BAGIAN 4

236 13 1
                                    

"Hahaha...! Rasakan oleh kalian! Itulah akibatnya bagi orang yang suka usil...!" ejek Pandir Kelana sambil terkekeh-kekeh kegirangan.
Kedua tukang pukul Lesmana menggelepar, menahan rasa perih dan gatal yang menyerang sekujur tubuh. Apa yang dilakukan Pandir Kelana kelihatannya remeh saja. Namun akibatnya sungguh membuat bulu kuduk Ambarwati bergidik ngeri. Kulit-kulit kedua tukang pukul itu terkelupas seperti disiram air panas yang baru saja mendidih. Maka ketika digaruk-garuk, terlihat darah mengucur deras dan membasahi sekujur tubuh. Namun begitu, mereka terus menggaruk dengan rasa sakit yang menghebat.
"Pengemis hina! Apa yang kau lakukan terhadap mereka, he?!" bentak Lesmana garang dengan mata melotot lebar.
"Kau kira apa, he?!" sahut Pandir Kelana tidak kalah garang sambil berkacak pinggang dan menenggak araknya. Glek! Glek!
"Kurang ajar! Kau boleh mampus akibat ulahmu!" desis pemuda bangsawan itu garang, langsung melompat menyerang Pandir Kelana.
"Hehehe...! Ingin mengalami nasib seperti mereka? Boleh saja! Sini...!"
Lesmana langsung membabatkan goloknya ke leher Pandir Kelana.
Bet! Bet!
"Uts! Tidak kena, huh!" ejek pengemis muda itu sambil melenting ke belakang menghindari tebasan golok.
"Keparat!" Lesmana menggeram dan kembali menghantamkan senjatanya ke arah pengemis muda yang baru saja mendaratkan kakinya di tanah.
Kali ini Pandir Kelana tidak mau tinggal diam. Tubuhnya cepat melompat ke atas kembali, dan membuat putaran di udara. Tongkatnya cepat diayunkan, memapak senjata Lesmana.
Tak!
Tongkat di tangan Pandir Kelana kelihatan rapuh dan mudah patah. Namun ketika menghantam golok, Lesmana jadi terkejut. Goloknya terpental, dan pergelangan tangannya langsung dihantam tongkat pengemis itu.
Tuk!
"Ukh...!"
Dan belum lagi Lesmana menyadari apa yang harus dilakukan, perutnya terasa seperti dihantam benda keras.
Begkh!
"Akh...!"
Lesmana kontan menjerit keras. Tubuhnya terbungkuk sambil mendekap perutnya yang terasa akan pecah. Pada saat itu Pandir Kelana kembali menghantamkan tongkat ke punggungnya. Lagi-lagi pemuda bangsawan itu menjerit. Tubuhnya ambruk dan diam tidak berkutik.
"Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan pada mereka...?" tanya Ambarwati dengan wajah bingung.
"Tenanglah. Mereka tidak apa-apa. Yang ini hanya pingsan. Sedang dua lainnya tengah menari-nari...," sahut pengemis itu enteng.
"Kisanak! Jangan seperti itu. Kasihan kedua orang itu. Kau harus membebaskan penderitaan mereka...!" ujar Ambarwati dengan wajah kasihan.
"Oh! Kau ingin begitu? Baiklah...," sahut pengemis muda itu seraya menenggak araknya. Lalu....
Fruh! Fruh...!
Kembali Pandir Kelana menyemburkan arak di mulut ke arah dua orang yang tengah bergulingan menggaruk-garuk sekujur tubuh hingga penuh luka.
Aneh bin ajaib! Setelah pengemis itu menyemburkan arak, maka kedua tukang pukul itu berhenti menggaruk. Namun wajah mereka tampak meringis, sebab menahan rasa sakit dari sekujur tubuh vang penuh luka garukan kuku.
"Hehehe...! Masih ingin sok jago? Ayo, minta maaf pada gadis ini. Atau...!" ujar si pengemis itu ambil mendelik garang.
Kedua orang itu melirik ke arah majikannya. Lalu matanya memandang takut-takut pada si pengemis. Kemudian, mereka buru-buru menghampiri si gadis itu dan berlutut di kakinya.
"Nisanak.... Maafkan kesalahan kami! Ampuni kami...."
"Eh? Apa-apaan ini? Ayo, bangkitlah! Bangkit kataku! Dan cepat pergi dari sini!" sentak Ambarwati dengan perasaan risih. Lagi pula dia tidak tega melihat keadaan kedua orang itu.
"Hihihi...! Nah! Tuan putrimu telah berkata begitu. Maka pergilah cepat sebelum pikirannya berubah! Ayo...!" sentak Pandir Kelana seraya mengibaskan tangan seperti mengusir seekor anjing. "Jangan lupa, bawa serta pemuda busuk itu!"
"Eh, iya... iya...!" sahut keduanya cepat, langsung menggotong tubuh Lesmana dan buru-buru meninggalkan tempat ini.
"Kisanak, kau keterlaluan sekali...!" gerutu si gadis itu seperti melupakan kesedihan hatinya atas kematian gurunya.
"Hehehe...! Kenapa masih menyebutku kisanak? Panggil namaku saja Pandir Kelana. Huh! Mereka memang sudah sewajarnya menerima hal itu. Eh, Anak Manis. Aku harus memanggil apa padamu...?"
"Namaku Ambarwati.... Jangan panggil lagi aku anak manis!" gerutu gadis ini dengan wajah cemberut.
"Ambarwati... oh! Amboi, sudah kuduga, pasti namamu indah seperti wajahmu!" puji Pandir Kelana disertai senyum lebar. "Nah! Ke manakah tujuan paduka saat ini? Hamba akan siap mengawalnya!"
Ambarwati tersenyum kecil. Namun manakala melihat kembali kepada tubuh gurunya, wajahnya berubah murung. Namun Pandir Kelana selalu menghiburnya dengan gayanya sendiri. Sehingga tidak terasa gadis itu merasa terhibur juga.

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang