Tuuuttt … tuuuttt … tuuuttt …!!
Karin menekan tombol merah di layar ponselnya. Sudah beberapa kali dia berusaha menghubungi teman-teman kosnya, namun belum juga ada yang diangkat. Sebagian tadi ada yang menjawab, tetapi temannya masih belum kembali ke kosan, alias masih mudik ke kota asal.
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Sudah satu jam Karin mondar-mandir dari kosan Rico ke kosannya. Tapi tetap saja, pintu pagar tempat kosnya masih terkunci. Itu berarti, tidak ada seorang pun penghuni kos yang berada di dalam.
Rico sejak tadi menunggu sambil duduk di jok motornya, yang diparkir di tepi jalan di depan kosan Karin. Rico mengamati ada gurat kecemasan di wajah Karin. Masalah listrik yang sejak pagi padam, sudah bisa teratasi. Karena listrik di kosan Karin sudah menyala.
Tetapi kali ini, ada masalah lagi yang harus dihadapi Karin. Kosan Karin terkunci dari luar, tidak ada seorang pun di sana. Dan sejak tadi, Karin berusaha menghubungi teman-temannya, tetapi kebanyakan belum balik ke tempat kos. Karin sangat bingung, harus kemanakah dirinya tidur malam ini.
“Karin … ke kosan-ku aja yuk,” bujuk Rico.
“Nanti kalau sudah ada kabar dari salah satu teman kamu, aku antar lagi kamu ke sini. Daripada di sini mondar-mandir di luar. Nggak enak juga dilihatin orang.”
Karin tidak menjawab. Tetapi akhirnya, ia memilih mengikuti saran Rico. Mereka segera berbocengan kembali menaiki motor Rico.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Teman-teman Karin baru saja memberi kabar, bahwa mereka akan pulang ke kosan besok pagi. Kak Siska yang kebetulan membawa kunci kos juga memberi kabar, kalau baru keesokan paginya balik ke kosan.
Itu artinya, Karin harus memutar otak dan berfikir dimana dia harus tidur malam ini. Numpang di kosan Rico, atau terpaksa sewa hotel. Karin sangat bingung. Kegelisahan yang menyelimutinya terpancar jelas di kedua netra.
Rico yang duduk disampingnya, berusaha menenangkan Karin.
Mendadak, mereka sudah duduk bersebelahan tanpa jarak. Karin yang baru menyadari hal itu, berusaha menggeser duduknya. Namun tiba-tiba, Rico mendekatkan wajahnya pada Karin. Jantung Karin sudah berdetak kencang tak beraturan.
“Sudah, nggak usah khawatir. Kamu nginep di sini saja,“ ucap Rico lembut, sambil mengacak rambut di puncak kepala Karin.
Karin membisu. Hanya kedua bola matanya yang terus mengawasi Rico yang bergerak menjauh dan menuju pintu kamar yang sengaja terbuka.
“Kamu … mau kemana …?”
Pertanyaan Karin sejenak menghentikan langkah Rico yang sudah berdiri di luar pintu kamar.
“Aku … tidur di kamar Arman aja. Hari ini dia lagi mudik, kebetulan kunci kamarnya dititipin ke aku. Malam ini kamu pakai aja kamarku. Istirahatlah dengan tenang. Nggak usah khawatir, aku nggak akan ganggu, kok. Aku kan cowok baik-baik hehe ….” Rico berkata sambil terkekeh. Lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar Arman.
Karin tersenyum dan berdiri, seraya berjalan ke arah pintu.
“Ric ….”
“Hmmm … apalagi?”
“Maaf ya, aku sudah merepotkanmu seharian ini.”
“Hmmm ….” Rico hanya menjawab dengan anggukan dan acungan jempol.
“Makasih ya, Ric ….”
“Iya … selamat malam. Tidur yang nyenyak. Besok pagi jangan sampai bangun kesiangan,” canda Rico sambil tersenyum ke arah Karin.
Karin hanya menjawab dengan anggukan dan senyum lebar. Setelah itu, perlahan-lahan Karin menutup pintu kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur.
Dia mengarahkan pandangannya mengitari isi kamar Rico. Kamar yang cukup rapi untuk ukuran seorang cowok. Ada beberapa poster pemain bola, dan sebuah foto Rico dengan kostum bola tergantung di pigora.
Baju-bajunya tertata rapi di sebuah lemari kecil di sudut ruangan kamar. Ada sarung dan sajadah yang terlipat rapi, yang diletakkan di sebuah rak kecil di samping almari. Bau harum parfum Rico masih tercium di seluruh kamar. Seakan menjadi ciri khas dan memberi kesan tersendiri untuk orang yang memasuki kamar ini.
Karin memandangi plafon di langit-langit kamar. Pikirannya melayang jauh, mengingat kejadian di pantai siang tadi.Sesekali Karin mengusap jari manisnya, yang di sana sudah tersemat sebuah cincin perak pemberian Rico. Hati Karin terasa berbunga-bunga. Bibirnya seakan ingin selalu mengembangkan senyuman.
Tetapi, ada pertanyaan kecil yang terselip jauh di lubuk sanubarinya. Mengapa secepat itu Rico memberikan sebuah cincin padanya. Begitu besarkah cinta Rico untuknya, sehingga secepat itu dia memberikan tanda cinta berupa cincin pada Karin.
Karin juga membuka-buka galeri handphone, yang menyimpan banyak foto-foto dirinya dan Rico. Foto berdua di gazebo, foto mereka yang sedang bermain air di pinggir pantai, dan juga foto cincin pemberian Rico yang masing-masing melingkar di jari manis keduanya.
Ada juga foto detail cincin mereka berdua, yang masih berada di dalam kotak kecil berwarna biru, warna kesukaan Rico.
Pada cincin Karin tertulis nama Rico, dan begitu juga sebaliknya, pada cincin yang dkenakan Rico, terukir nama Karin.
Mengamati foto-foto di ponsel, lama kelamaan membuat Karin mengantuk. Ditambah lagi dengan rasa penat karena seharian telah menempuh perjalanan jauh bersama Rico. Perjalanan yang menorehkan kenangan yang begitu manis bagi Karin. Mungkin begitu juga yang dirasakan Rico.
Perlahan-lahan, mata Karin kian terasa berat. Tak perlu waktu lama, gadis belia itu sudah terlelap dalam tidurnya, berselimut kenangan indah bersama Rico yang tersimpan rapi di dalam kalbunya.
***
Terima kasih masih setia dengan cerita Karin dan Rico.
Jangan lupa komen dan vote-nya agar authornya tambah semangat update.
Yang ingin memeluk buku novelnya, bisa pesan lewat DM author.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Kiss (Sudah Terbit)
RomanceFollow dulu yuk, sebelum baca Follow juga IG@dwi_kurnia.wanti Selalu ada update info tentang novel First Kiss lho! Sudah terbit versi cetaknya Bisa dipesan melalui author *Free totebag cantik Nggak rugi deh, baca ceritanya! Karena novel ini pernah m...