Malam itu, Gigs Ketiga

119 10 2
                                    

Rendezvous

Rendezvous

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

----

Saya benci asap rokok.

Seringkali saya harus menghindari kerumunan penonton yang rata-rata semuanya menghisap nikotin. Malam semakin gelap, tapi justru stadion Gajayana semakin penuh sesak oleh massa. Gigs lokal kali ini menggaet jajaran musisi lokal yang sedang naik daun dan digemari sejumlah anak usia 17 tahun ke atas. Name tag yang menggantung di leher saya, beserta baju PDH hitam andalan event organizer kami menjadi penanda bahwa saya adalah orang yang turut bertanggung jawab dalam acara kali ini. Menjadi salah satu bagian dari tim imperseriat membuat saya belum bisa duduk barang semenit sedari sore gerbang tiket dibuka.

Saya merasakan mata saya berkunang untuk sepersekian detik.

Bisa gawat kalau sampai anemia saya kambuh.

"Mbak? You okay?" Suara seseorang yang saya kenal membuat kesadaran saya kembali. Kaluna —salah satu tim imperseriat juga, memegangi lengan saya agar keseimbangan saya tetap terjaga.

"Mbak kalau nggak sehat langsung ke tenda kesehatan aja. Aku antar ya?" Ujarnya lagi ketika saya hanya diam tanpa mengucap kalimat apapun.

Bau asap rokok ditambah dengan kerumunan yang semakin sesak membuat napas saya sedikit tersenggal. Puncak acara akan segera mulai, dimana salah satu DJ ibu kota yang menjadi penutupnya. Saya yakin kalau saya nggak segera mundur dari sekarang pasti saya bisa ambruk dan terinjak massa.

"Yuk, mbak. Aku antar aja, bisa bahaya kalo Mbak Kina jatuh disini." Kaluna terlihat cemas karena saya tidak kunjung menjawab ucapannya. Bukan karena saya tidak bisa, tapi fokus saya buyar mendengar teriakan penonton yang semakin menjadi, turut menyanyikan bait lagu dari Hindia.

Kaluna beneran mengajak saya ke tenda kesehatan, mungkin anemia saya beneran kambuh dan wajah saya pasti pucat. Disana ada satu petugas yang berjaga dan ketika melihat saya dipapah masuk oleh Kaluna dia langsung berdiri sigap mempersilahkan saya untuk duduk.

Cecilia, nama tim medis yang bisa saya lihat dari name tag yang menggantung dilehernya.

"....Akina ya? Imperseriat?" Tanyanya memastikan, setelah membaca name tag yang sengaja saya lepas dan saya letakkan di kursi kosong sebelah.

Saya mengangguk pelan. Seperti nggak ada tenaga untuk sekedar berkata, "iya".

"Mbak Akina aku tinggal nggak apa-apa ya?" Tanya Kaluna pelan sambil memegang tanganku yang dingin.

Sebelum membuat Kaluna semakin khawatir karena saya tidak menjawabnya sedari tadi, akhirnya saya menguatkan diri untuk tersenyum, "nggak apa-apa, Lun. Makasih ya."

AB IMO PECTORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang