Bawa Aku Pulang | 9

383 17 9
                                    

Setelah hari itu, aku berusaha untuk menjaga jarak dengan Diana dan teman-teman perempuanku yang lain. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menyakiti perasaan siapapun. Aku mencintai Fira, dan selama aku masih mencintainya, aku tidak akan menerima cinta perempuan lain saat ini.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya aku melewati ujian nasional, dan dinyatakan lulus dari SMA. Aku senang, sebab aku juga diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Namun tetap saja, ada kesedihan di kelulusanku. Sebab, Widya tidak kuliah di tempat yang sama denganku. Begitupun Fira.

Aku terpaksa harus berpisah dengan Widya yang kuliah di kampus lain. Dan tidak ada hal lain yang bisa kuberikan pada Widya selain doa agar ia diberikan teman yang baik, yang bisa mengantarnya pulang saat kegiatan perkuliahan sudah usai.

Selama kuliah, hubunganku dengan Widya tetap berjalan dengan baik. Walau jarang sekali bertemu, namun sesekali Widya meneleponku di malam hari. Kita bicarakan soal kegiatan-kegiatan yang dilakukan di masing-masing kampus, sampai larut malam, dan sampai salah satu ponsel kami habis baterainya.

--

Ponselku bergetar. Layarnya menyala terang. Nama Widya muncul di sana.

"Za. Belum tidur?" Tanyanya dalam pesan itu.

Aku melirik jam yang terdapat di sudut kanan atas layar ponsel, mendapati kini sudah jam dua pagi. "Belum, kenapa, Wid?" Aku bertanya balik.

"Temenin gue teleponan dong! Gue enggak bisa tidur, nih."

Sebenarnya, walau berada di kamar, aku sedang sibuk bekerja dengan komputerku. Namun, sejak mengenalnya delapan tahun lalu, aku selalu saja tidak bisa menolak permintaannya.

"Oke." Balasku singkat sebelum akhirnya ponselku berbunyi, ada telepon masuk darinya.

"Masih kerja?" Terdengar suaranya di sebrang sana.

"Udah selesai, kok." Aku terpaksa berbohong. Padahal, aku mengesampingkan pekerjaanku untuknya. "Kenapa? Kok susah tidur? Emangnya mikirin apaan?"

"Enggak tau, nih. Akhir-akhir ini, rasanya susah banget tidur cepet."

"Lu kebanyakan tidur siang kali?

"Bisa jadi, sih. Soalnya gue tidur bangunnya agak siang. Hahaha. Omong-omong, gue ganggu, enggak?"

"Ganggu? Enggak, kok."

"Emang lu lagi di mana, Za?" Tanyanya.

"Di kulkas."

"Hahaha." Ia tertawa. Aku selalu suka mendengar tawanya. "Serius ih! Lu lagi di mana?"

"Di rumah, Wid. Kenapa, sih?"

"Gapapa, nanya aja." Balasnya. "Oh iya, selain kerja, lu sibuk apa lagi deh akhir-akhir ini, Za?" Tanyanya padaku.

Entah apa jawabanku atas pertanyaan itu. Yang jelas, aku bicara dengannya cukup lama. Mulai dari membicarakan soal kesibukan selain pekerjaan, sampai akhirnya membicarakan masa-masa SMA, dulu.

Hingga aku tersadar. Malam ini, sudah lebih dari empat jam aku mendengar suaranya melalui telepon. Membicarakan tentang kesibukanku mengurusi pekerjaanku, sampai membicarakan hal-hal yang pernah aku lewati bersamanya Dulu. Hingga aku sudah begitu mengantuk, dan kuharap ia juga sudah mengantuk.

"Tadi gue lihat di instagram, yang lu pake itu jaket dari gue, bukan?"

"Iya, betul."

"Gue kira sudah lu buang."

"Gue buang?"

"Iya, bertahun-tahun belum pernah gue liat lu pake jaket itu."

"Justru karena takut rusak, gue enggak mau make sering-sering."

"Bisa saja." Balasnya singkat.

"Lu udah ngantuk, WId?" Tanyaku saat kebetulan kami sedang sama-sama terdiam.

"Belum."

"Ini udah hampir jam lima pagi."

"Emang kenapa? Lu udah ngantuk, Za?"

"Iyaa, gue udah berkali-kali nguap dari tadi."

"Sebentar lagi, deh? Gue belum mau tidur. Masih banyak yang mau Gue ceritain."

"Besok-besok aja ceritanya."

"Dua minggu lagi, kita udah enggak bisa teleponan kaya gini lagi, Za."

"Lah, emang kenapa?"

"Dua minggu lagi, Gue nikah. Emangnya lu belum liat undangan pernikahan gue yang gue kirim ke rumah lu tadi siang?"

Mendengar perkataannya, aku segera keluar dari kamarku, berlari ke ruang tengah untuk mencari undangan yang dimaksud oleh Widya.. Dan benar. Ada satu undangan pernikahan di atas meja. Undangan pernikahan yang di sampulnya terdapat tulisan Widya dan Yusuf. Ia akan menikah dengan cinta pertamanya. Ia akan menikah dengan seorang pria yang tidak pernah pergi dari hatinya saat SMA. Ia akan menikah dengan seseorang yang pernah kugantikan posisinya.

Badanku lemas, aku terduduk di sofa ruangtengah. Selama ini, aku memang tidak mencintainya. Namun aku rasa, aku begitumenyayanginya. Aku memang tidak pernah berharap untuk menjadi kekasihnya. Namunsaat mengetahui ia akan menikah, rasanya benar-benar menyedihkan. Aku merasakanpahitnya kehilangan, tanpa tahu indahnya rasa memiliki.

--

Terima kasih sudah membaca cerita saya. Maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan. Support terus penulis dengan vote dan follow. sekali lagi, terima kasih

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang