BAGIAN 7

217 12 0
                                    

Sosok bayangan yang baru datang langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Seketika Rangga merasakan angin serangan tajam menderu ke arahnya. Ranting yang di tangannya langsung dipakai untuk memapak.
Trak!
Terjadi benturan keras ketika ranting kecil di tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam sesuatu. Dan Rangga cepat memiringkan kepala, ketika kembali terasa serangan kilat yang menghantam punggung. Dan ketika tubuhnya tegak kembali, Rangga segera meluruk melepaskan serangan balasan.
"Hebat! Hebat...!" puji sosok itu ketika ranting di tangan Pendekar Rajawali Sakti mengurung tubuhnya dengan gencar.
Orang itu berusaha melompat menghindar ke atas sambil memiringkan tubuh. Namun pada saat itu juga, kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti menderu keras ke dadanya. Dan orang itu mencoba menangkis.
Plak!
"Gila! Bocah setan! Siapa kau sebenarnya...?!"
Bukan main kagetnya orang itu, ketika berusaha menangkis dengan telapak tangan. Tubuhnya langsung bergetar hebat, dan terdorong ke belakang dengan langkah sedikit limbung.
Rangga segera menghentikan serangan dan berdiri tegak pada jarak tujuh langkah dari sosok itu. Sehingga kini Pendekar Rajawali Sakti bisa melihat jelas seorang laki-laki berusia lanjut yang sudah dikenalnya sebagai orang tua yang tadi tengah bertarung melawan Ayu Puspita Sari.
"Guru...!"
Pandir Kelana berseru girang dan buru-buru menghampiri membungkuk hormat. Lalu dengan tingkah seperti anak kecil, wajahnya meringis dan mulai merengek.
"Guru, bocah sok itu harus diberi pelajaran. Dia telah mengganggu kami. Kau harus menghajarnya. Kalau tidak, aku akan terus menangis...!"
"Sudah, sudah...! Nanti akan kuhajar dia. Jangan menangis. Ayo, diam. Tuh, lihat ada gadis cantik. Malu, kan? Eh, siapa yang kau sebut kami? Gadis itukah kekasihmu...?" sahut orang tua itu seraya mengusap-usap kepala muridnya.
"Eh, itu... ng...," Pandir Kelana mesem-mesem, menyembunyikan wajahnya.
"Kenapa malu? Katakan saja kalau dia kekasihmu. Aku tidak keberatan!" desak orang tua itu.
"Ambar, perkenalkanlah. Ini guruku...!" teriak pengemis muda ini tanpa mempedulikan ocehan gurunya.
Ambarwati bukannya tidak mendengar apa yang dikatakan orang tua itu. Hatinya jadi jengah sendiri. Dan entah apa yang dirasakannya saat ini.
Murid dan guru itu seperti memiliki watak aneh. Tapi selama beberapa hari ini berjalan bersama Pandir Kelana, pemuda itu baik padanya. Mungkin juga gurunya baik pula, meski menyadari kalau Pandir Kelana terkadang sering berbuat sesuka hatinya. Malah cenderung bersikap seperti anak kecil, seperti sekarang ini. Padahal usianya lebih dua puluh lima tahun!
"Hehehe...! Jadi, namamu Ambarwati? Muridku pasti tidak salah pilih menjadikan kau kekasihnya. Sebab kau sangat beruntung mendapatkannya. Hehehe...! Ayo, beri salam pada bapak mertuamu...," kata orang tua itu sambil tertawa girang.
"Eh! Aku..., aku..."
"Hahaha...! Pandir, pintar betul kau memilih calon istrimu? Gadis ini betul-betul masih hijau dan malu-malu. Aku setuju sekali! Aku setuju! Kau pasti bisa mengarahkannya dengan baik...!" sahut orang tua itu, memotong pembicaraan Ambarwati.
Tentu saja hal ini membuat gadis itu menjadi sebal betul. Tidak ada sedikit pun di hatinya rasa suka terhadap Pandir Kelana. Dan kini, orang tua itu seenaknya saja bicara begitu. Semula dia gugup, karena merasa tidak enak hati untuk menyinggung perasaan keduanya. Tapi kini kekesalan hatinya telah bercampur marah.
"Kisanak, maaf. Mungkin kau salah duga. Aku sama sekali bukan kekasih muridmu. Kami hanya berkawan biasa. !" tandas Ambarwati.
"He, apa katamu...?!" sepasang mata si orang tua mendelik garang.
Dan Pandir Kelana tampak kaget, langsung memandang Ambarwati dengan wajah tidak percaya.
"Ambar! Apa katamu? Kau kekasihku, dan aku kekasihmu. Bukankah kita telah berjalan bersama-sama? Kenapa kau berkata seperti itu di depan guruku? Ayo, jujur saja! Beliau tidak suka kau berpura-pura seperti itu!" desak Pandir Kelana.
"Bicara apa kau ini, Pandir Kelana?!" sentak Ambarwati menunjukkan perasaan tidak senangnya.
Mendengar itu, Pandir Kelana bukannya sadar. Dia malah mendengus geram seraya menuding ke arah Rangga yang tersenyum-senyum kecil melihat kejadian ini.
"Huh! Agaknya semua ini gara-gara kau, Kisanak! Kau telah merebut Ambarwati sehingga berpaling dariku!" desis Pandir Kelana Geram, lalu berpaling pada gurunya. "Guru! Lebih baik kau hajar pemuda sial itu! Gara-gara dia, maka Ambarwati bersikap seperti sekarang!"
"Pandir Kelana, jaga bicaramu! Kau semakin keterlaluan saja. Siapa yang mengatakan kalau di antara kita ada hubungan? Kita hanya kawan dan tidak lebih dari itu!" sentak Ambarwati kembali.
Tapi dasar berwatak aneh, kedua murid dan guru itu sama sekali tidak mempedulikan ocehan Ambarwati. Orang tua itu kini malah memandang tajam ke arah Rangga. Wajahnya berkerut geram, dan sesekali terlihat mendengus sinis.
"Hm.... Kau rupanya yang buat gara-gara, he?! Bocah, kau telah membuat hati muridku hancur. Dan siapa pun yang menyakiti muridku, akan berurusan denganku. Oleh sebab itu, kau harus mampus!" dengus orang tua itu.
"Sinting!" desis Ambarwati.
Tapi orang tua itu sudah langsung melompat menyerang Rangga. "Yeaaat...!"
"Guru! Aku pun harus mendapat bagian untuk menghajarnya!" teriak Pandir Kelana, ikut melompat pula membantu gurunya.
"Hm... Dasar orang-orang kurang waras!" dengus Rangga kesal setelah memperhatikan tingkah laku mereka tadi. Murid dan guru itu sebetulnya memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan yang cukup hebat. Kalau saja orang berkepandaian rendah, niscaya akan binasa dalam waktu singkat di tangan mereka. Serangan mereka kuat dan sama sekali tidak main-main. Begitu yang dirasakan Rangga, ketika menghadapi mereka saat ini.
Bet!
"Uts!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung memainkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' untuk menghadapi kedua lawannya. Tubuhnya meliuk indah seperti seorang penari. Dan kedua kakinya bergerak lincah silih berganti, mengecoh lawan-lawannya. Dan tongkat di tangan kedua lawannya sampai saat ini belum juga mampu melukai. Dan hal ini semakin membuat murid dan guru itu gemas serta penasaran sekali.
"Guru! Apakah kau tidak mampu menghajarnya? Ayo, pecahkan saja kepalanya. Bocah ini sombong sekali. Dan kalau Guru tidak memberinya pelajaran pahit, dia tidak akan pernah jera!" geram Pandir Kelana dengan nada kesal.
"Huh! Aku akan menghilang dari kalangan persilatan, jika tidak mampu membuat bocah ini mampus! Tidak usah ada nama Panji Untara di jagad ini!" desis orang tua yang mengaku bernama Panji Untara.
Ambarwati yang semula khawatir melihat kedua orang itu yang marah tidak karuan, lambat laun merasa geli sendiri. Karena Rangga mampu mengecoh kedua lawannya. Padahal gadis ini tahu dan bisa melihat kalau guru dan murid itu memiliki kepandaian hebat. Dan agaknya Rangga juga bukan pemuda sembarangan pula. Sebab tidak mungkin dia mampu menahan serangan kedua lawannya lebih dari tujuh jurus.
Tapi ketika Ki Panji Untara merubah jurus, mau tidak mau gadis itu merasa khawatir kembali. Sebab apa yang dilakukan Ki Panji Untara saat ini, seperti pertarungan antara hidup dan mati!
Sementara Rangga sendiri juga merasakan pertarungan ini memang telah meningkat. Ki Panji Untara tidak main-main dengan ucapannya. Baru saja orang tua itu mematahkan ranting di tangannya dengan hantaman tongkat maut. Melihat itu, Pandir Kelana tertawa kegirangan.
"Hahaha...! Bagus, Guru! Bagus...! Sebentar lagi bocah ini bakal mampus!"
"Kisanak! Jangan keterlaluan dan membesarkan persoalan! Mengingat nama besarmu, biarlah aku mengalah dan mengaku kalah. Kita bisa selesaikan persoalan ini baik-baik!" kata Rangga mengingatkan.
"Phuih! Tai kucing! Kau kira aku anak kecil yang bisa dibujuk? Setelah melukai muridku, lalu menghina kami. Maka tiada ampun lagi bagimu! Kau harus mampus...!" dengus Ki Panji Untara.
Rangga menggeleng lemah mendengar kata-kata orang tua itu. Tidak ada harapan lagi baginya untuk bicara baik-baik, sebab tekad orang tua itu agaknya sudah betul-betul. Maka....
Sriiing!
Seketika terlihat cahaya kebiruan ketika Pendekar Rajawali Sakti mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, dengan wajah geram. Kini pedangnya terlintang di dadanya. "Kisanak, kau boleh memulainya...!"
Sebaliknya begitu melihat batang pedang di tangan Pendekar Rajawali Sakti, Ki Panji Untara tersentak kaget. Rupanya dia tahu betul, siapa pemilik pedang yang amat mengagumkan ini. "Hei, pedang itu! Bukankah itu kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti...?!" desis Ki Panji Untara terkejut.
"Kau kira aku merebut pedang ini darinya, he?!" sahut Rangga dingin.
"Jadi..., kau adalah si Pendekar Rajawali Sakti itu?!"
"Begitulah orang menyebutku..."
Ki Panji Untara seperti tidak percaya dengan pendengarannya sendiri. Dan untuk sesaat, orang tua itu hanya bisa terdiam. Sedangkan muridnya menjadi heran melihat tingkah gurunya. Sama sekali tidak dirasakannya kehebatan pemuda itu, karena cerita mengenai Pendekar Rajawali Sakti baginya hanya dongeng belaka. Dan pedang di tangan Rangga, sama sekali tidak membuatnya aneh. Justru sikap gurunya yang tiba-tiba melunak dan kelihatan takut pada pemuda itu yang membuatnya aneh.
"Guru! Kenapa diam saja? Ayo, hajar bocah geblek itu! Hajar dia dan jangan diam saja...!" desak Pandir Kelana kembali.
"Dasar murid tolol! Diam kau...!" bentak Ki Panji Untara garang. "Kenapa tidak kau katakan kalau dia si Pendekar Rajawali Sakti, he?! Kenapa?"
"A..., apa maksudmu...?"
"Huh, pura-pura tolol!" Ki Panji Untara menggeram. Dan tiba-tiba saja tangannya melayang menampar muridnya.
Plok!
"Aouw! Ampun, Guru! Apa salahku? Kenapa kau memukulku...?!"
Plok! Plok!
"Adouw! Ampun, Guru! Ampuuun...!" Pandir Kelana jadi bingung sendiri, kenapa gurunya berubah begitu. Bukannya menjelaskan alasannya, tapi tamparan lagi yang didapat. Pemuda pengemis itu berteriak-teriak kesakitan dan melarikan diri dari tempat itu.
"Eee.... Mau melarikan diri, he? Awas kau! Awas, ya...!"
Ki Panji Untara segera mengejarnya tanpa mempedulikan Pendekar Rajawali Sakti dan Ambarwati yang berdiri dengan wajah heran. Kedua guru dan murid itu kini saling berkejaran!
"Dasar orang sinting!" desis Rangga pelan seraya menyarungkan kembali pedangnya.
"Kisanak! Apakah benar kau..., kau Pendekar Rajawali Sakti...?" tanya Ambarwati setelah beberapa saat terdiam.
"Kau telah mendengarnya sendiri, bukan...?"
Ambarwati mengangguk. "Maaf.... Karena kami, urusanmu jadi berantakan. Melihat kau terburu-buru, pasti ada urusan amat penting!" duga Ambarwati.
"Aku tengah mengejar Dewi Tangan Darah," jelas Rangga tenang.
"Dewi Tangan Darah? Oh, sungguh kebetulan! Aku pun sedang mencari wanita iblis itu. Maukah Kisanak mengajakku?"' tanya gadis itu dengan wajah berseri.
"Nisanak.... Dewi Tangan Darah bukanlah orang sembarangan. Kalau gurumu tewas di tangannya, berarti kau belum mampu membalaskan sakit hatinya. Tabahkanlah hatimu. Dan maaf aku tidak bisa mengajakmu. Nisanak, aku permisi dulu...!" sahut Rangga tegas.
Segera Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya. Begitu melompat ke atas punggung Dewa Bayu, kuda itu dipacu hingga melesat cepat bagaikan kilat dari tempat ini.
Ambarwati hanya bisa kesal dengan wajah geram atas jawaban Rangga. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Matanya hanya memandang kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan sorot sayu.

***

Seorang laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun tengah berdiri tegak di beranda depan padepokannya. Sementara dua orang lainnya tampak duduk di sebelah kiri, sedangkan lebih kurang dua puluh orang juga tengah bersiaga di halaman depan padepokan ini.
Wajah orang tua itu kelihatan gelisah. Namun dia berusaha menenangkan diri. Demikian juga kedua orang yang duduk di kiri dan kanannya yang rata-rata memiliki selisih usia tidak jauh beda. Yang seorang adalah wanita setengah baya bersenjata keris di tangan. Sementara yang seorang lagi adalah laki-laki bersenjata tombak bermata golok. Mata mereka tampak tidak lepas memandang jauh ke depan dengan telinga dibuka lebar-lebar.
"Ki Gandarwita.... Apa kau yakin dia akan datang hari ini?" tanya laki-laki bersenjata tombak, pada laki-laki yang berdiri tegak.
"Tanda telapak tangan berdarah itu tertera di pintu padepokan kemarin sore, Batara Wiraya! Dia pasti datang siang ini...!" sahut laki-laki yang berdiri itu, dan bernama Ki Gandarwita.
"Hm, dasar wanita iblis! Entah apa yang dicarinya dengan semua ini!" dengus wanita yang memegang keris.
"Sudahlah, Nyai Dimpa Amogya. Tidak usah dipersoalkan hal itu. Yang penting saat ini, kita harus bersatu-padu. Kepandaian Dewi Tangan Darah bukan main hebat, sebab dia telah menaklukkan banyak tokoh persilatan kalangan atas," sahut lelaki bersenjata tombak yang bemama Ki Batara Wirya.
Ki Gandarwita menghela napas pendek. Kemudian, dia kembali duduk di kursinya. Dipandanginya kedua orang itu beberapa saat. "Aneh...," desah Ki Gandarwita.
"Aneh kenapa?" tanya wanita bersenjata keris yang bernama Nyai Dimpa Amogya.
"Tidakkah kalian perhatikan korban-korbannya...?" Ki Gandarwita balik bertanya.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Ki Batara Wirya dengan dahi berkerut.
"Kebanyakan dari korbannya, adalah tokoh yang kita kenal baik. Hanya sedikit yang kurang kita kenal. Ataukah, ini hanya kebetulan belaka?"
Kedua kawan Ki Gandarwita terdiam seperti merenungi kata-katanya. Kemudian teriihat Ki Batara Wirya mengangguk pelan.
"Betul katamu, Ki. Kebanyakan tokoh yang tewas di tangannya, kita kenal baik. He, padahal masih banyak tokoh lain yang memiliki kepandaian hebat. Apa yang dicari wanita itu sebenarnya?" tanya Ki Batara Wirya seperti untuk diri sendiri.
"Aku jadi curiga...," kata Ki Gandarwita.
"Curiga kenapa, Ki Gandarwita?" tanya Ki Batara Wirya.
"Ingatkah kalian peristiwa beberapa puluh tahun silam? Peristiwa yang menimpa keluarga Ki Sapta Dewantara? Anak gadisnya diculik kawanan rampok yang diketuai Ki Bagaspati. Lalu ketika berhasil meloloskan diri, dia meminta bantuan pada kita! Namun tidak ada seorang pun dari kita yang bersedia. Lalu..., ah! Barangkali ini hanya kecurigaan-ku semata!" jelas Ki Gandarwita.
"He, bukan tidak mungkin, Ki!" seru Ki Batara Wirya. "Ki Bagaspati juga telah binasa di tangan Dewi Tangan Darah. Demikian pula sebagian besar anak buahnya. Bisa jadi memang anak itu!"
"Dan kalian ingin mengatakan kalau kedatangannya kali ini untuk membalas dendam atas sakit hatinya pada kita, karena tidak membantunya saat itu?" tanya Nyai Dimpa Amogya menduga.
"Hm, bisa jadi begitu!" sahut Ki Gandarwita.
"Hm.... Bagaimanapun dan siapa saja dirinya, yang jelas dia akan mengancam keselamatan kita! Lalu, sudah sepatutnya kita membela diri. Dan kalau dia sudah kelewatan, tidak ada jalan lain. Kita terpaksa harus membunuhnya!" tandas Ki Batara Wirya.
Mendengar itu Nyai Dimpa Amogya tersenyum kecil. "Bicaramu sudah seperti penguasa saja. Apa dikira mudah membunuh Dewi Tangan Darah? Heh! Wanita iblis itu telah membunuh lebih sepuluh tokoh silat yang memiliki kepandaian hebat. Dan beberapa perguruan silat ternama binasa di tangannya."
"Hm.... Agaknya kau merendahkan kemampuan sendiri, Nyai...," sindir Ki Batara Wirya.
"Begitukah? Aku hanya sekadar memberitahukan kalau kekuatan lawan tidak bisa dianggap enteng. Kelemahan yang paling utama adalah, menganggap enteng lawan. Dan itu bisa mencelakakan diri sendiri," kilah Nyai Dimpa Amogya. Ki Batara Wirya belum sempat menyahut, ketika dari kejauhan terdengar bunyi klenengan yang sayup-sayup.
Teng...! Teng...!
"Hm ... Dia telah tiba...," gumam Ki Gandarwita.
Orang tua itu segera memberi isyarat pada seluruh muridnya untuk bersiap-siap menyambut kehadiran tamu yang ditunggu-tunggu.
Teng! Teng...!
Suara klenengan itu semakin dekat saja terdengar. Wajah semuanya tampak gelisah seperti menunggu suatu bencana hebat yang akan menimpa. Tapi siapa pun menyadari kalau mereka tidak patut menunjukkan rasa takutnya.
"Buka pintunya...!" teriak Ki Gandarwita, ketika merasa kalau tamu yang ditunggu tiba di pintu gerbang.
Dua murid melakukan perintah Ki Gandarwita. Dan kini di dekat pintu gerbang terlihat seorang wanita cantik menunggang seekor kuda yang di lehernya terikat sebuah klenengan sapi. Wanita yang berpakaian seronok itu diam mematung sambil memandang tajam ke depannya. Lalu matanya terpaku pada ketiga orang tua yang berdiri tegak di halaman depan. Kemudian terlihat kepalanya mengangguk kecil sambil tersenyum dingin. Dan kini tunggangannya melangkah pelan mendekati.
"Hm.... Agaknya kau telah mempersiapkan segalanya. Bagus. Aku jadi tidak perlu berlama-lama membereskan kalian semua. Sekali tepuk, maka tiga nyawa yang terpenting akan melayang!"

***

144. Pendekar Rajawali Sakti : Telapak KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang