Tak ada yang bersuara diantara keduanya. Kim hanya menatap Way yang kembali mengeratkan genggaman pada tangannya. Ada beberapa perubahan yang terpancar dari sorot mata Way, namun Kim sama sekali tidak bisa menangkap makna dari perubahan tersebut. Tiba-tiba, sorot mata itu berubah sendu. Ada senyum tipis yang terukir di wajah lelaki di hadapannya ini.
"Jika ku katakan kita pernah saling mengenal, apa kau akan percaya?"
Bukan jawaban yang Kim dapatkan. Ia justru mendapatkan sebuah pertanyaan yang mampu membungkam bibirnya.
Apakah Kim akan percaya?
Kim pun tidak mengetahui jawabannya. Ia dan Way baru saja bertemu sejak dua hari terakhir ini saja. Apakah Kim bisa mempercayai ucapan sosok asing di hadapannya kini?
Suara kekehan Way memecah serentetan pertanyaan di benak Kim. Pandangan Kim kini terfokus pada lelaki yang sedang mengelus rambutnya, "Apa yang membuatmu merasa seperti itu?"
Memori Kim memutar kejadian saat keduanya bertemu satu hari yang lalu. Berbagai macam perasaan yang saat itu ia rasakan pun kembali menyeruak. Sangat banyak, hingga ia tidak paham dengan apa yang ia rasakan. Tetapi satu hal yang pasti, selalu ada perasaan hangat setiap ia bertemu dengan Way.
Entah apa yang dibawa Way sehingga Kim bisa merasakan kehangatan itu. Ada perasaan rindu yang tiba-tiba menyeruak. Kemudian ada rasa takut, sedih, dan ketenangan yang juga ia rasakan. Semuanya dapat ia rasakan ketika bersama dengan Way.
Jika mereka tidak pernah saling mengenal, lalu mengapa semuanya terasa sangat familiar?
"A-Aku..." ucap Kim terbata. Pandangannya ia alihkan pada tangan mereka yang masih saling menggenggam. Ada sesuatu dari sorot mata Way yang membuat Kim tidak bisa berlama-lama menatapnya. Sorot mata itu terbalut dengan kesedihan yang mendalam. "Aku terus memikirkan ini sejak semalam. Aku seperti pernah melakukan banyak hal denganmu. Tapi... aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. Semuanya buram... kosong... aku..."
"Hey... jangan dipaksakan." Kedua tangan itu kini beralih menangkup wajah Kim. Elusan lembut di pipinya seketika membuat hati Kim merasa tenang kembali, "Aku tidak ingin kau sakit. Jadi... jangan dipaksakan ya."
"Tapi Way--"
"Ssh" potong Way. Senyumnya tulus saat beradu pandang dengan Kim, "Untukmu, aku akan menunggu. Tidak masalah jika aku harus menunggu sedikit lagi."
Ucapan itu berhasil membuat air mata Kim terjatuh. Rasa bersalah kini menyelimuti hatinya. Tapi sekali lagi, Kim sama sekali tidak paham mengapa perasaan ini tiba-tiba menyeruak. Semua hal yang berhubungan dengan lelaki di hadapannya ini sungguh sangat membingungkan. Setiap hal yang Way lakukan membuat Kim merasa tidak menjadi dirinya sendiri. Cara Way memandang Kim seolah mampu menelanjanginya. Kim tidak suka. Tapi, Kim juga tidak ingin lelaki ini pergi.
"Jangan menangis na." Lelehan air mata itu dengan segera diusap oleh Way. "Kau membuatku terlihat menyedihkan." Lanjutnya sambil terkekeh.
"Maaf ya, Way." Ujar Kim setelah ia mampu menenangkan diri.
Kening Way mengkerut. Lelaki itu kini mengelus rambut Kim dengan lembut, berusaha menenangkan lelaki yang lebih pendek, "Untuk apa? Semua ini bukan salahmu, Kim." Senyum itu tak pernah pudar dari wajah Way. Senyum yang tulus dan mampu membuat hati Kim terasa penuh, "Sudah malam. Ayo kuantar pulang."
Way mengeluarkan sesuatu dari tas yang selalu dibawanya. Ia kemudian menyerahkan benda itu kepada Kim, "Pakai ini. Bisa-bisanya pergi naik motor tanpa jaket. Nanti kau sakit."
Kim menatap jaket yang kini berada di tangannya. Jaket yang didominasi oleh warna hitam ini terlihat sudah lama, tetapi masih bagus dan terawat. Tangan Kim menyisir permukaan jaket itu perlahan. Ada perasaan bahagia saat ia melihat jaket ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
True Love
Fanfiction--- An alternative ending for WayKim "Hal yang sangat mustahil pun bisa menjadi nyata bila Tuhan sudah berkehendak" Set 2 years after The Shipper Ending --- ⚠️ Tolong dibaca ya: - Cerita ini hanya fan-fiksi semata. - Akan mengandung beberapa dialog...