Waktu berjalan. Setelah beberapa bulan selalu setia mengantar Widya pulang ke rumahnya. Malam ini, Widya mengajakku untuk menemaninya pergi ke pesta pernikahan kakak salah satu sahabatnya.
Awalnya aku enggan untuk menemaninya. Namun, sebagaimana yang kukatakan sebelumnya. Aku tidak pernah bisa menolak permintaan Widya. Entah, aku kasihan jika melihatnya harus pergi seorang diri tanpa teman. Walau aku malas pergi ke pesta pernikahan, tapi aku tetap mengiyakannya.
Dan malam ini, aku pergi dengannya, mengenakan sepeda motorku. Menuju sebuah gedung yang tidak terlalu jauh dari rumah Widya.
Malam itu, Widya cantik sekali. Ia merias wajahnya, juga mengenakan dress panjang berwarna biru tua. Aku suka sekali melihatnya mengenakan dress itu. Wajahnya cantik, rambutnya yang panjang terurai dengan indahnya.
Di sana, aku bertemu dengan sahabatnya Widya. Berkenalan, dan bicara sedikit soal siapa aku, dan bagaimana bisa aku mengenal Widya. Obrolan yang sepertinya akan selalu terjadi jika pergi ke pesta pernikahan dan bertemu dengan orang baru.
Namun, ada hal yang sedikit membuatku canggung. Saat sahabatnya Widya memperkenalkanku pada temannya yang lain. Ia katakan, aku adalah kekasih dari Widya. Aku terdiam saat itu. Widya juga hanya tersenyum saat sahabatnya bicara seperti itu. Sama sekali tidak ada sanggahan. Sehingga aku juga tidak menyanggah perkataan sahabatnya itu.
Setelah itu aku jadi lebih sedikit bicara. Rasanya malu untuk bicara dengan teman-teman Widya yang lain. Aku bingung. Memikirkan apa yang harus aku katakan pada mereka. Apakah aku harus berterus terang bahwa aku bukan kekasih dari Widya. Atau aku harus diam saja sampai pulang dan meninggalkan mereka?
Entahlah. Aku lebih memilih diam. Biarkan mereka mengira bahwa aku kekasih dari Widya. Biarkan mereka mengira seperti itu. Setidaknya setelah meninggalkan gedung ini, aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi. Sehingga terserahlah bagaimana pikiran mereka.
Akhirnya setelah dirasa cukup lama di sana, Widya pamit pada teman-temannya untuk pulang. Aku ikut pamit dan pergi meninggalkan mereka.
"Maaf ya, Za?" Kata Widya saat kami tiba di parkiran motor.
"Maaf kenapa?" Tanyaku heran.
"Maaf temen gue ngiranya lu pacar gue."
Apa yang sedari tadi kupikirkan, ternyata juga Widya pikirkan.
"Hahaha." Aku hanya tertawa sebab bingung harus bicara apa.
"Padahal gue enggak bilang apa-apa soal lu, Za."
"Biarin ajalah, Wid. Emang biasanya orang kalo kondangan, sama pacar. Kebetulan lu ngajaknya gue, ya wajar kalo mereka ngiranya kita pacaran."
"Hahaha iya, ada-ada aja."
"Hahaha."
"Gue sebenernya kaget pas temen gue bilang lu pacar gue. Terus gue bingung harus ngomong apa. makanya gue diem aja."
"Gue juga kaget."
"Yaudah, yuk pulang."
"Ayo, naik." Balasku sambil menyalakan sepeda motorku.
Widya menaiki sepeda motorku, lalu aku menjalankannya perlahan.
"Lu ngajakin gue kondangan, emangnya lu enggak ada cowok yang lagi deket buat diajak?" Tanyaku di perjalanan.
"Yang deketin gue, sih, ada beberapa."
"Terus?"
"Tapi gue males. Gue pengennya sama lu aja."
"Kenapa males sama mereka, tapi enggak males sama gue?"
"Gue belum pernah jalan sama mereka. Kalo sama lu kan udah sering. Udah santai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawa Aku Pulang (End)
RomanceBy a True Story Tentang dua anak muda yang menghabiskan waktunya bersama di masa putih abu-abu. -- Ponselku bergetar. Layarnya menyala terang. Nama Widya muncul di sana. "Za. Belum tidur?" Tanyanya dalam pesan itu. Aku melirik jam yang terdapat di s...