maaf karena sudah lama tidak update
***
Brumm..
Suara deruh motor berhenti, aku yang sedang menunduk langsung menaikkan kepalaku dan melihat kearah sekitar. Di depanku sudah berdiri rumah dua tingkat yang terasa familiar, aku jadi bisa bernapas lega karena sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi saat badanku menghadap ke depan pintu rumah, raut mukaku langsung berubah datar. Kenapa harus ada kakak beradik itu yang menungguku disana? Keduanya berhasil membuat mood-baikku hilang begitu saja. Sedangkan Alvin yang sudah turun dari motornya melihatku sambil mengernyit, "Gak turun?"
"Males," jawabku seadanya, sambil melihat kearah lain.
"Yaudah, awas aja lu kehujanan terus sakit. Gak ada yang mau ngurusin lu," ancam Alvin padaku. Cih, dasar cowok tidak peka! Tapi kalo di pikirkan dia ada benarnya juga. Kalau aku sakit, tidak akan ada orang yang mengurusku. Karena orangtuaku sibuk dengan urusannya, dan kedua saudara laki-lakiku tidak bisa di harapkan. Aku menghela napas pasrah sambil menatap langit-langit diatasku yang sudah berwarna abu tua. Dengan berat hati aku memilih untuk mengikuti Alvin masuk ke dalam rumah, daripada aku nanti basah di guyur hujan.
"Kak!" Ken langsung antusias memanggilku saat aku lewat di sampingnya, tapi dengan sengaja tidak kugubris sapaannya, biar ia tau rasa. "Kak Fasa ngambek ya?" tanya Ken. Dasar, bocah itu tau tapi masih bertanya.
Ethan mengunci pintu rumah saat aku, Alvin, dan Ken sudah duduk rapi di ruang keluarga. Alvin langsung menghidupkan TV lalu menonton berita hari ini seperti biasa yang ia lakukan setelah pulang sekolah, aku pun tidak mengerti kenapa cowok itu suka sekali menonton berita.
Kulihat Ethan datang menghampiri kami dengan raut muka serius, ia duduk di sofa-di sampingku, tapi aku otomatis menggeser tempatku menjauh darinya. Ethan mendengus, "Gue tau lu lagi ngambek, Fas," katanya. Aku menoleh sambil menatap lurus kedua bola matanya, mencoba mengintimidasi.
"Gue minta maaf.. Udah ninggalin lu," kata Ethan dengan nada bersalah.
"Alasan?" tanyaku bak ibu-ibu penjabat, sambil menaikkan kakiku ke kaki satunya.
Ethan tidak menjawab, ia langsung terdia, setelah aku bertanya seperti itu. Aku yang tadinya masih ingin mempermainkannya jadi mengubah posisi dudukku lalu menatapnya serius, seakan meminta penjelasannya. Tapi cowok itu masih tidak mau angkat bicara, kalau sudah seperti ini aku hanya bisa meminta pertolongan Ken. "Ken? Ada yang mau lu omongin gak sama kakak?"
Ken yang tadinya masih santai, badannya langsung gemeteran. Melihat itu, aku punya firasat tidak bagus tentang hal ini. "Alvin, lu tanya Ethan sambil bisik-bisik aja, mungkin dia takut kalau harus ngomong. Tapi habis itu beritahu gue," bisikku pada Alvin.
Cowok itu menurut, dan sibuk berbisik-bisik dengan Ethan di depanku. Setelah beberapa menit, raut muka Alvin berubah datar, persis dengan raut muka Ethan tadi, membuatku tambah penasaran. "Apa? Jangan bikin gue kepikiran...!!" tanyaku geram.
Alvin menatap kedua bola mataku intens. Aku menatapnya balik, bersiap mendengar jawabannya. "Ada penghianat," jawabnya tepat di depanku. Hanya dua kalimat, tapi berhasil membuatku nyaris tak berkedip. Setelah itu, bayangan masalalu tiba-tiba menghunjam pikiranku. Dengan berusaha aku bersifat netral di depan mereka.
Ehem, aku berdeham. "Sebelum makan malem kita semua harus udah kumpul disini! Gue bakal kabarin Mia sama Exa juga biar lengkap. Ngerti?" ucapku dengan penuh penekanan di depan ketiganya. Mereka tidak ada yang membantah perkataanku, langsung mengangguk patuh.
"Sekarang gue mau tidur, jangan ada yang ganggu,"
Sambil menenteng tas ransel sekolah, aku berjalan menuju kamarku di lantai dua. Sejujurnya, sedari tadi aku terus menahan kantuk yang sudah beberapa kali hampir membuat mataku terpejam. Ini semua berawal saat aku di bonceng Alvin, angin sepoi-sepoi tadi jadi berasa tambah nikmatnya. Untung saja aku tidak jadi tidur di punggung cowok itu tadi. Kalau tidak, hanya akan ada mayatku yang tergeletak di tengah jalan. Hati cowok itu telah mati.
Memikirkan Alvin, entah kenapa membuatku lapar. Aku baru ingat, belum makan siang hari ini. Segera saja aku memunculkan kepalaku di tangga, lalu dengan sigap mataku tertuju pada dapur di bawahnya. Ada Ethan disana, sedang sibuk seperti sedang menyiapkan sesuatu. Padahal aku tahu sekali, cowok itu tidak pandai memasak. Lalu aku berniat untuk memanggilnya, bertanya padanya tentang lauk makan siang hari ini. Tapi sepertinya ia tidak mendengariku. Dengan geram, aku memanggil lagi untuk kedua kali. "Woi budek!"
"Hah?" kali ini Ethan mendongak, menatapku dengan tatapan bingung. Tiba-tiba aku jadi lupa tujuanku dan berusaha mengingatnya, "Oh ya, ada lauk apa?" tanyaku sesaat ingatanku kembali.
"Hmmm... Cuma terong,"
Aku melongo setelah mendengar jawaban cowok itu. Terpaksa siang ini aku tidur dengan kondisi perut keroncongan. Lalu suara Ethan membuyarkan pikiranku, "Mau? Ntar gue anterin ke kamar lo, soalnya udah dingin. Ini makanan sisa tadi pagi,"
Oh, betapa lengkapnya ketidak beruntunganku hari ini. Tentu saja aku menolaknya, "Gak jadi deh, tiba-tiba kenyang,"
"Yaudah."
