Bawa Aku Pulang | 8

192 11 1
                                    

Suatu hari, Osis mengadakan sebuah acara tabilgh akbar. Aku, Widya dan teman-teman satu organisasi sibuk menyiapkan acara itu. Mulai dari rapat sepulang sekolah untuk membicarakan soal konsep dan acara, sampai membicarakan soal dekorasi. Hingga hari-hari aku lewati bersama teman organisasiku, dan mengantar Widya saat sore sudah mendekati malam.

Namun, walaupun lelah, aku tetap senang. Sebab bersama dengan teman-temanku, bersama dengan Widya dan orang-orang lain yang ada di organisasi osis. Hingga kebersamaan kami semakin erat, dan membuat kami semakin mengenal satu sama lain.

Hingga setelah kegiatan tabligh akbar selesai, aku mengantar Widya pulang ke rumahnya.

"Za." Katanya saat aku sedang fokus mengendarai sepeda motorku.

"Kenapa?"

"Lu nyadar, enggak. Ada yang suka sama lu?" Tanyanya.

Sebenarnya aku menyadari hal itu. Di antara teman-temanku di organisasi osis, ada beberapa perempuan yang sering mengirimiku pesan. Ada yang sering menanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk ditanyakan. Bahkan, sebenarnya ia bisa menanyakan hal tersebut pada orang lain.

Namun, aku meresponnya. Membantu menjawab apa yang ia tanyakan. Bukan maksud ingin meladeninya, dan membalas perasaannya. Namun hanya ingin bersikap baik pada teman-temanku. Aku menyadari bahwa Nisa teman seangkatanku, dan Ghea, adik kelasku sepertinya menyukaiku.

"Siapa?"

"Emangnya lu enggak nyadar?"

"Hmm... Enggak."

"Diana pernah cerita, kalo dia suka sama lu."

Aku terkejut bukan main saat mendengar nama Diana. Aku memikirkan Farhan, temanku. Bagaimana bisa Diana menyukaiku? Padahal aku jarang sekali bicara denganya. Jarang sekali ada urusan dengannya.

Selama ini, aku hanya berurusan dengan teman-teman yang penting. Tidak dengan Diana, temanku yang sangat pendiam. Bagaimana mungkin ia menyukaiku?"

"Hahaha. Mana mungkin?"

"Gue serius, Za."

"Buktinya apa?"

"Orang dia sendiri yang ngomong sama gue!" Balas Widya sedikit kesal.

"Kok bisa dia tiba-tiba suka sama gue? Gue aja jarang ngobrol?"

"Lu emang lupa? Beberapa bulan lalu pas acara pensi. Lu pernah bawain tas dia?"

"Waktu pensi?" Kataku seolah bicara pada diriku sendiri. Aku mengingat-ingat kejadian itu. "Ya Allah! Waktu itu dia dokumentasi kan? Dia sibuk bawa kamera, foto-fotoin acara. Tapi dia kaya ribet banget soalnya bawa ransel juga. Terus gue ambil, biar gue yang pake tasnya."

"Ya itu."

"Cuma gara-gara itu dia bisa suka sama gue?"

"Perempuan emang gampang banget kebawa perasaan, Za. Wajar kalo Diana bisa langsung suka sama lu. Selain lu baik, mungkin dia suka karena emang lu ganteng juga, Za."

"Ah enggak percaya gue. Kalo perempuan gampang kebawa perasaan? Kenapa lu enggak? Kenapa lu masih tetep suka sama Yusuf?"

Widya terdiam saat itu. Dan aku ikut diam, tidak berani bicara lagi. Mungkin perkataanku salah. Mungkin aku menyakiti perasaannya. Hingga sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Kami tidak lagi bicara.

Sesampai di rumahnya, Widya turun dari sepeda motorku.

"Mau mampir, enggak?" Tanyanya.

Sebenarnya aku cukup lelah, dan ingin cepat-cepat merebahkan tubuhku di atas kasurku. Tapi, setelah tadi aku merasa salah ngomong. Sepertinya aku harus mampir dulu, dan memperbaiki apa yang sudah kulakukan. Aku harus meminta maaf padanya sebab sudah menyinggung perasaannya.

"Boleh." Kataku. Aku segera memarkirkan motorku, dan ikut masuk ke dalam rumahnya.

Widya pergi ke dapur, lalu kembali ke ruang tengah dengan membawa dua gelas air minum.

"Diminum, Za." Katanya.

"Maaf ya, Wid."

"Maaf apa?"

"Maaf kalo tadi omongan gue nyakitin."

"Gapapa, Za. Santai."

"Gue enggak maksud ngomong gitu. Gue cuma kaget aja. Kok bisa Diana suka sama gue cuma gara-gara hal sekecil itu."

"Kan tadi udah gue bilang, Za. Perempuan emang kadang suka begitu. Wajar kalo Diana suka sama lu."

"Gimana, ya, Wid."

"Gimana apanya, sih?"

"Gimana caranya supaya Diana berhenti suka sama gue, tanpa gue nyakitin perasaannya?"

"Santai aja, Za. Diana kan pendiem. Dia enggak bakal deketin lu. Paling dia pendem sendiri perasaannya. Emangnya selama ini dia pernah gitu deketin lu?"

"Enggak pernah."

"Yaudah, enggak usah lu pikirin. Biarin aja. Nanti juga lama-lama perasaannya ilang sendiri." Balas Widya. Perkataannya cukup menenangkanku. Widya menenangkanku dari ketakutanku menyakiti perasaan Farhan yang selama ini menyukai Diana.

"Za." Panggilnya saat aku masih terdiam karena memikirkan soal Farhan.

"Iya?"

"Selain soal Diana. Sebenernya ada lagi yang pengen gue omongin."

"Apaan, Wid?"

"Gue udah nemuin pengganti Yusuf."

"Demi apa? Bagus dong!"

"Iya, bagus."

"Setelah sekian lama, akhirnya gue bisa lupa sama Yusuf, Za. Dan yang bisa gantiin Yusuf di hati gue juga orangnya baik."

"Iya, setelah sekian lama. Akhirnya ya, Wid. Siapa orangnya, Wid?" Tanyaku dengan semangat. Widya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bicara:

"Yang lagi duduk di depan gue."

Aku segera menengok sekelilingku. Di ruang tengah rumah Widya sore itu hanya ada aku dan Widya. Tidak ada orang tuanya, tidak ada kakak-kakaknya. Benar-benar hanya kami berdua.

"Lu bercanda, ya?" Tanyaku.

"Gue serius."

"Gu- Gue?" Tanyaku terbata-bata.

Widya hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya. Senyuman yang bisa saja membuat banyak laki-laki lain seketika jatuh cinta dengannya.

Sayangnya, aku tidak mencintai Widya. Aku masih mencintai seseorang yang sudah kujelaskan tadi. Temanku saat masih SMP. Sejak dulu, belum ada yang bisa menggantikan posisi Fira di dalam hatiku. Walaupun waktu terus berjalan, walau perempuan di lingkunganku silih berganti, nyatanya perasaan tidak pernah bisa dipaksakan. Aku masih mencintainya.

Entah. Mungkin, jika Widya tidak memiliki pacar setelah putus dengan Yusuf, bisa jadi aku mulai memiliki perasaan kepadanya. Tapi, saat itu ia memiliki pacar yang lain. Mulai dari Rudi, lalu ia didekati banyak laki-laki, lalu ia berpacaran dengan Doni. Mana mungkin aku mencintai seseorang yang sudah sangat jelas memiliki hubungan spesial dengan laki-laki lain?

Aku terdiam saat itu. Berat sekali rasanya untuk bicara lagi. Aku pikir, ia menganggapku hanya sebagai teman dekatnya. Namun, nyatanya akulah yang bisa menggantikan posisi Yusuf di dalam hatinya. Aku adalah kandidat terkuat di lingkungannya.

"Udah, enggak usah dipikirin, Za. Santai aja" Ucapnya pelan. Mungkin ia mengerti bagaimana perasaanku saat itu. Mungkin ia bisa membaca raut wajahku yang begitu terkejut dan panik, sehingga ia menyuruhku untuk tidak memikirkan hal itu. Dan aku menuruti apa katanya. Hanya terdiam tanpa bersuara.

--

Jangan lupa vote, yaa!

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang