Moonbin mengecek ponselnya berkali-kali, ia sudah mengirim pesan lebih dari sepuluh buah pesan. Ia mengirimkannya pada Yeeun. Ia bertanya di mana, apa yang sedang gadis itu lakukan, apa dia datang ke kampus hari ini, apa keadaannya baik-baik saja, kenapa tidak membalas pesannya, apa dia marah, apa gadis itu sibuk, apa mereka bisa bertemu siang nanti, apa dia benar baik-baik saja, dan terakhir.. bagaimana keadaan perutnya.
Ia berjalan keluar kelas setelah pembelajaran materi kuliah selesai. Ia terus memeriksa ponselnya sambil kaki melangkah ke perkarangan kampus. Kemudian Moonbin beristirahat sejenak di kursi santai yang ada di dekat pohon rindang, menunggu balasan pesan Yeeun. Tidak tahu apakah gadis itu akan membalasnya atau tidak, yang bisa dilakukan Moonbin hanya menunggu.
Moonbin mencoba menelepon gadis itu. Sejak kemarin saat Moonbin tahu kalau Yeeun sedang mengandung, gadis itu tidak mengabarinya lagi. Sungguh Moonbin khawatir dengan Yeeun namun dia tidak bisa melakukan apapun. Kalian tahu disaat masa kritis seperti ini dan tidak ada hal yang bisa dilakukan adalah sesuatu yang paling gusar dalam hidup. Itu yang dirasakan Moonbin sekarang.
Lelaki itu membuang napasnya kuat. Ia memejamkan mata dan menyandarkan kepala pada punggung kursi. Kepala Moonbin penuh dengan pikiran tentang sesuatu yang akan ia lakukan sesegera mungkin. Di saat kini Yeeun tengah mengandung calon anaknya, ia harus memiliki ekonomi yang cukup untuk persalinan, persiapan memiliki anak seperti susu, popok, pakaian, makanan, kasur, bantal kecil, boneka dan segala macam produk bayi. Belum lagi ia akan membuat akte lahir sang anak. Perhitungan pajak keluarga, biaya sehari-hari, uang makan, uang jajan, uang liburan, segala macam dipikirkan oleh Moonbin. Dari segala itu semua, yang tersulit adalah memberitahu kedua orangtua mereka.
Bagaimana reaksi orangtua Yeeun nanti saat tahu putri semata wayang mereka dihamili seorang laki-laki yang masih bersekolah atau berstatus mahasiswa? Moonbin belum siap untuk tubuhnya dibuat remuk. Sedangkan reaksi orangtuanya sendiri, Moonbin sudah tahu apa yang akan terjadi. Ayahnya pasti akan memukulnya berkali-kali hingga ia sadar atas perbuatannya. Ibunya akan mengomelinya sepanjang waktu. Kedua orangtuanya itu akan terus mengomel hingga Moonbin lelah dan berakhir dengan jawaban pasrah. Sungguh, hanya reaksi orangtua Yeeun yang membuat Moonbin terus berpikiran dalam beberapa waktu ini. Masih untung baginya hanya menerima pukulan atau tamparan atau bahkan omelan. Namun jika berakhir di peradilan dan ia dicatat sebagai pelaku kejahatan, Moonbin tidak sanggup menjalaninya.
Panggilan seluler yang dilakukan Moonbin sama sekali tidak mendapatkan balasan dari Yeeun. Moonbin membuang napasnya berat dan menyandarkan tangan di atas keningmya.
Saat Moonbin tengah menikmati kesendiriannya itu dan larut dalam pikiran yang berat, suara dari arah belakang mengejutkan lelaki itu.
"Kau sudah menyelesaikan kuliahmu hari ini?" Tanya seseorang dan Moonbin langsung melirik ke asal suara.
Seorang gadis. Perempuan yang sempat satu kelas dengannya saat mengambil kuliah bahasa Inggris. Gadis itu tersenyum sambil menyapu rambut yang mengganggu pandangannya ke belakang.
Moonbin mengangguk. "Ya." Balasnya singkat sebab ia sedang dalam suasana yang kurang baik selama Yeeun belum membalas pesannya.
Perempuan itu duduk di sebelah Moonbin. Ia membongkar tasnya dan mengeluarkan sesuatu lalu memberikannya pada Moonbin, membuat lelaki itu melirik ke arah tangan gadis di sampingnya yang tengah memegang kaleng espresso.
"Ini. Untuk menenangkan pikiranmu." Ucap gadis itu yang dibalas Moonbin hanya meliriknya diam. Gadis itu tersenyum, menyerahkan kaleng espresso itu dengan paksa ke tangan Moonbin. "Ambil lah. Kau tidak perlu mengganti uangku."
Moonbin memejamkan mata dan mengangguk-angguk kecil. "Terimakasih." Ucapnya lalu membuka kaleng itu dan langsung meneguk espresso pemberian gadis di sampingnya.
Gadis itu bernama Jessica. Ia memiliki mata bulat dan lesung pipi beserta rambut pirang yang berasal dari keturunan keluarganya, Kanada. Ia ditingkat yang sama dengan Moonbin. Jessica juga mengambil satu kelas yang sama semester ini dengan Moonbin dan jadwal itu ada pada hari Kamis, dan hari ini mereka tidak berada di kelas yang sama namun keduanya masih bisa bertemu di area kampus.
"Apa yang sedang kau pikirkan sekarang?" Tanya Jessica membuka obrolan setelah cukup lama hanya keheningan yang mengisi suasana.
Moonbin diam sejenak, baru menjawab. "Masa depan."
Sudut bibir Jessica terangkat. "Kenapa memikirkannya sekarang?"
Moonbin mengacak rambutnya pelan, merasa gusar. "Sebab aku yakin sedang mengacaukannya."
"Mengacaukannya?"
"Ya. Bagaimana aku bisa lulus kuliah sesegera mungkin. Bagaimana aku menghasilkan uang. Bagaimana aku menghidupi keluargaku nanti dan bagaimana aku bisa menikmati masa mendatang. Ternyata masa seperti itu sangat sulit dilaksanakan."
Jessica menopang dagunya dengan tangan kanannya. Ia memperhatikan Moonbin sambil tersenyum senang. "Kenapa kau berkata sulit disaat kau belum melakukannya? Kau belum melakukan apapun dan sudah menyerah secepat ini? Tentang itu mungkin akan sulit, setidaknya kau sudah melakukannya. Kau hanya perlu mencobanya dan mengomentari hasilnya nanti."
Kau belum melakukan apapun dan sudah menyerah secepat ini?
Benar. Setidaknya dia harus mencoba dan urusan hasilnya dia terima nanti. Memikirkan tentang reaksi orangtua Yeeun bukanlah segalanya. Ia hanya perlu mengakui perbuatannya dan menerima hasilnya nanti. Dipukul atau ditampar, dia harus siap. Dilaporkan ke pengadilan pun Moonbin harus siap. Setidaknya Yeeun tidak merasa susah sendirian. Tentang dia tidur dengan Yeeun pada malam itu, seharusnya dia sudah siap dengan resiko yang ada. Tentang keuangan di masa mendatang, Moonbin bisa mendapatkannya dengan melakukan pekerjaan sampingan. Ia bisa menjadi tour guide dengan menjual wajah tampannya.
Moonbin sadar, dia harus memulai aksinya sekarang. Ia segera menyandang tasnya erat dan berdiri, bersiap pergi. Gadis di sampingnya sempat terkejut dengan perubahan perilaku Moonbin yang tiba-tiba. Ia juga ikut berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.
"Kau mau ke mana?"
"Aku mau pergi ke rumah Yeeun." Ucap Moonbin penuh percaya diri. Ia kemudian melirik Jessica dengan tersenyum. "Terimakasih sudah menyadarkan ku barusan." Pamit Moonbin siap melangkah, namun tangannya segera ditahan gadis itu.
"Yeeun.. siapa dia?"
Moonbin diam sambil dahinya mengernyit. "Kau tidak tahu? Dia pacarku." Akunya meski diantara Moonbin dan Yeeun tidak pernah ada ajakan menjalin hubungan.
Ucapan Moonbin barusan membuat Jessica diam seribu bahasa. Ia terkejut dengan pengakuan lelaki itu. Ia tidak tahu kalau Moonbin sudah memiliki kekasih. Bahkan ia tidak pernah tahu kalau selama ini lelaki itu dekat dengan gadis lain selain dirinya.
Agaknya, Jessica menyesal sudah memberi kata-kata yang berhasil menyemangati Moonbin barusan.
"Kenapa begini." Ucap Jessica yang dibalas Moonbin dengan tatapan bingung.
"Apa?"
Jessica tersenyum pahit, lalu menggelengkan kepala. "Tidak ada apa-apa. Pergilah. " Usir Jessica sopan dan Moonbin tersenyum ramah padanya, mulai melambaikan tangan. Lelaki itu pun pergi meski di dalam hati Jessica berteriak untuk Moonbin jangan pergi. Namun dia bisa apa? Dirinya sadar diri bukan siapa-siapnya lelaki itu.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
Paboo Young Daddy
Fanfic"Aku hamil." Dua kata yang berhasil membuat lawan bicaranya terdiam membeku seperti batu. Mulut Moonbin masih terbuka lebar, begitupun dengan kedua matanya yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. __ Fanfiction Moonbin Astro Cred...