PART 3 : MELVIANO DEVAN SYAHREZA

5 7 1
                                    

Hari kedatangan Devan sudah tiba, dia dijemput oleh keluarganya di bandara. Seperti yang dikatakan ibu sehari yang lalu mereka semua akan menjemput Devan hari ini. Namun tak sesuai harapan. Salah satu anaknya tidak bisa datang dengan alasan ada kepentingan mendesak.

"Wellcome back jiplakannya gue," Elvan merangkul akrab sosok cowok berwajah sama dengannya.

"Lo yang ngejiplak, gue ada sebelum lo ada," balas cowok tersebut sarkas.

"Cuma selisih 5 menit juga," Elvan memberenggut sebal kepada kembarannya itu.

"Sudah! Sudah! Baru ketemu kok malah berantem sih," lerai ibu si kembar.

"Devan... Ibu kangen banget sama Devan," ibu langsung memeluk putra sulungnya itu mengobati kerinduannya.

"Baru pisah setahun juga," sewot ayah namun tak dapat menyembunyikan kerinduannya kepada si sulung. Ia pun merangkul putranya menyalurkan kerinduan.

"Ayah jangan salah, setahun itu belum cukup buat menghapus memori masa lalu," canda Devan sambil menatap Fawnia yang berdiri jauh di belakang Ayahnya. "Iya nggak, Fa?" tanyanya pada Fawnia kemudian.

"I...Iya kak," jawab Fawnia terbata-bata sambil menunduk. Ayah, ibu dan Elvan hanya menatap Fawnia prihatin. Devan melepaskan rangkulan Ayahnya dan berjalan mendekati Fawnia. Ia menatap adik bungsunya dengan raut menyesal. Menyesal karena dirinya, Fawnia menciptakan jarak di antara mereka berdua. Ia terus menatap sang adik, lalu berusaha tersenyum.

"Udah berapa kali gue bilang, jangan nunduk. Mahkota lo bisa jatuh kalau lo nunduk," Devan mengangkat dagu Fawnia agar tegak menatapnya. Melihat wajah Fawnia semakin membuatnya menyesal telah menyakiti adiknya setahun yang lalu. Devan memeluk Fawnia, adik yang dulu sangat ia sayangi bahkan hingga sekarang. Ia sangat menyesal, masalah itu membuat dirinya dan Fawnia berjarak.

Fawnia tak dapat membendung air matanya, ia menangis dalam pelukan Devan. Sosok kakak yang sangat ia rindukan setahun belakangan ini. "Maafin Fawnia kak."

"Bukan salah Fawnia. Bukan salah siapa-siapa," Devan mengelus lembut rambut Fawnia dan mengecup singkat rambut beraroma strawberry itu. Aroma yang sangat dirindukannya. Sementara itu, kedua orang tuanya saling merangkul terharu menyaksikan si sulung dan si bungsu.

"Udahan woyy! Drama banget sih. Malu diliatin banyak orang," Elvan merusak suasana karena tak tahan dengan pelototan penasaran orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Ia dengan cepat menggeret koper sang kakak ke arah mobil ayahnya.

Setibanya di rumah, Devan menghempaskan badannya di ranjang kamarnya. Rindunya seakan terobati ketika sudah sampai di rumah tempatnya tumbuh bertahun-tahun lamanya. Rumah yang ia tinggalkan setahun lalu untuk menuntut ilmu.

"Setahun nggak di sini, jangan lupa bedain ranjang lo sama ranjang gue itu perlu. Minggir lo t*i!" Elvan mendorong badan Devan dari ranjangnya.

"Nih bocah, udah kuliah mulutnya masih aja gak berpendidikan," celetuk Devan berpindah ke ranjangnya sendiri yang terletak di samping ranjang Elvan.

"Jepang gimana, Dev? Bisa nggak lo tidur jauh dari gue," tanya Elvan ke kakaknya yang memang sejak kecil selalu tidur berdampingan dengannya meski beda ranjang karena Elvan yang sangat jago bergulat jika sedang tidur.

"Bilang aja lo yang gak bisa jauh dari gue," Devan melirik Elvan meremehkan.

"Iya iya. Tapi lo jugakan?" aku Elvan jujur.

"Nope."

"K*mpret lo t*i."

"Astaghfirullah, mulutnya adek. Ampunilah ya Allah," sesaat setelah itu Devan mendapat timpukan bantal dari orang yang baru saja disebutnya adek.

INJURYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang