Fade Away

476 98 16
                                    

Sejak menginjakkan kakinya di halaman rumah ini, Kim bisa merasakan jantungnya bergemuruh dengan cepat. Rumah bergaya minimalis yang di dominasi oleh warna putih ini entah mengapa membuat Kim merasa sangat gelisah.

Jika tidak mengingat keinginannya untuk ikut dengan Way, mungkin Kim akan memilih untuk pergi saja dari tempat ini.

Kim juga tidak bisa bersikap egois.

Ia tidak bisa meninggalkan Way yang terlihat sangat khawatir dengan kondisi remaja yang tinggal di rumah tersebut.

Perasaan Kim semakin sesak saat kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Ia mencoba untuk bersikap biasa saja, namun sepertinya kegelisahan yang ia rasakan ini tidak luput dari perhatian Way.

"Aku tak apa, kalian mengobrol saja." Kim mencoba untuk meyakinkan Way yang enggan beranjak dari tempatnya, "Aku hanya capek saja, Way. Tak perlu berlebihan."

Kim tahu kalau Way ragu. Ia bisa melihat dari sorot mata lelaki itu. Sekali lagi, ia mencoba untuk meyakinkan Way bahwa semuanya baik-baik saja. Semakin cepat Way mengetahui apa yang terjadi pada Khett, maka akan semakin cepat juga mereka meninggalkan rumah ini.

Dengan sedikit dorongan pada tubuhnya, Way akhirnya melangkah pergi, bersama dengan Khett yang berjalan tak jauh di belakangnya.

Sepeninggal keduanya, Kim menyandarkan tubuhnya di atas sofa. Satu tangannya ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

Sungguh.

Keheningan ini sangat memuakkan.

Rasanya Kim ingin menangis tanpa alasan yang jelas.

"Kim!"

Kim sontak menegakkan kembali tubuhnya. Dicarinya sumber suara yang tadi memanggil namanya.

Namun nihil.

Tidak ada siapapun disana.

Matanya kembali menjelajahi setiap sudut rumah, meresapi semua kefamiliaran yang ia rasakan disini. Tiba-tiba, rasa ingin tahu Kim meningkat drastis. Kaki jenjangnya ia bawa menuju tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Tak ada lagi keraguan dalam langkah Kim. Firasatnya mengatakan kalau Kim bisa menemukan apa yang selama ini ia cari disini.

Sebuah pintu coklat di ujung lorong kembali menarik perhatiannya. Perlahan tapi pasti, ia membuka pintu yang ternyata tak terkunci.

Lagi-lagi rasa familiar menyelimuti Kim saat melihat sebuah kamar tidur di balik pintu coklat itu. Perasaan hangat, tenang, dan rindu tiba-tiba saja menyeruak. Dibandingkan dengan ruangan yang lain, Kim tahu kalau kamar ini adalah tempat teraman baginya.

Pandangannya mengacu pada wood board yang terpasang di samping tempat tidur. Tanpa disadari, kedua kakinya telah membawa Kim untuk berdiri di depan board yang ditempeli oleh sticky notes. Nama Khett dan Way jelas-jelas tertulis disana, ditambah lagi dengan kota Tokyo yang menjadi bagian dari impian Kim.

Perasaannya kini campur aduk. Apalagi ketika membaca sticky notes yang menuliskan tentang ungkapan perasaan Way.

Siapa sebenarnya sosok yang dicintai Way?

Haruskah Kim merasa cemburu dengan fakta bahwa Way telah menyatakan perasaannya pada orang itu?

Kim menepuk kedua pipinya perlahan. Kenapa dia harus mempermasalahkan hal itu, toh ia dan Way juga tidak memiliki hubungan spesial. Way boleh saja menyatakan perasaannya pada orang yang ia cintai dan Kim tidak berhak merasa terluka karena hal itu.

Daripada terlalu berlarut dengan perasaannya, Kim memilih untuk kembali menelusuri isi kamar. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari kamar ini, semua yang ada disini sungguh sesuai dengan bayangan Kim. Namun kemudian, matanya kembali terpaku pada satu titik. Tepatnya pada meja pendek yang berada di depan tempat tidur.

True LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang