Jealous Guy

24 1 0
                                    

"Mau kemana? Sekali-sekali bangun siang ga papa, kan?" tanya Andaru kala melihat Gendis beranjak dari peraduannya.

"Habis salat Shubuh dan tilawah, apa tidak sebaiknya kita jalan-jalan?" ucap Gendis sambil merapikan hijab tosca yang ia kenakan.

"Hari ini aku kan libur? Temani Mas mu ini bermalasan dong, Sayang," rajuk Ndaru sambil mencebik.

"Apaan ih? Mau nyuci dulu, Mas. Malu sama mentari." Gendis beringsut kemudian menuju ruang laundry sambil tertawa.

Andaru, pria yang kini menjadi belahan hatinya, bukanlah orang asing bagi Gendis dan keluarganya. Sejak dirinya masih duduk di SMU, ia telah mengenal Ndaru dengan baik. Mereka bukanlah menjalin kasih, tetapi ayah Gendis mengajak Ndaru untuk bekerja sama di bidang property. Pak Reza, nama ayah Gendis, punya keyakinan kuat, bahwa Ndaru punya bakat istimewa.

Gendis mulai memilah baju dan celana kotor, lalu ia masukkan ke dalam mesin cuci dan menambahkannya beberapa sendok detergen. "Oiya, kemeja Mas Ndaru yang dipakai semalam ketinggalan," gumamnya.

Dengan mengendap- ngendap, karena takut mengganggu suaminya, Gendis mengambil sebuah kemeja navy di gantungan pojok kamar.

"Mas Ndaru, kamu di mana? Halo, Mas?"

"Aku lagi mandi, Sayang."

"Baiklah," tukas Gendis.

Tiba-tiba terdengar dering panggilan dari gawai hitam milik Ndaru.

"Mmmona?" sebuah nama terlihat jelas pada layar.

Ingin hati menekan tombol hijau supaya dirinya tahu, hal apakah yang membuat seorang Mona harus menelepon suaminya sepagi ini. "Ah, bukan urusanku."

Gendis tak ingin turut campur urusan suaminya terlalu jauh. Ia harus bisa memberi ruang supaya lelaki itu nyaman dengannya.

Sambil menunggu cucian selesai, Gendis menuju lemari es. Dikeluarkannya lima ekor ikan panggang, dan sejumlah bumbu yang diperlukan.

Bawang merah, bawang putih, cabe keriting telah siap dihaluskan. Tinggal cabe rawit yang belum.

Tiba-tiba, sekelebat bayangan Mona muncul dihadapannya. Sungguh, hati Gendis masih sakit. Ia belum bisa sepenuhnya menerima kalau Mona dan Ndaru menjalin kerja sama.

Dua belas cabe rawit ia haluskan bersama bumbu lainnya. Sebenarnya Gendis tahu bahwa, Ndaru paling benci rasa pedas. Namun, untuk kali ini, ia melakukannya karena perasaannya terlalu sakit.

Setengah jam kemudian,
"Mas, sarapannya sudah siap."

"Iya, Sayang," ucap Ndaru sambil mencubit pipi istrinya.

Dua kali centong nasi mendarat di piring Ndaru.

"Ini dia! Ikan panggang bumbu pecel spesial ala Gendis!"

"Wah mantab nih!" Tanpa menunggu lama, Ndaru mulai menghabiskan isi piringnya.

"Minum ... minum, hah! Pedas sekali, Yang," dengan muka memerah, Ndaru meminum secangkir teh yang dibuat Gendis.

"Yess! Aku menang!" batin Gendis. Senang rasanya ia mempermainkan Ndaru.

Di tengah Ndaru berjuang menghilangkan rasa pedas yang menderanya, sebuah panggilan dari Mona tampak di gawai miliknya.

Gendis tak bisa mendengar dengan baik. Hanya samar-samar sebuah kata meeting yang bisa ia tangkap.

"Sayang, bagaimana ini? Aku lupa kalau ada janji sama Mona dan suaminya. Kalau kemarin kita mengagendakan meeting pagi ini."

"Terus?" tanya Gendis.

"Perutku sakit sekali. Mana mungkin aku ke sana? Padahal kita akan mendapat sebuah proyek dengan nominal tidak sedikit," jelas Ndaru panjang lebar.

"Whats'? Apa benar, Mas?"

GENDISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang