Just a Reason

23 1 0
                                    

Gendis merasakan dunianya berhenti. Kala sosok yang dicintainya diam-diam bertemu dengan perempuan yang pernah menjadi masa lalunya, tanpa sepengetahuan dirinya. Bergegas Gendis menuju mobil di mana ia parkir, dengan langkah gontai.

Gendis segera melajukan mobilnya tanpa tujuan, menembus dinginnya Malang yang tak ia hiraukan lagi. Terlihat beberapa pohon tumbang di trotoar akibat hujan dan angin di sepanjang jalan, jalanan porak poranda, seperti hatinya saat ini.

"Aku harus ke mana ini, Ya Allah?" batinnya. Gendis tak mau pulang, hatinya mencelos melihat peristiwa tadi.

Perlahan netranya menyusuri huruf demi huruf dalam layar. Teringatlah pada satu nama, Mbak Ratna, sahabat Gendis sekaligus teman kuliah Ndaru. Diputarnya mobil putih kesayangan menuju rumah Ratna.

"Gendis? Malam-malam begini ada apa kemari? Mana Andaru?" Begitu Gendis sampai, Ratna langsung celingukan dan memberondong dengan sejumlah pertanyaan.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Mengganggu tidak?" Gendis memeluk tubuh ramping sahabatnya itu.

"Waalaikumsalam, tidak apa-apa, ayo masuk, ada apa toh kok ke sini sendirian?"

Akhirnya Gendis menceritakan apa yang barusan ia alami. Bukan maksud membeberkan aib suaminya, bukan itu, Gendis butuh alasan yang tepat supaya Ratna mau menerimanya malam ini.

"Mbak, aku belum salat Isya."

"Ya wes langsung saja masuk," ujar Ratna. "Ndis, Kamu sudah makan?" Gendis menggeleng. "Habis salat kita makan bareng."

Saat ini yang dibutuhkan Gendis adalah mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Ia merasakan penat di tubuh dan pikiran. Ditumpahkannya segala rasa dan luka yang menumpuk. Ia ingin sebuah kedamaian.

"Sudah selesai, Ndis?" tanya Ratna saat Gendis keluar dari musala.

"Sampun, Mbak."

"Makanlah dulu, habis itu kita bercerita." ajak Ratna.

"Mbak Ratna nggak menghubungi Mas Ndaru, kan?" tanya Gendis setelah selesai aktivitas makan malam.

"Kenapa? Kamu ingin denger suaranya? Atau jangan-jangan kamu sudah kangen?" ucap Ratna

"Mbak Ratna kok gitu?'

"Ya dimaafkan saja, Ndis. Apa yang kamu lihat, bukan berarti itu kebenarannya." Mbak Ratna berusaha meyakinkan. "Oiya kamu boleh tidur di sini malam ini."

"Terima kasih ya, Mbak."

🍃🍃🍃

Malang, Pukul 23.30 WIB
Ndaru berjalan ke sana ke mari, memikirkan tentang Gendis, perempuan yang baru ia nikahi. Pulang dari luar kota, ia tak menemukan istrinya di rumah. Tanpa pertengkaran, Gendis hilang bagai ditelan bumi.

Tiba-tiba gawainya berbunyi nyaring, sebuah pesan dari Ratna membuat hatinya bergejolak.

[Gendis bersamaku, tenanglah. Biarkan dia bermalam di sini]

"Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah, Engkau jawab do'a hamba." Tidak butuh lama, Ndaru menuju rumah Ratna, ia ingin memastikan bahwa kekasih hatinya baik-baik saja.

"Assalamu'alaikum." Ndaru mengetuk pintu depan rumah Ratna. Dalam hitungan menit, terbukalah pintunya. "Mana Gendis, Rat?"

"Wa'alaikumsalam, jangan berisik, dia tak tahu aku mengirimimu pesan, sekarang masuklah."

Ndaru menurut apa yang Ratna bilang, ia hanya ingin segera bertemu dengan Gendis, titik.

"Ndis, Gendis, sudah tidur kah?" Ratna mengetuk pintu kamar tamu miliknya.

"Belum, Mbak," ia beranjak dan dibukanya pintu kamarnya itu.

"Ndis, jangan marah sama mbak, ya?" tukas Ratna saat pintu telah terbuka. "Mas Ndaru ada di sini, ia di ruang tengah," imbuhnya. Gendis mengangguk maklum. Ia melangkah menuju ruang keluarga.

"Ndis, kita pulang, yuk. Hape kamu kenapa? Kok nggak bisa di telpon? Aku bingung nyariin kamu."

"Apa iya masih menganggap aku sebagai istri kamu, Mas?"

"Apa salahku hingga kamu tega bilang begitu? Aku baru sampai dari luar kota, Ndis, aku ... tak tahu ada apa."

"Jangan bohong, Mas, bukannya kamu berduaan sama .... ," Gendis menggantung ucapannya.

"Sama siapa? Mona maksudnya?"

Kali ini, mendung di mata Gendis telah menjadi rintik hujan deras. Tak sanggup ia menahannya lagi.

"Maaf, Sayang, aku belum sempat cerita ke kamu. Tadi, sepulang dari Jakarta, Mona memberiku kabar bahwa, ia dan suaminya ingin menjalin kerja sama dengan aku. Mereka akan menanam modal di bisnis property yang aku jalankan." Ndaru mencoba menjelaskan dengan hati-hati. Ia bersimpuh di hadapan Gendis.

"Apa itu benar? Mas Ndaru tidak bohong kan?"

"Kalau kamu tidak percaya sama aku, tak mengapa. Aku hanya menyampaikan kebenarannya. Itu saja."

Gendis menatap nanar pria di hadapannya. Setelah itu keduanya terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Ndis, percayalah! Aku ingin pernikahan kita menjadi berkah," ucap Ndaru sambil mengusap lembut tangan bidadari nya.

GENDISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang