6

725 50 5
                                    

Jam mengajarnya sudah selesai, membereskan barang bawaannya tanpa menatap sekitarnya. Tiara mengajar mahasiswa semester awal, pastinya tidak akan bertemu dengan Fandi. Hubungan mereka memang tidak diketahui siapapun, mereka berdua benar-benar menjaga agar tidak ada satupun yang tahu tentang perbuatan gila mereka.

“Bu Tiara, sudah selesai mengajarnya?” Tiara menghentikan gerakan tangannya dan mendapati rekan kerjanya, Daniel.

“Sudah, Pak. Ada yang bisa dibantu?” tanya Tiara menatap sekitar dan ketika tidak ada yang tertinggal berjalan kearah Daniel.

“Saya mau bicara, pusing ini merasakan anak-anak.” Daniel memijat kepalanya pelan.

Tiara tertawa mendengarnya, “Kita bicara dimana, Pak? Ruangan saya atau bapak?”

“Kantin bagaimana? Saya tunggu di kantin, ibu bisa meletakkan barang-barang di ruangan dulu.”

“Baiklah,” ucap Tiara mengikuti perkataan Daniel.

Melangkahkan kakinya kearah ruangan, berpisah dengan Daniel yang langsung menuju ke kantin. Tiara masuk kedalam ruangannya meletakkan barang-barangnya, mengambil ponsel dan dompet untuk dibawa ke kantin. Suasana kantin yang pastinya ramai membuat Tiara kesulitan mencari keberadaan Daniel, memilih memesan makanan dan minuman terlebih dahulu sebelum mencari keberadaan Daniel, beberapa langkah Tiara bisa melihat Daniel bersama dengan salah satu mahasiswa. Berjalan mendekati mereka dan memilih duduk disamping mahasiswa, sedikit terkejut melihat mahasiswa yang ada disampingnya tidak lain adalah Fandi.

“Kebetulan ada Bu Tiara, kamu bisa tanya-tanya masalah itu.” Daniel menunjuk Tiara, membuat tatapan mereka bertemu.

“Memang tanya tentang apa?” tanya Tiara penasaran sambil menatap kedua pria yang ada di dekatnya.

“Tugas akhir, saya ambil metode kualitatif jadinya agak bingung untuk mencocokkan dengan teori yang ada dan kenyataan.” Fandi menjawab dengan menatap Tiara.

“Kalau memang tidak sesuai dengan teori bisa langsung dituliskan atau mencari teori lain yang berdekatan dengan hasil penelitian kamu.” Tiara menjawab dan tidak lama pesanannya datang. “Terima kasih.” Menatap pengantar makanan dengan memberikan senyum tipisnya.

“Apa diubah ke kuantitatif? Enak tinggal dihitung.” Fandi menghembuskan nafas panjang.

“Lihat judulmu nggak bisa.” Daniel menolak usul Fandi.

Selama di kantin mereka bertiga membahas tentang tugas akhir Fandi, setelah pembahasan yang sangat lama akhirnya Fandi mengundurkan diri dengan berpamitan terlebih dahulu. Tiara menatap Daniel dengan tatapan ingin tahu, dari tadi mereka belum berbicara mengenai tujuan Daniel mengajaknya.

“Bapak memang dosen pembimbing atau wali si Fandi?” tanya Tiara membuka pembicaraan.

Daniel menggelengkan kepala, “Fandi sering konsultasi dengan saya.” Tiara menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Daniel. “Saya mengajak Bu Tiara ada yang mau saya bicarakan tentang rencana kampus untuk mengirim kita keluar negeri, apa ibu sudah tahu?”

“Sudah, memang kenapa?” tanya Tiara penasaran “Pak Daniel bukannya pendidikan di Jerman?”

“Bu Tiara di Australi, benar?” Tiara menganggukkan kepalanya. “Saya mau tukar.”

Tiara mengerutkan keningnya mendengar perkataan Daniel, “Kenapa? Bapak berangkat sendiri disana? Ada rekan lain?”

“Istri saya hamil dan saya nggak bisa jauh, jadi kalau ada apa-apa saya bisa langsung pulang. Kita disana enam bulan dan itu mendekati istri saya melahirkan. Saya sendirian di Jerman, ibu di Australi sama Bu Wulan dan Pak Made kan?”

“Saya sendirian disana, bisa nggak kira-kira nanti?” Tiara menatap ragu, “Saya juga nggak yakin suami memberikan ijin kalau terlalu jauh, Pak.”

Suasana kembali hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiara menatap Daniel dengan tatapan tidak tega, hanya saja kenapa Tiara yang menjadi pilihan padahal masih ada Made dan Wulan, menggelengkan kepalanya dan paham kenapa Daniel memilih dirinya bukan mereka berdua, semua itu karena faktor usia dimana Tiara memiliki usia lebih muda atau jauh dibawah mereka berdua.

“Saya bicarakan dulu dengan suami, Pak. Nanti saya kabarin perkembangannya langsung ke Pak Daniel.” Tiara menatap pria yang memiliki usia beberapa tahun diatasnya.

“Terima kasih.” Daniel memberikan senyumannya saat mendengar jawaban Tiara.

Semua tidak akan mudah yang artinya Tiara harus meminta pada Bagas, memikirkan apa yang bisa membuat Bagas setuju dengan permintaannya ini. Keberangkatannya adalah dua bulan lagi, artinya harus segera berbicara dengan Bagas secepatnya dan mengurus semuanya. Dokumen Jerman tidak semudah Australia, banyak hal yang harus disiapkan Tiara nantinya.

Daniel mengajak berbicara mengenai topik yang lain, pria dihadapannya ini baru menikah dengan seseorang yang dikenalnya secara online. Tiara tidak menyangka hubungan mereka bisa sampai sejauh itu, jenjang pernikahan. Mereka menghabiskan waktu di kantin tanpa ada yang mengganggu bahkan rekan kerja yang lain tidak tampak di kantin sama sekali, melihat keadaan kantin yang sudah sedikit sepi membuat Tiara memandang Daniel dengan tatapan tanda tanya.

“Mereka pada ada kelas dan juga praktikum.” Daniel mengatakan seakan menjawab pertanyaan Tiara dari tatapannya.

“Kalau begitu lebih baik saya di ruangan, nanti saya kabari Pak Daniel mengenai jawaban suami.” Tiara berdiri dan meninggalkan Daniel di kantin.

Langkahnya memang menuju ruangan, memeriksa hasil kerja mahasiswanya. Tiara termasuk dosen yang bermurah hati dibandingkan dosen wanita lainnya, meskipun di beberapa kesempatan juga tidak jauh berbeda dengan dosen wanita itu. Menatap para mahasiswa yang sibuk mengerjakan tugas dan diskusi membuat Tiara teringat jaman dulu, jaman dimana dirinya pernah merasakan hal yang sama dengan mereka.

“Bu Tiara, dicari dari tadi ternyata baru muncul.” Made menyapanya yang membuat Tiara mengerutkan keningnya.

“Memang ada perlu apa, Pak?” tanya Tiara pada pria yang lebih tua darinya ini.

“Mengenai ke Australia.” Made menjawab pertanyaan Tiara, seakan paham Tiara membuka pintu dan mempersilakan masuk.

Duduk berhadapan, membuat Tiara menatap penuh tanda tanya. Mereka seharusnya pergi bersama, tidak mungkin pria dihadapannya ini membatalkan kepergiannya dan semua ini demi masa depan mereka nantinya.

“Saya menolak berangkat.” Made mengatakan langsung, Tiara menatap tidak percaya dengan membelalakkan matanya dan Made tersenyum “Jangan terlalu terkejut begitu.”

“Kenapa, Pak?” tanya Tiara yang terkejut jika tebakannya benar. “Bukannya ini demi kebaikan kita nantinya, Pak? Standard dalam mengajar dan juga ilmu yang bisa kita berikan ke anak-anak.”

“Memang benar, hanya saja saya tidak diperlukan lagi. Usia sudah tua dan saya membutuhkan istirahat.” Made menghela nafasnya panjang “Saya meminta Fandi menggantikannya.”

“Kenapa Fandi? Dia belum lulus, Pak? Anak-anak pasti berpikir jika kita pilih kasih nantinya.” Tiara menolak dan memberikan pendapatnya.

“Fandi sebentar lagi lulus, dia sendiri sudah mendaftar untuk S2. Jadi saya pikir lebih baik Fandi ikut dengan belajar disana, dia akan menggunakan biaya sendiri jadi tenang saja sedangkan menggunakan nama kampus.” Made menjelaskan dengan sangat detail.

“Saya rasa pihak kampus tidak akan menyetujuinya.” Tiara memberikan pendapat dan sedikit tebakan, jantungnya berdetak kencang kalau memang terjadi.

Made hanya diam, meletakkan jari telunjuk di dagu dan tampak berpikir setelah mendengar perkataan Tiara. Melihat itu semakin membuat Tiara tidak tenang, satu sisinya berharap Fandi ikut dan memilih Jerman bersama dengannya, tapi di sisi yang lain tidak yakin Fandi bisa ikut kegiatan dosen ini yang dibuat fakultas untuk meningkatkan skill.

“Kalau saya boleh memberi ide akan lebih baik niat bapak dihentikan, Fandi masih terdaftar sebagai mahasiswa, tapi program ini untuk meningkatkan skill kita para dosen. Pak Made masih sehat dan kuat, udara diluar negeri lebih bersih dibandingkan kita yang penuh emosi dan pastinya akan membuat kesehatan Pak Made baik-baik saja. Fandi akan mendapatkan kesempatan itu kalau nanti menjadi dosen disini.” Tiara memberikan pendapatnya membuat Made terdiam.

Forbidden LustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang