Jimin tengah melambaikan tangannya ketika Jian baru saja keluar dari area sekolah. Melihat Ayahnya tengah mengadahkan tangannya untuk menerima pelukan dari Jian, gadis kecil itu pun mempercepat langkahnya untuk segera memeluk Ayahnya yang juga diikuti oleh Bae Ssaem, guru kelas Jian.
"Jian baik-baik saja?" tanya Jimin khawatir melihat Jian tampak tak bersemangat.
Jian hanya menggeleng perlahan sembari mempererat pelukannya kepada Jimin, bahkan kepalanya kini tengah bersembunyi di ceruk leher Ayahnya.
"Tuan, hari ini Jian sedikit berbeda. Sepertinya Jian mengalami demam sejak jam pelajaran kedua, bahkan ia tidak ingin makan siang meskipun saya membujuknya. Sebenarnya saya ingin menghubungi Anda, tapi Jian masih ingin belajar bersama teman-temannya hingga kelas usai." ucap Bae Ssaem menjelaskan kondisi Jian selama di sekolah.
Mendengar perkataan dari gulu kelas Jian, Jimin secara spontan segera menjauhkan tubuh Jian. Ia melihat wajah Jian yang terlihat memerah di bagian pipi. Setelah mengucapkan terimakasih kepada Bae Ssaem karena telah mengurus Jian, setelahnya Jimin ijin berpamitan pulang terlebih dahulu.
"Jian merasa pusing ya?" tanya Jimin terlihat khawatir.
Jian hanya mengangguk pelan, bahkan saat ini matanya mulai berkaca seakan ingin menangis karena merasakan tubuhnya yang sakit.
"Sekarang kita pulang ya. Jian perlu makan siang setelah itu istirahat," ujar Jimin yang saat ini tengah membantu Jian duduk di kursi penumpang bagian belakang.
"Jian tidak lapar," kali ini Jian mulai bersuara mengutarakan pendapatnya.
"Ayah yang lapar, jadi temani Ayah makan ya." ucap Jimin sambil mengusap kepala Jian saat gadis muda itu mengangguk mengiyakan permintaan sang Ayah.
Ketika diperjalanan pulang, Jimin sempat memberikan kabar kepada sekretarisnya jika ia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya akibat kondisi Jian. Beruntungnya hari ini Jimin tidak memiliki jadwal untuk menghadiri rapat atau urusan penting lainnya, sehingga ia tidak perlu meminta ijin terlalu banyak.
Saat tiba di basement, Jimin segera menggendong Jian yang tengah tertidur. Ketika Jimin tengah menunggu lift terbuka, seorang gadis muda menyapanya.
"Selamat siang, Jimin-ssi," sapa Choi Cindy, gadis muda yang pernah menabrak mobil Jimin saat belajar memarkirkan mobil pribadinya.
"Eoh~ Cindy-ssi! Baru saja pulang dari kampus?" balas Jimin ketika keduanya mulai memasuki lift.
"Iya, kebetulan hari ini hanya ada satu kelas saja." jawab Cindy sambil tersenyum simpul dan mendapatkan anggukan paham oleh Jimin.
"Ayah," ujar Jian pelan, sepertinya gadis itu tengah mengigau. Jimin pun mulai mengusap punggung Jian pelan agar buah hatinya menjadi lebih tenang.
"Apakah Jian sedang sakit?" tanya Cindy yang penasaran, karena tidak biasanya ia melihat gadis berpipi chubby itu terlihat tidak semangat.
"Iya, suhu tubuhnya sedikit tinggi. Sejak pulang sekolah Jian bahkan terlihat lesu sekali." jelas Jimin yang masih mengusap punggung Jian.
"Lekas sembuh ya gadis cantik," ucap Cindy dengan tangan yang mengusap kepala Jian. Jimin membalasnya dengan senyuman sebagai ucapan terimakasih.
Setelah mereka tiba di lantai empat, keduanya mulai berpisah menuju ke kediamannya masing-masing.
Setelah melepaskan sepatu yang dipakai Jian, Jimin segera membawa Jian ke kamarnya. Ia membaringkan tubuh Jian di ranjang. Jimin mulai mencari keberadaan termometernya untuk mengecek suhu tubuh Jian terlebih dahulu, sehingga ia tahu harus menangani Jian seperti apa.
Jimin sedikit tenang karena suhu tubuh Jian tidak terlalu tinggi.
"Ayah! Jian mau dipeluk Ayah." rengek Jian yang kini tengah menangis.
"Sebentar ya, kita ganti baju Jian dulu agar Jian lebih nyaman beristirahat." ujar Jimin segera mengambil baju ganti untuk Jian.
Jian masih menangis ketika Jimin pergi meninggalkannya untuk mengambil pakaian. Jian bahkan tidak berhenti memanggil Ayahnya berulang kali.
"Kemari, Ayah bantu untuk ganti baju dulu." ucap Jimin dan membawa Jian ke pangkuannya. Jimin berusaha untuk menenangkan Jian sembari mengganti pakaian Jian.
"Jian, Ayah pergi ke dapur dulu ya membuatkan makanan untuk Jian." ucap Jimin dengan tangannya yang sibuk mengusap kepala Jian.
Jian secara cepat menolak permintaan Ayahnya. Ia mengatakan ingin bersama dengan Ayahnya dan tidak ingin makan karena tidak lapar.
Menjadi kebiasaan Jian ketika ia sedang merasa sakit, Jian akan terus menempel pada Jimin dan tidak ingin ditinggalkan.
"Jian harus makan. Setelah makan Ayah janji akan tidur di sebelah Jian." tawar Jimin agar Jian mau memahami keadaan sekarang.
"Tidak mau," jawab Jian dengan suara lirih diiringi isakan. Jian bahkan sudah menarik tangan Jimin untuk segera berbaring di sampingnya.
"Baiklah, Ayah mengalah. Jian sudah ya menangisnya, nanti tenggorakan Jian jadi sakit." ucap Jimin yang sudah memeluk Jian.
Tiga puluh menit berlalu, Jian sudah berada di dunia mimpinya. Jimin perlahan turun dari ranjang, berniat untuk membuat makan siang Jian. Ketika Jimin baru saja selesai mengganti pakaiannya, dan ingin menuju ke dapur tiba-tiba saja bel apartementnya berbunyi. Jimin pun segera membukakan pintu, ia sempat terkejut ketika melihat Choi Cindy yang saat ini tengah di hadapannya.
"Jimin-ssi, aku membuat bubur abalone untuk Jian. Aku membuatnya lebih banyak, sehingga Jimin-ssi bisa ikut menikmatinya." ucap Cindy yang sudah menyodorkan tempat makannya.
"Maaf merepotkanmu Cindy-ssi. Terimakasih atas makanannya," ucap Jimin menerima makanan dari Cindy.
"Semoga Jian lekas sembuh. Satu lagi, kemungkinan ketika malam hari suhu tubuh Jian akan meningkat. Jimin-ssi bisa sering memeluk Jian agar panas dalam tubuh Jian bisa berpindah ke tubuh Jimin-ssi. Selain itu pastikan Jian tidak mengalami dehidrasi," ucap Cindy memberi saran.
"Terimakasih untuk sarannya, Cindy-ssi." ucap Jimin tulus.
Setelah Cindy berpamitan untuk kembali, Jimin segera masuk kedalam dan memindahkan makanan tadi ke mangkuk Jian dan juga miliknya.
Jimin membangunkan Jian untuk segera memakan buburnya, bahkan Jimin berusaha membujuk Jian dengan alasan Jian harus menemani Ayahnya makan.
Setelah berhasil memberikan lima suapan kepada buah hatinya, Jimin kembali mengajak Jian untuk beristirahat.
"Jian tahu tidak? Saat Jian berumur satu tahun Jian mengalami demam tinggi untuk pertama kalinya. Ayah begitu cemas dan juga merasa panik karena masih belum tahu harus berbuat apa." ucap Jimin yang bermonolog sendiri disamping Jian yang sedang tertidur.
"Ayah bahkan sampai menangis dan menyalahkan diri sendiri karena tidak becus merawat malaikat kecil Ayah." ucap Jimin sekali lagi, ia tertawa saat mengingat masa-masa lampaunya.
"Tapi sekarang Ayah sudah lebih handal kan merawat Jian?" ucap Jimin sedikit memamerkan diri.
"Semoga Jian cepat sembuh ya dan kembali menjadi gadis ceria yang memberikan semangat untuk Ayah." ucap Jimin sambil memeluk Jian lebih erat. Jimin bahkan tidak berhenti untuk membubuhkan ciuman sayangnya di dahi Jian.
.
Bersambung..
.
Coba absen dulu yuk, siapa yang masih nyimpen cerita ini di librarynya? 👆🏻👆🏻
Hallo calon mamanya Jian, apa kabar kalian? wkwk. Kangen nggak sama Jian dan Papa Jimin? Maafin aku ya teman-teman onlineku, karena ada beberapa kesibukan dan sempet mengalami writer's block aku jadi ninggalin cerita ini tanpa pamitan. Pokoknya buat kalian yang udah mampir kesini sambil pencet tombol votenya dan ngetikin beberapa comment yang beragam aku sangat berterimakasih, 💛💛💛
see u next chapter.
Happy reading guys :)
Keep vote and comment!
Sorry for typo~-14 November 2020-
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's Little Girl - [PARK JIMIN]
FanfictionJudul : Daddy's Little Girl Sinopsis : Menceritakan bagaimana Park Jimin mengasuh anak perempuannya setelah kepergian sang istri. Menjadi single parent dengan memiliki peran ganda sebagai Ayah maupun Ibu bagi Park Jian. Happy reading guys, Keep vot...