Pintu Laknat

116K 10.6K 299
                                    

Aku terbangun saat mendengar hpku berdering dengan keras. Mataku masih enggan untuk terbuka. Tanganku berusaha menjangkau hpku yang terletak diatas nakas.

10 Panggilan Tak Terjawab - My Doggie Ona
1 Pesan - My Doggie Ona

Itulah yang tampil dilayar hpku pagi ini. Aku menguap dan mengucek mataku pelan. Tanganku mulai melakukan peregangan. Rasanya pegal sekali.

My Doggie Ona
Woi kebo, bangun gak lo! Hari ini ada jadwalnya Pak Arash. Jangan telat, kan lo kacung dia.

Aku mengerjapkan mata pelan dan melihat jam di hp. Padahal baru pukul enam, tapi Fiona sudah berkoar-koar. Dia tak tau ya kalau semalam aku pulang kerja hampir jam dua belas? Mataku bahkan masih enggan untuk terbuka sempurna.

Kuliah dimulai jam tujuh tiga puluh. Itu artinya masih ada satu setengah jam lagi, tapi dia sudah ribet saja. Mentang-mentang rumahnya jauh dari kampus.

Kacung Pak Arash katanya? Bukankah aku kacung dari semua anggota kelas? Toh aku bertanggung jawab atas mereka semua. Mereka yang mengumpankanku pada Pak Arash si dosen killer.

Aku menegakkan badan dengan kondisi setengah sadar. Nyawaku perlahan mulai terkumpul. Tanganku bergerak untuk menggulung rambutku keatas. Aku harus keramas pagi ini. Rambutku sudah lepek karena keringat.

Gara-gara ada acara di kafe tempat aku bekerja, jadinya semalam aku terpaksa lembur. Padahal sebelumnya kafe itu tutup jam sepuluh.

Sejak awal kuliah, Fiona menjadi alarm yang membantuku bangun. Mulai dari menelfon ataupun mengirimi pesan. Dia seperti pacar saja.

Fiona adalah tipe anak yang ceria dan bawel, sehingga gampang bergaul. Banyak yang mengenalnya karena ia sangat baik dan ramah. Sekarang ia masih menjabat sebagai sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa.

Dulu saat OSPEK, dia yang lebih dulu mendekatiku. Entah apa yang ia lihat dariku, tapi saat itu aku cukup senang karena akhirnya aku punya teman. Dia juga yang mengenalkanku pada Farhan, tetangga sekaligus teman terdekatnya. Sejauh ini hanya mereka berdua yang dekat denganku di kelas.

Aku tinggal sendiri sejak aku kelas tiga SMA. Ibuku meninggal karena kanker serviks setelah delapan tahun berjuang menghadapi sakitnya. Saat itu adalah saat-saat terburuk dalam hidupku. Walaupun aku selalu memikirkan kemungkinan untuk tinggal sendiri jika Ibu tiada, mengingat dokter sudah lama menyerah karena penyakit Ibuku tapi tetap saja aku merasa sangat terpuruk saat Ibu pergi.

Itulah kenapa aku hanya berjuang untuk diriku sendiri. Tak ada waktu untuk bermain ataupun malas-malasan. Aku harus bisa menghidupi diriku sendiri.

Pernah terfikirkan untuk tidak melanjutkan kuliah, tapi aku juga ingin mengubah hidupku. Makanya aku bersusah payah mencari beasiswa. Walaupun akhirnya aku harus kuliah di perguruan tinggi swasta, tapi tak masalah asalkan aku dapat beasiswa.

Aku harus cepat mandi agar tidak terlambat sampai di kelas. Apalagi aku jadi penanggung jawab kelas di mata kuliah yang diampu Pak Arash. Jangan sampai aku membuat masalah. Bukankah aku ingin semuanya lancar hingga akhir?

---

Ini bencana. Benar-benar bencana. Baru saja masuk ke kelas, Pak Arash sudah mengumumkan kalau akan diadakan kuis. Padahal kami belum masuk ke materi karena baru sekali pertemuan. Ini adalah pertemuan kedua.

"Pak, kan kita belum masuk ke materi Pak?" Protes Fiona. Dia paling bisa diandalkan kalau urusan seperti ini. Sepertinya karena sering ikut demo, dia jadi lebih sering mengungkapkan pendapatnya disaat menemukan sesuatu yang bertentangan dengan pemikirannya.

Arash [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang