7.0

19 0 0
                                    

Langit sore dihari ke tujuh dibulan Januari ini terlihat sedang tak bersemangat. Ia nampak kelabu dengan awan-awan pekat yang menggantunginya. Angin juga sepertinya sedang terburu-buru, dengan cepat ia berlari menggoyangkan dahan-dahan dan menggugurkan daun-daun. Terlihat burung-burung terbang bergegas kembali ke sarangnya sebelum langit mulai menumpahkan airnya. Udara juga perlahan-lahan mulai terasa lembab dan gerah.

Pada sore yang sedang tak bersahabat itu seluruh kelas 11 Mipa 1 dan beberapa perwakilan sekolah termasuk beberapa anak OSIS, serta beberapa guru datang melayat ke kediaman Angga. El didampingi Dan juga datang sebagai teman satu kelas juga perwakilan dari OSIS.

Pagi tadi setelah mendengar kabar bahwa Angga telah tiada, El tak sadarkan diri dari baru saja siuman menjelang istirahat makan siang. Di samping ia memang sedang lemah dan kelelahan, berita itu ibarat petir di siang bolong bagi El. Berita itu mengahantam hati dan pikirannya begitu keras. Ia merasa telah gagal menjadi ketua kelas sekaligus ketua OSIS karena tak memperhatikan temannya.

Setelah menutupi seragamnya dengan jaket hitam, El perlahan turun dari motor Dan. Ia menarik nafas dalam beberapa kali, berusaha menguatkan dirinya. Dan yang melihat itu menggenggam tangan El dan menggandengnya menuju ke rumah Angga.

El berjalan sambil menunduk dan tangannya menggenggam tangan Dan erat-erat. Nafasnya pendek-pendek dan beberapa kali tercekat, seperti bisa  pingsan kapan saja. Wajahnya sangat pucat dan kantung mata hitam menggantung dimatanya. Ia benar-benar terlihat seperti akan pingsan kapan saja.

Baru saja hendak masuk ke dalam rumah Angga, tiba-tiba seorang ibu paruh baya berjalan dengan langkah yang cepat dan terlihat sedikit tergopoh-gopoh karena roknya yang panjang hingga menyapu lantai. Ibu itu berjalan nyaris berlari ke arah El dan Dan.

Plak!

Tanpa bisa menghidar satu tamparan keras mendarat dipipi El. El yang tak siap langsung terjerembab ke belakang. Kepalanya terantuk gagang pintu dengan keras dan tubuhnya mengenai vas bunga besar di dekat pintu dan menjatuhkannya hingga pecah dan merubahnya menjadi pecahan-pecahan kecil. 

Sebelum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi ibu itu menyerang El dan memukulinya serta menyumpahi El dengan kata-kata yang tak pantas didengar.

"El!"seru Dan yang dengan cepat sadar dan segera membantu El.

Seketika pusat perhatian terpusatkan ke arah mereka. Lingkaran manusia dengan cepat terbentuk, mengelilingi mereka secara natural. Suara bisik-bisik memenuhi seluruh ruang tamu kediaman Angga. Tatapan penasaran yang sedang menilai juga menghina, tatapan yang seolah berempati namun, sebenarnya hanya ingin menonton keributan yang sedang terjadi.

"Karena kamu anak saya jadi seperti ini! Anak sialan, tak tahu diuntung!"

"Kamu harus beratanggung jawab atas ini! Kamu harus membayar ini semua!"

"Ini semua karena kamu anak sialan! Bajingan kecil ini yang sudah membuat anak saya mati"

"Kalau hari itu kamu tidak pergi bersamanya ini semua tidak akan terjadi! Anak saya pasti sekarang masih di sini, ini semua salahmu Aya sialan!"

"Saya mau kamu mati! Mati seperti kamu membunuh anak saya, mati anak sialan! Mati! Mati! Mati!"

Dengan histeris ia terus menyalahkan El atas apa yang terjadi kepada putranya. Dan berusaha menahan gerakan tangan ibu itu dan memanggil beberapa anak OSIS untuk membantunya.

El diam saja tanpa melawan. Ia benar-benar diam seperti memerima semua pukulan dari ibu Angga. Tidak ada rintihan, air mata, ataupun ekspresi menahan rasa sakit. Ia seperti patung kaku yang tak bisa bergerak dan hanya menerima semuanya.

Dengan cepat beberapa anak OSIS dan beberapa tamu menarik tubuh ibu paruh baya tersebut menjauh dari El. Ia histeris dan terus berteriak sambil menyumpah serapahi El.

Anak-anak OSIS lainnya juga dengan sigap membantu El dan membereskan pecahan vas yang berserakan. Pak Juan juga dengan cepat menenangkan serta mengontrol situasi. Ia juga meminta Dan untuk membawa El keluar dan membantunya mengobati lukanya.

"Julie tolong gantikan El di sini"pinta Dan.

Julie mengangguk dan membantu Dan mendudukkan El. Ia juga segera memberikan gelas air kepada El yang hanya disesap sedikit.

"Aya sayangku, izinkan kami yang melanjutkan tugasmu di sini. Aku harap kamu segera sembuh ya Aya, ketua OSIS kesayangan kami semua"bisik Julie sambil melingkarkan tangan El ke leher Dan.

Dan dengan sigap membopong El dan membawanya keluar. Dan membawanya ke taman rumah Angga dan untung saja ada gazebo kecil di sana. Ia dengan hati-hati menurunkan El. Dengan segera ia berlari ke parkiran dan mengambil tasnya di bagasi motor dan mengambil kotak P3Knya.

Dengan cermat ia memeriksa satu persatu luka El dan membersihkannya. Setelah mengobati luka-luka dikakinya, Dan melapaskan jaket El dan mengecek luka dikepalanya. Darah segar mengalir dari belakang kepalanya dan membasahi seragam putihnya. Tanpa panik Dan berusaha membersihkan lukanya dan menghentikan pendarahannya.

"El kita ke rumah sakit ya?"tawar Dan, yang sebenarnya adalah pertanyaan retoris.

El hanya diam dan menatap kosong apa yang ada dihadapannya. Ia sama sekali tak merespon. Dan hanya menghela nafas dan segera membopong El ke parkiran. Segera ia pakaikan kembali jaket El dan perlahan-lahan membantunya menaiki motor. Ia menarik tubuh El untuk sepenuhnya menyender kepada Dan. Ia melingkarkan tangan El kepinggangnya dan ia mengeluarkan syal dari tasnya dan mengikatkannya dipinggangnya dan El, supaya El tidak terjatuh.

Selama perjalanan ke rumah sakit El hanya diam dan nyaris tak bergerak. Tubuhnya seolah kaku dan menempel sempurna pada Dan.

👻👻👻

"Dan!"seru Aksa.

Wajahnya terlihat begitu kusut dan panik. Rambutnya berantakan dan matanya juga memerah seperti menahan tangisan.

"Papa El"ujar Dan sambil bangkit dan neejalan mengahampiri Aksa.

"Adek gimana?"tanya Aksa sambil menolehkan kepalanya ke sana kemari berusaha mencari di mana putrinya berada.

"Papa sekarang tenang dulu, sekarang El sedang dijahit lukanya. Tidak begitu parah dan syukur tidak gegar otak tapi, dokter bilang ada kemungkinan shock yang bisa sesikit mengaburkan ingatannya tentang yang baru saja ia alami"jelas Dan sambil merangkul Aksa dan membimbingnya untuk duduk.

Mendengar itu raut wajah Aksa perlahan melunak.

"Oh Tuhan kenapa putriku harus mengalami hal buruk ini?"ujar Aksa sambil mengatupkan kesua tangannya menahan gejolak emosinya.

"Dan, sebenarnya kenapa? Dan bagaimana hal itu bisa terjadi?"tanya Aksa sambil meremas lengan Dan berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Dan menatap udara kosong di depannya dan menelan ludahnya beberapa kali. Ia juga cukup terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Ia menarik nafas dalam dan berusaha merilekskan otot-ototnya sebelum mulai menceritakan apa yang El alami. Ia menceritakannya dengan pelan namun, rinci. Beberapa kali ia berhenti dan menarika nafas dalam sebelum melanjutkannya lagi. Aksa menyimak cerita Dan dengan seksama sambil berusaha meredam emosinya. Dan mengakhiri ceritanya dengan helaan nafas panjang dan berat.

"Sebenarnya apa yang wanita itu pikirkan hingga bisa-bisanya melukai putriku. Wanita itu dan keluarganya sudah gila rupanya"desis Aksa.

"Dan tolong tetap di sini sebentar saya akan menelfon sebentar"setelah beeucap seperti itu Aksa melangkah pergi ke luar.

Dari tempatnya Dan bisa melihat betapa serius yang peecakapan yang sedang terjadi antara Aksa dan orang yang menjadi lawan bicaranya.

'Tenang saja Papa'

Au Revoir [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang