Bawa Aku Pulang | 1

924 27 1
                                    

By a True Story

--

Ponselku bergetar. Layarnya menyala terang. Nama Widya muncul di sana.

"Za. Belum tidur?" Tanyanya dalam pesan itu.

Aku melirik jam yang terdapat di sudut kanan atas layar ponsel, mendapati kini sudah jam dua pagi. "Belum, kenapa, Wid?" Aku bertanya balik.

"Temenin gue teleponan dong! Gue enggak bisa tidur, nih."

Sebenarnya, walau berada di kamar, aku sedang sibuk bekerja dengan komputerku. Namun, sejak mengenalnya delapan tahun lalu, aku selalu saja tidak bisa menolak permintaannya.

"Oke." Balasku singkat sebelum akhirnya ponselku berbunyi, ada telepon masuk darinya.

"Masih kerja?" Terdengar suaranya di sebrang sana.

"Udah selesai, kok." Aku terpaksa berbohong. Padahal, aku mengesampingkan pekerjaanku untuknya. "Kenapa? Kok susah tidur? Emangnya mikirin apaan?"

"Enggak tau, nih. Akhir-akhir ini, rasanya susah banget tidur cepet."

"Lu kebanyakan tidur siang kali?

"Bisa jadi, sih. Soalnya gue tidur bangunnya agak siang. Hahaha. Omong-omong, gue ganggu, enggak?"

"Ganggu? Enggak, kok."

"Emang lu lagi di mana, Za?" Tanyanya.

"Di kulkas."

"Hahaha." Ia tertawa. Aku selalu suka mendengar tawanya. "Serius ih! Lu lagi di mana?"

"Di rumah, Wid. Kenapa, sih?"

"Gapapa, nanya aja." Balasnya. "Oh iya, selain kerja, lu sibuk apa lagi deh akhir-akhir ini, Za?" Tanyanya padaku.

Entah apa jawabanku atas pertanyaan itu. Yang jelas, aku bicara dengannya cukup lama. Mulai dari membicarakan soal kesibukan selain pekerjaan, sampai akhirnya membicarakan masa-masa SMA, dulu.

Iya, Widya adalah temanku saat masih SMA. Aku mengenalnya sejak delapan tahun lalu. Aku ingat bagaimana aku mulai mengenalnya waktu itu.

--

"Reza." Panggilnya. "Gue boleh nebeng, enggak?" Kata Widya sore itu, selepas rapat organisasi osis di sekolah.

"Nebeng? Emang rumah lu di mana?"

"Di Cinere."

Aku terdiam sebentar karena menyadari rumahnya cukup jauh dan tidak searah denganku. Namun, aku kasihan melihatnya yang sejak tadi terduduk di kursi dekat perpustakaan.

"Boleh." Kataku sambil memberikannya sebuah helm. Kebetulan aku selalu mebawa dua helm untuk jaga-jaga. Terkadang aku tidak langsung pulang, dan jika pergi ke suatu tempat bersama teman, aku selalu menyuruh temanku untuk mengenakan helmku itu.

Walau aku tahu rumah Widya cukup jauh, aku tetap mengantarnya sebab kasihan melihatnya seorang diri.

"Lu biasanya pulang naik apa, Wid? Tanyaku dengan sedikit menoleh ke arah kiri. Saat itu aku sedang fokus mengendarai sepeda motorku.

"Biasanya dijemput cowok gue."

"Siapa?"

"Yusuf."

"Oh, enggak satu sekolah sama kita?"

"Enggak, dia sekolah di tempat lain."

"Sekarang kok enggak dijemput cowok lu? Dia lagi Sibuk?"

"Enggak."

"Terus?"

"Gue udah dua hari putus sama dia." Terdengar suaranya samar-samar.

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang