STARBUCKS yang disinggahinya sore ini memang sedang ramai-ramainya. Mungkin perpaduan orang kantor yang pulang serta anak kuliahan yang lebih memilih mengerjakan tugas-tugasnya sembari meminum segelas kopi.
Dan alasan Langit ke sini karena ia sudah terlalu bosan di rumah.
Pesanan caramel macchiato miliknya sudah berada digenggaman dan langkah kedua kakinya yang membawa dirinya mendekati meja kosong dekat jendela. Ternyata bukan hanya Langit yang mengincar kursi kosong ini, melainkan juga gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu tampak ingin menduduki kursi kosong itu.
"Karena lo cowok, ngalah dulu ya sama cewek? Gue mau ngerjain tugas di sini," ujar gadis itu dengan raut muka pede-nya.
Alis Langit bertaut, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidaksukaan pada gadis itu. Jelas-jelas gue duluan, dasar cewek!
"Terus gue peduli?" tanya Langit yang mampu menohok gadis berseragam putih abu-abu itu.
Tidak ingin tertindas dengan cowok yang berperawakan seperti anak kuliahan, gadis itu kembali berbicara. "Ya harus lah! Please ya Om, saya mau ngerjain tugas mtk saya di meja ini. Jadi Om bisa minggir dan cari meja lain," ujarnya panjang lebar diakhiri dengan dirinya yang menyedot minuman kopinya.
"Gue bukan Om lo!"
"Lah bodo!" sahutnya tambah nyolot.
Melihat gadis dengan rambut yang dikucir kuda itu tampak senang beradu argumen membuat kesabaran Langit habis. Tangan kanan yang semula memegang gelas berlogo Starbuck terpaksa ia taruh di atas meja bundar. "Mau lo apa sih?" Kedua tangannya bersedekap. Tatapannya mengintimidasi sang perempuan, bukannya takut, gadis bername tag Mauretta Karina malah semakin menantangnya.
Demi Tuhan, Langit sebenarnya males banget meladeni cewek sok jagoan ini.
Karena keburu kesal kepalang, kali ini dirinya rela menyia-nyiakan waktu hanya untuk meladeni curut ini.
"Mau gue? Ya duduk di sini lah," sahut perempuan itu. "Apa salahnya sih ngalah sekali sama cewek? Ga duduk di sini ga bikin lo mati kan?"
"Ya udah kenapa lo tetep kekeuh mau duduk di sini? Ga duduk di sini juga ga bikin lo mati kan?"
Gadis bernama Mauretta Karina mencebik kesal. Ia akan mengalah kali ini. "Gini deh, gue joinan duduk di sini. Gimana? Nanti gue minta kursi lagi sama barista,"
"Terserah," jawab Langit singkat dan langsung menjatuhkan bokongnya pada kursi. Lebih baik mendengarkan musik di playlist akun Spotify daripada memandangi gadis SMA itu yang akan duduk dihadapannya.
Ah, sial.
Langit secara tidak sadar mengembuskan napas panjang, melihat figur Mauretta Karina– dirinya jadi mengingat pada sosok Rena. Gadis itu sedang ngapain, ya?
"Bego, kenapa lo jadi keinget dia sih Lang?" gumam anak laki-laki itu pelan sebelum kembali menyeruput kopi caramel macchiato miliknya.
Sedang Mauretta Karina menghentikan aktivitas mengambil bukunya saat orang dihadapannya ini malah bermonolog tidak jelas. Pikiran kecil Mauretta malah berkata bahwa cowok berpakaian hoodie hitam itu sedikit gila–atau benar-benar gila?
Kalau gila emang bisa beli kopi di Starbucks?
Sangat mustahil untuk dipercaya.
"Dia siapa?"
Langit yang baru sadar dari lamunannya langsung menepis pikiran gila itu. Tahu-tahu gadis SMA menyebalkan itu berada dihadapannya, hanya dibatasi penghalang meja bundar yang diatasnya terdapat dua minuman kopi dan sebentar lagi akan dihiasi buku matematika milik Mauretta Karina. "Bukan urusan lo," jawab Langit cepat. "Ga usah kepo, kerjain aja tugas mtk lo itu."
Dih?
Perempuan itu memandang terang-terangan wajah Langit, kesal karena hal sepele pun dipermasalahkan olehnya. Tidak bisakah dia mengerjakan tugasnya dengan tenang?
Untuk kedua kalinya, Mauretta Karina memilih mengalah dan kembali memfokuskan perhatiannya pada buku mata pelajaran matematika wajib. Sesekali menyedot segelas Frappuccino Java Chip sembari mengetuk-ngetuk meja menggunakan ujung bolpoin. Terlihat jelas sekali bahwa gadis itu tengah berpikir keras demi mengerjakan soal pertama.
Dan Langit yang tiba-tiba tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah penglihatannya direnggut paksa oleh anak perempuan yang fokus pada buku matematikanya. Bahkan Langit hingga lupa untuk menyalakan musik pada ponselnya yang sudah tersambung kabel earphone.
Langit sedikit tertarik.
Mungkin Langit bisa memancing emosi anak cewek itu, lagi. "Susah soalnya, huh?" Langit melempar pertanyaan dengan diakhiri nada meremehkan.
"Berisik!"
"Kalo ga bisa bantuin ga usah banyak bacot,"
Langit tertawa renyah. Rasanya senang dapat memancing emosi gadis itu, membuat kesal karena dirinya. "Siapa bilang gue ga bisa?" Langit bertanya balik. Kemudian menjatuhkan penglihatannya pada buku matematika, membaca soal pertama dengan buku terbalik. "Tentang mutlak? Soal pertama angka minus empat pindah ruas ke kanan jadi ditambah empat,"
Mauretta Karina mengikuti ucapan Langit. "Terus diapain lagi?"
"Lo liatin aja entar juga kelar,"
"ISH YANG BENER!" rengek gadis itu. "Siapa sih nama lo? Perlu kenalan dulu biar lo mau bantuin tugas gue?"
"Lo siapa?"
Dia menggembungkan kedua pipi hingga bibirnya maju satu senti dan detik selanjutnya Mauretta Karina menghela napas kasar. "Gue Mauretta Karina meminta bantuan lo supaya mau ngerjain tugas mtk gue," ujarnya sembari mengulurkan tangan kanan.
Langit mati-matian menahan tawanya melihat tingkah konyol yang dilakukan cewek itu. "Gue manusia dan gue dengan senang hati ga mau bantuin lo,"
"Ngeselin!" Mauretta memutar gelas minuman cowok tersebut agar dapat mengetahui namanya.
Adrian.
"Ga free kok! Gue bakal bayarin minuman lo, deal?"
"Gue ga butuh uang lo," Langit menolak mentah penawaran gadis itu.
Mauretta memijat dahinya. "Jadi lo mau apa, Adrian? Bayarannya terserah lo mau apa, deal?"
"Gue tau lo bakal butuh bantuan gue nanti, jadi dengan senang hati gue memberikan ID LINE gue."
TBC.
A/n:
Hai, aku bawa cerita baru. Semoga suka, ya. Hope u enjoy, guys!—T
KAMU SEDANG MEMBACA
MahardiKarina
Teen FictionLangit Adrian Mahardika. Cowok berparas diatas rata-rata dengan kepintarannya yang sudah tidak diragukan lagi sekaligus MABA universitas negeri di Yogyakarta. Mauretta Karina. Perempuan yang dipaksa masuk jurusan IPA, bodoh dalam pelajaran matematik...