BAGIAN 6

195 12 0
                                    

Semalaman Rangga sengaja membuat dirinya agar terlihat tidur lelap. Sehingga sedikit pun dia tidak membuat yang mencurigakan. Sebagai pendekar yang berpengalaman, tentu saja Rangga tak melepas kewaspadaannya, dengan menerima tawaran seseorang yang baru dikenalnya begitu saja.
Sementara itu Ayu Puspita Sari bangkit perlahan-lahan, manakala ayam jantan mulai berkokok satu persatu. Gerakan wanita itu ringan sekali. Dan dengan berjingkat-jingkat, dia keluar dari kandang kerbau lalu menuntun kudanya tanpa menimbulkan bunyi berarti.
Rangga tersenyum dalam hati. Dengan mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara', Pendekar Rajawali Sakti bisa merasakan dengan jelas apa yang diperbuat wanita itu. Agaknya Ayu Puspita Sari ingin meninggalkannya secara diam-diam.
Suasana kembali tenang dan sunyi. Rangga yakin, wanita itu telah tidak ada di tempat. Maka segera dia bangkit dan memeriksa sekeliling tempat. Lalu perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti keluar dan melompat ke punggung kudanya.
"Kau tentu bisa melihat, ke mana mereka pergi, bukan? Nah, Dewa Bayu. Kita akan menyusul mereka. Jangan membuat suara yang ribut!" ujar Pendekar Rajawali Sakti sambil mengusap-usap leher kuda tunggangannya.
Kuda berbulu hitam dan bertubuh besar itu meringkik halus. Lalu ketika Rangga menepak punggungnya pelan, hewan itu melompat dan berlari kencang menembus kegelapan pagi. Rangga terus memacu kudanya, ketika matahari mulai memperlihatkan sinamya yang cerah di ufuk timur. Kuda yang ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti seperti memiliki daya penciuman yang tajam. Dan dia berlari terus ke arah selatan, seperti tidak mau berhenti sebelum tujuannya tercapai.
Tepat ketika Pendekar Rajawali Sakti memasuki sebuah pinggiran hutan, terdengar suara ribut-ribut di depannya. Dengan cepat Rangga memacu kudanya. Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti telah melihat dua orang tengah bertarung di hadapannya. Rupanya Ayu Puspita Sari tengah menghadapi seorang laki-laki berusia lanjut yang bersenjatakan tongkat. Laki-laki tua berjubah abu-abu itu kelihatan gesit sekali bergerak ke sana kemari menghindari terjangan serangan wanita itu.
"Yeaaat...!"
Rangga memperhatikan seksama. Dan untuk sesaat, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain mematung dan duduk tenang di punggung kudanya. Sementara itu Ayu Puspita Sari melompat ringan sambil memutar sebuah senjata kebutan di tangan kanannya. Senjata itu kelihatan ringan saja, namun sesungguhnya menjadi sangat hebat di tangannya. Angin yang bersiur kencang laksana badai topan, langsung menghantam ke arah orang tua lawannya.
Namun laki-laki tua itu pun ternyata bukan orang sembarangan. Tongkat di tangannya diputar sedemikian rupa, seperti baling-baling. Segera dibalasnya serangan wanita itu dengan ganas.
"Hiiih!"
Werrr...!
Pada satu kesempatan, Ayu Puspita Sari melepaskan jarum-jarum beracun yang amat halus ke arah orang tua itu. Dan tindakannya sudah membuat Rangga yang berada tidak begitu jauh, tapi cukup tersembunyi jadi terkejut!
Rangga yang sebelumnya memang sudah curiga, semakin kuat dugaannya. Menurut apa yang didengarnya, selain berpakaian secara seronok, dan bersenjata sebuah kebutan, wanita itu juga mempunyai senjata rahasia berupa jarum beracun yang amat ganas. Semalam Rangga hanya melihat salah satu ciri khasnya, yaitu cara wanita itu berpakaian. Namun dia tidak melihat kebutan yang disimpan wanita itu di balik baju. Tidak salah lagi! Wanita itu pasti Dewi Tangan Darah yang beberapa hari ini dicarinya.
"Kisanak, berhati-hatilah kau!" teriak Pendekar Rajawali Sakti.
Teriakan Rangga yang amat keras, sudah cukup dimengerti laki-laki tua itu. Segera tubuhnya melenting ke atas, sehingga jarum-jarum beracun itu tidak sampai merajam tubuhnya.
"Hei?!"
Begitu menoleh, Ayu Puspita Sari jadi terkejut. Dan matanya yang tajam, telah melihat sosok pemuda yang menginap bersamanya di kandang kerbau semalam. Dan begitu lawannya mendarat, wanita itu segera melepaskan pukulan jarak jauh, lalu langsung mencelat kabur dengan kecepatan yang sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Kurang ajar...!" dengus orang tua geram, langsung menghindari diri dengan bergulingan. "Kau kira bisa kabur begitu saja, he?!"
Begitu bangkit berdiri, orang tua itu segera mengejar Ayu Puspita Sari yang ternyata adalah Dewi Tangan Darah. Rangga termangu untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa. Namun tiba-tiba, Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget. Seketika kudanya dihela kencang untuk mengejar mereka.
"Ayo, Dewa Bayu! Kejar mereka! Kerahkan seluruh kekuatanmu...!" teriak Rangga sambil menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Hieee...!" Baru saja Dewa Bayu melesat kencang, tiba-tiba....
"Hei, apa itu?!"
"Kurang ajar! Yeaaa...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, ketika Rangga yang tak begitu memperhatikan sekitarnya melewati dua sosok tubuh. Dua orang yang dilewati Pendekar Rajawali Sakti tampak begitu terkejut ketika merasakan angin kencang dari derap kuda Dewa Bayu. Sementara yang seorang lagi secara tidak terduga melompat mengejar Rangga.
Wuuut!
Rangga cukup dibuat kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar angir berkesiur ke arah kepalanya. Cepat kepalanya menunduk kemudian balas mengayunkan kaki menghantam ke arah sosok yang membokongnya.
Plak!
"Yeaaah...!"
Orang itu menangkis, dan terdengar keluhan lirih. Namun niatnya tidak berhenti untuk mencegat Rangga. Kembali tubuhnya berkelebat, mengejar Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Tubuh sosok itu berputaran beberapa kali, dan mendarat ringan di depan Pendekar Rajawali Sakti dengan sebatang tongkat pendek dikibaskan. Rangga terpaksa menghentikan laju kudanya. Dan dia melihat jelas, siapa sesungguhnya orang yang telah menghadang perjalanannya. Tampak didepannya seorang pengemis muda dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara tangan kanan yang memegang tongkat, menuding ke arah Rangga.
"Dasar geblek! Hei?! Kau kira jalan ini punya nenek moyangmu...?!" maki pengemis itu kesal.
"Kisanak! Kenapa kau ini? Tidak ada hujan tidak ada angin, tiba-tiba saja menghadang perjalananku dan cari gara-gara?"
"Sial! Hei, Tolol! Siapa yang cari gara-gara? Siapa bilang tidak ada hujan? Siapa bilang tidak ada angin? Kau baru saja hendak melindas kami!" bentak pengemis muda itu dengan suara lantang dan sepasang mata melotot lebar.
"Jangan mengada-ada, Kisanak. Kudaku tidak pernah salah jalan. Dan dia pun tidak akan pernah melindas seseorang, kalau tidak kuperintahkan. Sekarang, menepilah. Dan biarkan aku lewat," sahut Rangga kesal.
"Kurang ajar! Kau kira mentang-mentang anak orang kaya, bisa berbuat seenaknya, he?! Huh! Orang sepertimu memang sudah sepatutnya mendapat pelajaran agar tidak seenaknya berbuat seenaknya pada orang lain!" dengus pengemis muda itu, bersiap menerjang Rangga.
"Pandir, ada apa? Kenapa kau ini...?" Seorang gadis cantik yang agaknya kawan dari pengemis itu baru saja tiba, setelah menyusul.
"Nisanak... Kau pun ada di sini," sapa Rangga, ketika mengenali gadis itu.
"Kau...? Hm, rasanya aku pernah mengenalmu...," kata gadis itu.
"Aku pernah bertemu denganmu beberapa hari lalu, setelah keluar dari kedai itu!" jelas Rangga.
"Oh, iya! Maaf, aku ingat sekarang!" sentak gadis itu.
"Mana gurumu sekarang? Eh?! Apakah beliau gurumu...?"
Gadis yang tidak lain Ambarwati itu mengangguk lesu. Wajahnya tampak murung. "Dia..., telah tiada...," kata Ambarwati lirih.
"Telah tiada? Apakah dia...."
Ambarwati mengangguk. "Dia telah tewas..."
"Siapa yang melakukannya?"
"Siapa lagi kalau bukan si keparat Dewi Tangan Darah!" nada suara Ambarwati terdengar geram ketika mengucapkan kata-kata yang terakhir.
"Dewi Tangan Darah? Astaga! Betul-betul biadab wanita itu...!" sahut Rangga dengan wajah kaget.
"Hei, hei...! Apa-apaan ini?! Huh! Sudah berbuat salah, kini mau basa-basi segala. Dasar kutu busuk! Ayo, cepat minta maaf kalau tidak kukemplang kepalamu,'" sentak pengemis muda tadi, dengan wajah berang.
"Pandir, sudahlah...," cegah Ambarwati.
"Tidak bisa! Orang ini harus diberi pelajaran. Sebab kalau tidak, dia akan berbuat seenaknya pada orang lain!" sentak si pengemis yang memang Pandir Kelana, garang.
"Kisanak, maafkan kawanku ini. Dia memang penaik darah sekali...," Ambarwati jadi tidak enak hati pada Rangga.
"Kenapa minta-minta maaf segala? Memangnya kau pengemis? Dia yang patut melakukannya pada kita!" desis Pandir Kelana garang saja. "Ayo cepat berlutut, sebelum aku naik darah dan menghajarmu!"
"Kisanak, aku tidak suka bermain-main. Apalagi, meladeni segala sikapmu yang aneh itu," sahut Rangga dingin, segera melompat ke punggung kudanya. Lalu ditatapnya gadis itu.
"Nisanak, maaf. Aku tidak bisa berlama-lama, sebab saat ini aku harus mengejar si De...." Belum lagi habis kata-kata pemuda itu, mendadak si pengemis muda melompat menyerangnya dengan amarah meluap-luap.
"Yeaaat...!"
Agaknya Pandir Kelana tidak bisa menerima kata-kata Rangga yang terakhir. Terlebih dari semula dia memang sudah tidak senang melihat sikap Pendekar Rajawali Sakti. Dua hal yang dianggapnya keterlaluan, sudah membuat amarahnya tidak terkendali lagi. Menyadari kalau serangan pengemis itu demikian cepat, Rangga tersentak kaget. Buru-buru Pendekar Rajawali Sakti melompat dari punggung kudanya, dan terus berputaran di udara menghindari serangan. Sedang Ambarwati terkejut kaget melihat apa yang dilakukan kawannya.
"Pandir Kelana, apa-apaan kau ini?! Hentikan! Hentikan semua ini sebelum ada yang terluka...!" teriak gadis itu, kalap.
"Diamlah, Ambar! Biar kuselesaikan dulu anak sok jago ini, biar tidak bersikap seenak hatinya!" sahut Pandir Kelana enteng.
"Heup!" Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting ke atas begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Sementara tongkat di tangan Pandir Kelana terus menghantam dengan gerakan meliuk ke arah batok kepala, dada, lalu ke perut. Semua itu dilakukan dengan gerakan cepat bukan main. Bahkan sempat membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak habis pikir. Semula dikira, gembel ini hanya jual lagak dan tidak punya kemampuan hebat. Tapi setelah merasakannya, Rangga semakin yakin kalau gembel penaik darah ini pasti murid orang berkepandaian tinggi. Gerakannya lincah dan gesit. Malah tenaga dalamnya lumayan kuat. Buktinya, tongkat di tangannya berubah menjadi senjata maut yang sewaktu-waktu mampu membinasakannya.
"Haiiit! Uts...!" Rangga yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', memutar tubuhnya. Dan kini tubuhnya mengapung di udara dalam keadaan telentang, lalu terus mencelat ke salah satu cabang pohon terdekat.
Pandir Kelana agaknya tidak pusing-pusing memikirkan kehebatan lawan. Padahal apa yang barusan dilakukan Pendekar Rajawali Sakti jarang mampu dilakukan tokoh-tokoh lain yang memiliki kepandaian tinggi.
"Yeaaat...! Mampus kau! Mampus...!" teriak pengemis muda itu kalap seraya mengayunkan tongkat di tangan dan mengobrak-abrik tempat dimana pemuda itu tadi melesat.
Rangga hanya terkekeh kecil. Lalu dia mematahkan sebuah ranting kayu yang berukuran sedikit lebih kecil dari tongkat yang dimiliki lawan. Kemudian tubuhnya mencelat ringan beberapa saat, sebelum Pandir Kelana sempat menghajar.
"Gembel! Bagaimana gurumu mengajari? Kenapa batang pohon yang tidak tahu apa-apa menjadi sasaranmu?" ledek Rangga.
"Hei, kau? Setan! Kuhajar kepalamu! Awas kau! Kucekik nanti! Jangan lari, setan busuk! Ayo, awas kalau kau lari! Aku betul-betul tidak akan mengampuni...," maki Pandir Kelana, langsung memburu Rangga sambil mengoceh tidak karuan.
Tongkat di tangan pengemis muda itu berputar cepat dan menghantam apa saja yang berada di dekatnya. Rangga berusaha menghindar, dalam beberapa jurus untuk membiarkan Pandir Kelana semakin kalap. Dan pancingannya memang mengena. Karena pengemis itu semakin berang saja melihat sikapnya.
"Setan cilik! He, apa kebisaanmu hanya menghindar saja seperti maling jemuran?!" maki pengemis itu kesal.
"Aku memang maling jemuran. Lalu apa yang bisa kau perbuat terhadapku?" sahut Rangga mengejek.
"Setan! Jahanam keparat! Betul-betul akan kubunuh kau...!" geram Pandir Kelana tidak bisa lagi menahan amarah, karena dipermainkan begitu rupa.
Bahkan teriakan-teriakan Ambarwati sama sekali tidak dihiraukannya. Padahal, selama ini dia amat patuh pada gadis itu. Segala apa yang diinginkan Ambarwati, maka akan dipenuhinya saat itu juga. Dia betul-betul penurut. Beda betul dengan saat ini.
"Pandir Kelana, sudahlah! Jangan berbuat begitu. Hentikan seranganmu! Ayo, hentikan...!"
"Tenang-tenang sajalah, Ambarwati. Biar kuhajar dulu bocah ini, baru setelah itu aku berhenti!" sahut Pandir Kelana seenaknya.
"Heup!" Rangga tampak mulai bosan. Dan kini Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa langkah untuk balas menyerang. Ranting di tangannya yang memang sengaja terus digenggam, diputar sedemikian rupa saat lawan sudah terus mencelat menyerangnya.
"Huh! Kau kira aku takut melihatmu bersenjata, he? Meski kau membawa pedang yang tajam sekali pun, tongkatku masih mampu menggebukmu!" desis Pandir Kelana mengejek.
"Yeaaat...!" Pengemis itu segera mengibaskan tongkatnya. Tentu saja Rangga tidak tinggal diam. Seketika kelebatan tongkat itu dipapak dengan ranting di tangannya.
Trak! Trak!
Kedua senjata aneh di tangan mereka beradu. Pandir Kelana mengeluh tertahan. Tongkatnya terasa perih dan bergetar hebat, manakala beradu dengan ranting kayu di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi sempat menyerang, Rangga telah lebih dulu menyambar lehernya dengan ranting.
Bet!
"Uts!"
Kalau saja Pandir Kelana melompat ke belakang untuk menghindarinya, maka pasti Rangga bisa melemparkan ranting ditangannya. Dan dia akan celaka. Maka pengemis muda itu memilih menghindar, dengan bergerak ke kanan. Lalu tubuhnya terus bergulingan untuk menghindari serangan tidak terduga.
Wuuut!
Ujung ranting itu memang menyambar ke arah pinggang. Namun Pandir Kelana mampu meliukkan tubuhnya, sehingga serangan Pendekar Rajawali Sakti luput dari sasaran. Namun secara tidak terduga, satu tendangan keras melayang ke arah perutnya.
Desss!
"Aduuuh...!" Pandir Kelana berteriak kesakitan. Tubuhnya langsung terjungkal beberapa langkah.
"Bagaimana, Gembel? Apakah kau ingin memberiku pelajaran atau sudah kapok?" tanya Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak dengan nada mengejek.
"Sial! Akan kucincang tubuhmu...!" geram Pandir Kelana setelah bangkit berdiri. Wajahnya tampak merah, menahan amarah yang semakin berkobar saja. Dengan gesit, pengemis itu kembali menyerang. Padahal Ambarwati telah berusaha mencegahnya.
"Pandir Kelana, sudahlah! Tidak perlu diteruskan...!"
Namun pengemis muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Harga dirinya betul-betul tersinggung diperlakukan begitu. Apalagi sampai terjatuh di hadapan seorang gadis cantik seperti Ambarwati.
"Hm, bandel rupanya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dingin.
"Brengsek! Akan kurobek mulutmu, yeaaat..!" Kali ini Pandir Kelana tampak lebih hati-hati. Namun agaknya sejak tadi, Pendekar Rajawali Sakti telah memperhatikan dengan seksama jurus-jurus yang dimainkannya. Sedikit banyak, Rangga mengetahui gaya serangan maupun gaya menghindar pengemis itu. Maka ketika menyerang dengan gencar, Pandir Kelana harus mati-matian menyelamatkan diri.
Ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti dua kali mampu dihindari. Begitu juga ketika Rangga mengayunkan tendangan. Namun ketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti mengejar, Pandir Kelana tampak gelagapan. Pertarungan jarak dekat yang terjadi, membuat Pandir Kelana semakin tidak berdaya saja. Baik tenaga maupun gerakan Pendekar Rajawali Sakti lebih lihai dibandingkan dengannya. Maka tidak heran kalau dia hanya mampu menangkis dua serangan saja. Sebab pada serangan ketiga...
Begkh!
"Aaakh...!"
Tubuh Pandir Kelana kembali terjungkal disertai jeritan keras ketika satu sodokan keras menghantam dada.
Meski demikian, pengemis muda itu berusaha bangkit kembali dan bermaksud menyerang dengan wajah berkerut rasa sakit. Namun Rangga agaknya sudah tidak ingin bermain-main lagi. Dia betul-betul tidak mau diganggu pengemis muda ini lagi. Maka ketika pengemis itu bangkit, Pendekar Rajawali Sakti kembali cepat menyerang.
Trak!
Pandir Kelana hanya mampu menangkis serangan tipuan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan serangan yang sesungguhnya, tak mampu dielakkan.
Desss!
"Wuaaa...!"
Tubuh pengemis itu kembali terjerembab ketika tendangan Rangga menyodok perut.
"Hehehe...! Dasar anak tolol, hei Bocah! Coba layani aku barang beberapa jurus...!" Mendadak saja terdengar satu suara menggelegar disusul melesatnya sesosok tubuh ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hiyaaat...!"

***

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang