Receh with Tsabiya

1.7K 114 42
                                    

"Ih Bang Al, sisain Il satu jangan dibantai semua!"  Tsabiya masih heran melihat Mikall dan Mikaila, seringkali mereka berdua bertengkar seolah benci sekali, tetapi kadang-kadang akur juga seperti saat ini. Yang membuat Tsabiya semakin heran lagi, Mikall terlihat sangat bersahabat, berbeda dengan hari biasanya.

Mikaila mengajak Tsabiya bermain ludo di ponselnya, lalu beberapa saat mereka bermain, Mikall pulang dan langsung diajak bergabung oleh Mikaila. Tsabiya deg-degan parah mengira Mikall akan melakukan sesuatu padanya. Ia ingin menolak tapi sayang Mikaila yang sedang ingin refreshing dari padatnya tugas-tugas kuliah.  Alhasil, Tsabiya terjebak dalam suasana hangat yang tidak ia duga. Kakak adik yang rebutan setoples cemilan di depan matanya sekarang membuat pikirannya tidak terlalu berprasangka buruk lagi pada Mikall.

"Giliran lo yang jalan," ujar Mikall santai.

"Kak, masuk blok rumah dulu, di belakang ada Bang Al, dia jahat."

"Iya sabar, Il."

"Tsabiya?"  Serentak Mikaila, Mikall, dan Tsabiya menoleh. Mikall dan Mikaila tak berekspresi apa-apa tapi Tsabiya memucat seketika.

"Iya El, sebentar." Tak perlu diminta, Tsabiya langsung bangkit. Berjalan lebih dulu masuk ke kamar. Apa Tsabiya sedang dalam bahaya?

Bunyi pintu dikunci terdengar saat kaki Tsabiya sampai di depan tempat tidur. Duh Tsabiya deg-degan. Tatapan Mikael tadi mengerikan.

"Capek banget, ya?"

"Kamu bisa tidak sekali saja dengarkan saya?"

"Aku cuma main sama Mikall."

"Saya bilang jangan main sama dia."

"Diajak Mikaila. Tadi aku bosan, ya aku nimbrung aja. Ternyata Mikall baik kok kalau lagi goodmood." Tsabiya sekarang punya pikiran yang berbeda tentang Mikall yang dulunya ingin ia jauhi. Bukankah aneh ketika Mikael melarangnya dekat dengan adik ipar sendiri? Adik Mikael sendiri yang ternyata juga punya sisi ramah.

Mikael menghela napas. Tsabiya tak tau kenapa tiba-tiba Mikael menjauh dari depannya, lalu mengambil ponsel Tsabiya di nakas, mengambil tab serta laptopnya sendiri di meja lalu menaruhnya di samping Tsabiya.

"Saya berikan itu semua dan internet yang kencang, bosan?" Tsabiya menatap Mikael tak menyangka, gaya berbicaranya Mikael---apakah Tsabiya ia jadikan persis tawanan?

"El, aku ga ngerti jalan pikiran kamu." Amarah Tsabiya mulai terbakar, perempuan itu tidak tau cara menghentikannya.

"Kamu ngasih aku semua ini, tab dan laptop canggih, internet kencang, akses semua link berbayar untuk nonton apapun sesuka hati untuk bikin aku betah tetap di dalam kamar dan ga ke mana-mana kan?"

"El, sebulan dua bulan aku sanggup tapi kalau setiap waktu aku nggak bisa. Aku bukan kamu yang bisa 24 jam berkutat di depan alat-alat alat ini."

"Hidup aku bukan dengan alat-alat yang kamu kasih, aku nggak bisa jadi kayak kamu. Aku suka ngobrol sama banyak orang, hidup aku tuh sosialisasi bukan isolasi. Aku nggak suka diam aja duduk, tidur, bangun, makan, tidur lagi. Aku pengen ngobrol sama manusia. Terutama sama kamu."

"Tapi kamu pelit suara, pelit banget!" Tsabiya bangkit, berdiri agar bisa melihat mata Mikael lebih dekat.

"Kamu nggak pernah ngerasain jadi aku, aku mau ngobrol sama Mbok di waktu senggang, Mbok istirahat karena kecapekan kerja. Mau ngobrol sama Mama, Mama sering baca jadi sayang diganggu, ngobrol sama Agil, dia keliatan nggak enakan sama aku nggak tau kenapa. Bagi kamu itu bukan masalah karena kamu sendiri nggak butuh ngomong banyak dengan mereka."

"Cuma ada Mikaila yang bisa diajak ngobrol. Tadi kebetulan ada Mikall. Aku senang mereka ngajak main dan ngobrol sama aku. Aku merasa aku yang dulu sebelum jadi istri aku hidup lagi."

TsabiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang