnya tegak kembali, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang tetap merapat di depan dada. Rangga tahu kalau Dewi Tangan Darah sudah hendak melepaskan aji pamungkasnya. Maka dia tak mau tanggung-tanggung lagi segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir.
"Bagus! Nah, mampuslah kau Hiaaat...!" teriak Dewi Tangan Darah langsung melepaskan aji pamungkas yang bernama 'Racun Ular'. Seketika dari telapak tangan Dewi Tangan Darah meluruk sinar merah ke arah Pendeka Rajawali Sakti.
Melihat hal ini, Rangga tidak tinggal diam. Seketika kedua tangannya dihentakkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!"
Dua cahaya yang meluruk cepat dari dua aji kesaktian tampaknya akan beradu ditengah-tengah. Dan...
Jederrr...!
"Aaakh...!"
"Uhhh...!"
Terdengar ledakan keras ketika kedua pukulan mereka beradu di tengah. Asap hitam mengepul ke udara dan bumi seperti berguncang. Bahkan Ki Gandarwita yang masih menonton pertarungan terpental beberapa langkah. Sedangkan ketiga muridnya yang tersisa, langsung tergeletak tidak sadarkan diri. Bukan saja ledakan keras yang seperti memecahkan gendang telinga yang membuat mereka demikian. Tapi juga karena angin kencang laksana badai topan, berhawa panas yang amat menyengat akibat beradunya kedua pukulan tadi.
Dewi Tangan Darah memekik setinggi langit. Tubuhnya langsung hancur berantakan dalam keadaan gosong. Sementara seberkas sinar biru, yang menyelimuti tubuhnya tadi telah sirna perlahan-lahan. Bau sangit seperti daging terbakar, samar-samar tercium.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sempat mengeluh tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Dan dia segera bersandar pada sebatang pohon. Napasnya megap-megap tidak karuan, dan tubuhnya masih bergetar hebat.
"Hm.... Tenaga dalamnya sungguh luar biasa...," gumam Pendekar Rajawali Sakti pelan. Lalu Rangga segera membuat sikap bersemadi.
Cukup lama Pendekar Rajawali Sakti bersemadi, untuk menghilangkan guncangan pada dadanya. Baru setelah itu, matanya terbuka. Dan dia segera bangkit berdiri. Segera dihampirinya kepingan mayat Ayu Puspita Sari.
"Maafkan aku, Ayu. Aku tidak bermaksud begini. Tapi kau terlalu memaksa...," gumam Rangga lirih.
Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti mematung dengan wajah berduka. Bagaimanapun dia patut merasa iba setelah mengetahui perihnya kehidupan wanita ini.
"Pendekar Rajawali Sakti.... Tidak seharusnya kau merasa bersalah. Orang itu sudah sepatutnya menerima ganjaran atas apa yang dilakukannya selama ini...," sahut satu suara.
Rangga melihat Ki Gandarwita menghampiri sambil tersenyum kecil. Entah kenapa, hatinya amat muak melihat sikap orang tua itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat kepunggung kudanya.
"Eh! Mau ke mana kau, Kisanak...?!"
Pendekar Rajawali Sakti menoleh sejenak. "Kisanak, kematian Dewi Tangan Darah mungkin menyenangkanmu. Tapi bukan berarti dia merusak segalanya. Justru orang-orang sepertimulah yang menebar benih bencana!"
Ki Gandarwita terdiam dan mematung sambil memandangi kepergian pemuda itu. Mungkin laki-laki tua itu tidak percaya dengan kata-kata tadi. Atau juga merenunginya. Sementara dalam beberapa saat saja, Pendekar Rajawali Sakti telah lenyap dari pandangannya!

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak Kematian 🎉
144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang